Sempat ditolak, Prof. Dra. Nina Nurmila, Ph.D., akhirnya berhasil mewujudkan keinginannya menjadi dosen. Setelah menamatkan pendidikan sarjana bidang pendidikan Islam di Institut Agama Islam Negeri Sunan Gunung Djati sekarang UIN Sunan Gunung Djati Bandung (SGD) pada 1992, Nina, panggilan akrabnya, memutuskan untuk melamar menjadi asisten dosen di almamaternya, Fakultas Tarbiyah UIN SGD Bandung.
Meski begitu, saat itu keinginannya bertepuk sebelah tangan. Penolakan tersebut membuatnya kecewa lantaran ia ditolak bukan karena tidak layak secara kualitas, namun karena masih ada unsur senioritas dalam pemilihan asisten dosen. Padahal, Nina adalah peraih indeks prestasi kumulatif (IPK) tertinggi di almamaternya saat studi sarjana.
“Saya kecewa. Katanya, yang lebih senior juga masih banyak yang antri. Makanya saya ditolak,” kenang Nina.
Kekecewaannya tersebut urung membuatnya patah arang. Ia masih menjaga asa untuk menjadi pengajar. Gayung bersambut, ia mendapat informasi pembukaan pendaftaran Program Pembibitan Calon Dosen Tetap. Program ini membawa angin segar bagi Nina karena perekrutannya tak berdasar kedekatan relasi persaudaraan (nepotisme). Pun, pendaftarannya tak dipungut biaya sepeserpun.
Januari 1993, ia mendaftar program tersebut di rektorat UIN SGD Bandung. Setelah menjalani berbagai tes seperti penerjemahan kitab Bahasa Arab, tes Bahasa Inggris, dan wawancara, Nina akhirnya diterima bersama 30 calon dosen lainnya dan diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di 14 Perguruan Tinggi Islam.
Selesai menjalankan program tersebut selama sembilan bulan, Nina akhirnya ditempatkan di UIN SGD Bandung yang merupakan almamaternya saat studi jenjang sarjana. Nina diangkat menjadi dosen tetap di kampus yang terletak di Cibiru, Kota Bandung tersebut per 1 Maret 1994.
Keputusan Nina untuk menjadi dosen bukan tanpa alasan. Selain ingin mandiri dan bisa mendapat penghasilan sendiri, peraih gelar master dari Murdoch University, Western Australia tahun 1997 tersebut juga ingin mengamalkan ilmu yang ia dapatkan. Baginya, menjadi dosen memiliki priviles untuk menyebar ilmu yang bermanfaat.
“Dosen merupakan pekerjaan terhormat. Menjadi dosen cocok untuk saya yang memang senang belajar dan mengajar,” terang perempuan asal Kuningan, Jawa Barat tersebut.
Pengalaman Visiting Lecturer di Amerika Menjadi Pengalaman Paling Berkesan
Selama menjadi dosen, Nina mengaku banyak mendapat pengalaman berkesan. Salah satu yang menurutnya paling membekas di hati adalah pengalamannya menjadi dosen tamu di Amerika Serikat selama satu tahun pada 2008.
Ia menjadi dosen tamu di Departemen Sosiologi dan Antropologi, University of Redlands, California berkat kerja sama dengan program Fullbright. Selama mengajar di salah satu kampus ternama di Amerika Serikat tersebut, Nina mendapat pelayanan yang tak ia dapatkan selama menjadi pengajar di Indonesia.
“Saya merasakan kenikmatan menjadi dosen dengan fasilitas mengajar yang luxurious. Saya diberi ruang kerja lengkap dengan komputer, printer, telepon, fasilitas fotokopi, peminjaman buku yang hampir tidak terbatas, akses terhadap bacaan secara online ke jurnal internasional, dan gaji yang tinggi,” ujarnya menggebu.
Nina melanjutkan, fasilitas yang baik untuk dosen sangat diperlukan. Menurutnya, hal tersebut turut memengaruhi kinerja dan produktifitas dosen. ”Dosen tidak perlu terbebani mencari penghasilan tambahan untuk memenuhi kebutuhan dasar, sehingga bisa fokus menjadi dosen,” kata profesor UIN SGD Bandung tersebut.
