Kasus pelanggaran etika penelitian dan publikasi seperti plagiarisme memang menjadi PR bagi dunia pendidikan di Indonesia. Salah satu upaya untuk menghindari kasus tersebut adalah dengan membangun budaya integritas akademik, terutama bagi kalangan dosen.
Apalagi sejauh ini kasus-kasus plagiarisme memang menyenggol nama beberapa dosen di perguruan tinggi Indonesia. Hal ini tentu menjadi perhatian bahwa plagiarisme bisa dilakukan siapa saja tanpa terkecuali.
Memahami dampaknya yang cukup serius karena bisa merusak nama baik peneliti di Indonesia di mata dunia. Maka sudah saatnya para akademisi ini membangun integritas dalam menjalankan kewajiban akademik. Lalu, bagaimana cara terbaik melakukannya?
Secara etimologi, istilah integritas diketahui berasal dari bahasa Latin. Yakni dari kata “integritas” yang memiliki arti “keutuhan, kekuatan, tak tersentuh, dan keseluruhan”. Istilah integritas ini kemudian terus berkembang dan digunakan di berbagai bidang. Termasuk akademik.
Definisi integritas juga bisa ditemukan di dalam KBBI, dimana integritas disini diartikan sebagai sebagai mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan dan kejujuran.
Istilah integritas yang diterapkan di ranah pendidikan kemudian disebut dengan istilah integritas akademik. Menurut Ronokusumo (2012), integritas akademik adalah bentuk kepatuhan yang tinggi terhadap kesepakatan (codes) perilaku akademik.
Secara sederhana, integritas di dunia akademik adalah bentuk kepatuhan terhadap aturan dan etika yang berlaku di dunia akademik tersebut. Misalnya aturan untuk belajar, selalu bersikap jujur dalam mengerjakan tugas, mematuhi aturan institusi, dan sebagainya.
Awalnya integritas ini diterapkan kepada mahasiswa saja dengan harapan membangun SDM yang berintegritas. Seiring berjalannya waktu, integritas dalam ranah akademik juga wajib dimiliki kalangan dosen sampai tenaga kependidikan. Sebab kecurangan di ranah akademik bisa dilakukan siapa saja, bukan hanya mahasiswa.
Menurut Peterson dan Seligman (2004), seorang akademisi cenderung memiliki integritas akademik yang tinggi ketika memiliki karakter khas. Diantaranya adalah:
Membahas mengenai integritas di ranah akademik, maka ada sejumlah nilai yang wajib dijunjung tinggi oleh akademisi. Setidaknya ada 5 (lima) nilai dalam menerapkan, membangun, dan menjaga integritas di ranah akademik tersebut. Yaitu:
Nilai integritas yang pertama adalah kejujuran atau honesty. Yakni memiliki pola pikir dan sikap selalu jujur kapan saja dan dimana saja. Kejujuran akan menjadi kunci utama untuk menjaga integritas dosen di dunia akademik.
Ketika dosen merasa tidak memberikan kontribusi intelektual maka dijamin tidak ingin sekedar titip nama dalam jurnal. Ketika dosen memang tidak melakukan kolaborasi publikasi ilmiah maka jujur hanya mencantumkan nama sendiri tanpa mencatut nama dosen lain.
Nilai kedua dalam integritas di dunia akademik adalah kepercayaan atau trust. Kepercayaan disini mencakup kepercayaan dosen atas kemampuan akademiknya sendiri, sampai kepercayaan lingkungan akademik mendukungnya.
Dosen yang meyakini memiliki kemampuan untuk bersikap jujur dan menjaga sikap ini maka akan selalu jujur dalam menjalankan kewajiban akademik. Selain itu, dosen juga percaya bahwa kebijakan kampus akan mendukung sikapnya sehingga kepercayaan ini menjaganya tetap berintegritas.
Nilai integritas akademik yang ketiga adalah respect atau menghargai (penghargaan). Artinya, dosen di dunia akademik perlu menghargai karya orang lain dan buah pikiran orang lain.
Sehingga tidak memiliki keinginan untuk mencomot karya tersebut tanpa mencantumkan sumber dalam karyanya. Sebab tindakan ini sama saja tidak menghargai orang lain yang sudah susah payah berkarya dan menghargai kinerja diri sendiri sampai harus melakukan penjiplakan.
Nilai integritas yang keempat adalah fairness atau keadilan. Artinya dosen dalam menjalankan kewajiban akademik akan selalu bersikap adil kepada siapapun. Baik dalam memberikan nilai, menegur dosen atau mahasiswa saat melakukan pelanggaran etika, dll.
Sehingga saat ada rekan sesama dosen melakukan tindak plagiarisme, maka tidak ragu untuk menegur sampai melaporkannya ke pihak kampus. Meskipun teman akrab di kampus dan meskipun saudara sekalipun. Sehingga mampu memenuhi nilai keadilan dalam menjaga integritasnya.
Nilai integritas dalam akademik yang terakhir adalah tanggung jawab atau responsibility. Misalnya dosen memegang teguh pendirian untuk tidak terlibat dalam tindak pelanggaran etika dalam bentuk apapun.
Sehingga bertanggung jawab dengan kewajiban yang dibebankan kampus dan pemerintah kepadanya. Sekaligus melindungi diri sendiri dan orang sekitar dari pelaku kecurangan yang menurunkan integritasnya sebagai dosen.
Akademisi, baik dosen maupun mahasiswa memiliki kewajiban dan kebutuhan untuk menjaga integritas akademik. Sebab integritas yang rendah akan memicu berbagai pelanggaran yang mencoreng nama baik mereka, institusi, dan juga negara Indonesia di mata dunia.
Integritas akademik bisa rendah ternyata dipengaruhi oleh banyak sekali faktor. Dalam beberapa kondisi faktor ini bisa lebih dari satu sehingga pelanggaran etika di ranah akademik menjadi lebih tinggi.
Menurut McGill (2008), masih ada beberapa faktor lain yang membuat integritas akademik dosen maupun mahasiswa menjadi rendah. Setidaknya ada total 8 faktor yang dijelaskan, yaitu:
Faktor pertama yang menjadi salah satu penyebab kenapa integritas seorang dosen berubah adalah adanya tekanan. Yakni tekanan untuk menorehkan prestasi yang tinggi, baik sejajar maupun melampaui dosen lainnya.
Prestasi dosen tentu berkaitan dengan pencapaian akademik. Misalnya meraih kuantitas dan kualitas publikasi yang tinggi, menduduki jabatan fungsional tinggi, meraih hibah Dikti sebanyak mungkin, dan sebagainya.
Adanya tekanan memang bisa menjadi motivasi untuk meningkatkan pencapaian diri. Namun jika tekanan ini berlebihan dan dosen dalam kondisi yang tidak mendapat dukungan dari lingkungan sekitar. Maka akan menurunkan integritas dan rentan melakukan pelanggaran.
Faktor kedua yang mempengaruhi integritas akademik bisa semakin rendah adalah karena kemungkinan tertangkap rendah. Artinya, ketika melakukan tindak pelanggaran integritas cenderung tidak ditindak tegas.
Mulai dari sekedar diketahui tetapi tidak dilaporkan. Sehingga ada sikap maklum dari dosen lain yang menemukan pelanggaran dan merasa tidak perlu dilaporkan. Kondisi ini ternyata bisa menumbuhkan semangat untuk melakukan pelanggaran berikutnya.
Faktor ketiga yang mengancam integritas seorang dosen adalah keberadaan peluang. Peluang disini bisa dari berbagai fasilitas dan kemudahan yang disediakan pihak perguruan tinggi untuk menunjang aktivitas akademik dosen.
Misalnya menyediakan akses ke database jurnal open access secara gratis, menyediakan perangkat elektronik yang mendukung, sampai penyediaan WiFi untuk membantu dosen tetap terhubung dengan internet.
Kemudahan ini ketika dimanfaatkan secara positif maka akan mendukung aktivitas akademik dosen. Namun ketika dipakai untuk melakukan kecurangan maka akan lebih cepat dan bisa berskala besar.
Misalnya bisa dengan mudah menemukan nama dosen dari PT lain di luar negeri untuk dicatutkan ke publikasi ilmiahnya, menemukan jurnal open access tanpa password sehingga bisa copy paste dengan mudah, dll.
Faktor keempat yang bisa menurunkan integritas akademik dosen adalah penerimaan sosial orang sekitar. Artinya, aksi pelanggaran integritas sudah dipandang sebagai hal lumrah karena tidak hanya satu atau dua dosen yang melakukannya. Melainkan ada banyak.
Kondisi ini membuat aksi pelanggaran tersebut diterima sebagai hal biasa atau sudah dinormalisasi. Akibatnya, dosen pemula yang baru masuk ke lingkungan akademik tersebut dengan mudah terbawa. Pelanggaran integritas pun bisa dilakukan serempak.
Faktor kelima yang berpotensi menurunkan integritas akademik dosen adalah resiko yang rendah. Artinya, sanksi untuk semua bentuk pelanggaran integritas tersebut masih terbilang rendah atau bahkan tidak tegas sama sekali.
Sanksi yang ringan, dimana dosen yang melakukan pelanggaran masih tetap bisa mengabdi dan melanjutkan pengembangan karir akademik. Bisa membuat dosen tersebut tidak ragu untuk melakukan pelanggaran serupa di kemudian hari.
Faktor keenam adalah adanya toleransi dari orang sekitar terhadap para pelaku pelanggar integritas akademik. Dosen yang memiliki riwayat melakukan pelanggaran bisa dengan mudah dimaafkan bahkan bisa kembali berkarir di dunia akademik lagi.
Faktor ketujuh adalah kurangnya pengetahuan tentang aturan. Ada banyak sekali aturan di dunia akademik. Baik itu aturan dari PT, aturan dari kementerian yang terhubung dengan aturan pemerintah, kemudian aturan-aturan dalam menjalankan kewajiban akademik.
Aturan mengenai pelanggaran integritas bisa jadi belum dipahami dengan baik oleh dosen. Sehingga tanpa disengaja melakukan pelanggaran tersebut. Faktor ini menuntut dosen untuk mempelajari semua aturan yang berkaitan dengan profesinya.
Faktor terakhir yang mengancam integritas dosen di dunia akademik adalah tekanan waktu. Setiap kewajiban akademik dijamin memiliki tenggat waktu pengerjaan. Mulai dari tugas pendidikan, penelitian, sampai pengabdian.
Sehingga kadang kala dosen memiliki terlalu banyak kesibukan dan kewajiban akademik menumpuk. Desakan untuk segera diselesaikan agar tidak melebihi tenggat waktu memberi tekanan. Hal ini kadang kala membuat dosen mengambil jalan pintas dengan melanggar integritas.
Integritas akademik dosen yang rendah akan meningkatkan resiko melakukan berbagai bentuk pelanggaran etika penelitian dan publikasi ilmiah. Misalnya melakukan tindak plagiarisme, pemalsuan data, dan pelanggaran-pelanggaran lainnya.
Pelanggaran yang dilakukan terlalu sering dan dalam jangka panjang tanpa ada proses pelaporan sampai pemberian sanksi tegas. Maka akan merubah pelanggaran ini menjadi sesuatu yang normal (normalisasi) dan dipandang lumrah.
Kemungkinan berikutnya bisa memberi efek “menular”. Misalnya dosen A melihat dosen X melakukan plagiarisme dan karirnya aman bahkan semakin moncer. Maka akan muncul keinginan melakukan tindakan serupa agar karirnya sama moncernya.
Bagaimana jika menular ke semua dosen di satu PT? Maka nama baik PT tersebut akan tercoreng. Apalagi jika kasus pelanggaran tersebut viral, melibatkan dosen dari kampus luar negeri yang bahkan sangat ternama, dan sebagainya.
Dampak dari integritas akademik dosen yang rendah pada akhirnya tidak hanya dirasakan dosen itu sendiri. Melainkan juga dosen lain dan semua dosen di Indonesia. Sehingga menjadi bahan perhatian untuk selalu menjaga integritas selama masa pengabdian.
Membangun integritas akademik yang tinggi di kalangan dosen ternyata bisa dilakukan. Semakin dini dilakukan maka semakin baik karena butuh proses, apalagi jika selama ini sudah ada budaya integritas yang rendah.
Dikutip dari website Media Indonesia, ada beberapa kiat bisa dilakukan akademisi seperti dosen untuk membangun integritas yang tinggi di ranah akademik. Diantaranya adalah:
Kiat yang pertama adalah menghapus budaya atau praktik korupsi akademik. Korupsi akademik ini berkaitan dengan kejujuran dosen dalam memberikan nilai kepada mahasiswa di bawah bimbingannya.
Mahasiswa yang cenderung kesulitan mengikuti perkuliahan dan mendapat nilai baik lebih sering menjadi pelaku praktik korupsi akademik. Misalnya dengan memberikan hadiah kepada dosen, meminta bantuan orang tua dengan jabatan tinggi untuk mempengaruhi nilai dari dosen, dll.
Segala bentuk praktik korupsi ini penting untuk dihapus oleh dosen itu sendiri. Sehingga memberi nilai mahasiswa apa adanya tanpa perlu ada hadiah (gratifikasi), melihat status sosial keluarga mahasiswa, sampai tampilan fisik mahasiswa tersebut. Jika berhasil dilakukan maka dosen bisa membangun integritas yang tinggi.
Kiat kedua agar dosen bisa membangun integritas akademik yang tinggi adalah membangun konsep diri akademik yang benar. Konsep diri akademik adalah persepsi terhadap kemampuan akademik.
Hal ini berkaitan dengan kemampuan dosen untuk menorehkan prestasi. Prestasi tinggi di bidang akademik harus diakui menjadi hal yang ingin dicapai semua dosen. Mulai dari publikasi dengan sitasi tinggi, menembus jurnal bereputasi, jabfung tinggi di usia muda, dan sebagainya.
Sah saja memiliki keinginan menorehkan prestasi akademik tinggi selama diimbangi dengan kemampuan untuk meraihnya. Namun jika tidak sadar kemampuan diri sendiri maka akan menurunkan integritas dan terjadi pelanggaran. Maka pencapaian akademik idealnya relevan dengan kemampuan dosen alias realistis.
Kiat ketiga untuk membangun integritas akademik dosen yang tinggi adalah meningkatkan pemahaman agama. Semua agama tanpa terkecuali sudah tentu mengajarkan kebaikan dan nilai-nilai positif dalam hidup.
Nilai-nilai agama ini akan membantu seseorang untuk memiliki kepribadian yang berintegritas, dimanapun dirinya berada dan di bidang apapun karirnya dibangun. Salah satunya nilai kejujuran.
Meningkatkan pemahaman agama membantu meningkatkan nilai-nilai tersebut da muncul keinginan untuk selalu menjadikannya acuan atau dasar berperilaku, bersikap, dan sebagainya.
Sehingga semakin tinggi pemahaman terhadap ajaran agamanya, seseorang semakin berintegritas dan tidak ada keinginan melakukan pelanggaran akademik. Oleh sebab itu, selalu mendekatkan diri kepada Tuhan adalah hal penting bagi dosen.
Integritas akademik bisa semakin rendah disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya keterbatasan waktu untuk menjalankan kewajiban akademik. Meningkatkan kemampuan manajemen waktu saja, kadang tidak lagi cukup.
Salah satu solusi lainnya adalah dengan memanfaatkan teknologi terkini, termasuk teknologi AI (Artificial Intelligence–Kecerdasan buatan). Lewat teknologi AI ini dosen bisa meningkatkan efisiensi dan efektivitas kegiatan akademik, termasuk penulisan karya ilmiah.
Misalnya memanfaatkan Chat GPT untuk menemukan topik penelitian yang lebih baik, melakukan parafrase dengan teknologi AI, dan lain sebagainya. Meskipun begitu pemanfaatan teknologi tidak bisa 100%, dosen masih harus mengecek hasilnya. Misalnya cek plagiarisme untuk memastikan bebas plagiat.
Menjaga integritas akademik yang tinggi membantu dosen terhindar dari keinginan melakukan berbagai pelanggaran akademik. Baik itu plagiarisme, pencatutan nama, titip nama di jurnal, dan sebagainya yang tentu berdampak negatif bagi banyak pihak.
Jika memiliki pertanyaan atau ingin sharing pengalaman berkaitan dengan topik dalam artikel ini. Jangan ragu menuliskannya di kolom komentar. Klik juga tombol Share untuk membagikan artikel ini ke orang terdekat Anda. Semoga bermanfaat.
Dosen di Indonesia diketahui memiliki kewajiban untuk melakukan publikasi ilmiah, termasuk publikasi di jurnal nasional…
Pada saat memulai kegiatan perkuliahan, mahasiswa biasanya menerima dokumen bertajuk kontrak perkuliahan. Dokumen ini disusun…
Secara garis besar, kegiatan akademik dosen yang bersifat wajib ada tiga dan mengacu pada tri…
Mempertimbangkan penggunaan AI untuk membuat pertanyaan tentu menarik untuk dilakukan. Sebab, pada saat membuat pertanyaan…
Memahami apa saja isian data publikasi untuk kenaikan jabatan fungsional di SISTER tentu penting karena…
Sesuai dengan Kepmendikbud Nomor 500 Tahun 2024, salah satu indikator kinerja dosen adalah dosen menjadi…