Selain adanya fasilitas yang kurang, Nina menyebut kewajiban untuk menerbitkan karya ilmiah di jurnal internasional menjadi salah satu tantangan terberat bagi dosen. Ia menilai, masih banyak dosen yang tidak menguasai keahlian penulisan ilmiah yang sesuai syarat jurnal ilmiah, baik segi bahasa maupun substansi. Apalagi, penulisan karya ilmiah di jurnal internasional menjadi salah satu syarat kenaikan pangkat.
Nina cukup beruntung. Ia sudah terbiasa menulis dalam Bahasa Inggris. Ia seringkali menulis artikel dalam Bahasa Inggris yang berhasil diterbitkan dalam jurnal internasional.
Tentang Menjadi Aktivis dan Makna Penghargaan
Selain mengajar di Fakultas Pendidikan dan Pengajaran Islam di UIN SGD Bandung, Nina adalah seorang aktivis gender. Ia cukup getol berjuang dalam bidang gender bersama Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), institusi independen yang memperjuangkan hak-hak perempuan. Sejak 2015 sampai tahun ini, Nina dipercaya menjadi Komisioner Komnas Perempuan.
Keterlibatannya di Komnas Perempuan, diakui Nina sebagai salah satu komponen pengabdian masyarakat yang menjadi salah satu kewajiban dosen dalam tridharma perguruan tinggi.
Menjadi dosen sekaligus mengabdikan diri di Komnas Perempuan dimaknai Nina sebagai sebuah bentuk ikhtiar untuk menjadi orang yang dibutuhkan dan bermanfaat bagi orang lain.
Meski sudah mendapat gelar Guru Besar sebagai gelar akademik tertinggi seorang dosen dan berbagai penghargaan lain seperti dosen berprestasi pada 2011, Nina masih terus ingin mengembangkan diri dan berusaha mencapai mimpi-mimpi lainnya.
Bagi Nina, penghargaan yang ia dapatkan sejauh ini memiliki makna pengakuan terhadap prestasi dan kerja keras yang sudah ia lakukan. Nina menuturkan, penghargaan tidak harus didapat dari lembaga, namun ia juga sangat mengapresiasi penghargaan dari mahasiswa yang ia ajar.
Meski begitu, peraih gelar doktor bidang gender dan studi Islam dari University of Melbourne, Australia tersebut tak menempatkan penghargaan sebagai tujuan utama. Nina ingin menjadi manfaat bagi orang banyak.
“Saya memiliki semangat untuk mengisi setiap detik dari hidup saya untuk melakukan hal-hal yang membahagiakan dan memberi kontribusi positif bagi diri saya dan orang banyak,” tegas dosen yang pernah mengikuti International Advanced Training di Swedia tahun 2000 tersebut.
Ingin Lebih Banyak Menulis
Pada 2009 dan 2011, Nina menulis buku berjudul Women, Islam, and Everyday Life: Renegotiating Polygamy in Indonesia yang diterbitkan oleh penerbit di New York, Routlegde. Buku tersebut merupakan publikasi disertasinya kala menempuh studi doktoral di University of Melbourne, Australia.
Seperti dilansir Nu.or.id, Nina menyebut kisah klasik tentang poligami yang indah merupakan pendapat mayoritas laki-laki normatif. Maka dari itu, perlu adanya pengetahuan lain berdasar perspektif perempuan. Nina menemukan banyak fakta yang menunjukkan bahwa poligami menimbulkan banyak keburukan, termasuk kekerasan.
“Hanya agama Islam yang menulis secara jelas dan eksplisit untuk poligami. Tetapi sayangnya masyarakat membaca ayat poligami hanya setengah, tidak sampai tuntas. Padahal, beristri satu saja itu lebih dekat dengan tidak berbuat aniaya,” ujarnya seperti dilansir Nu.or.id dalam artikel berjudul Hasil Penelitian Ungkap Pandangan Perempuan soal Poligami.
Selain itu, Nina juga pernah menulis Module Study Islam and Gender (2008) yang diterbitkan oleh Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Masyarakat Egaliter Visi Islam (1999) yang diterbitkan oleh Mizan.
Ke depannya, Nina ingin lebih banyak meneliti dan menulis dalam rangka mengedukasi lebih banyak orang. Rencananya, Nina akan kembali menulis buku tentang wacana gender dalam Islam pada 2020 mendatang.
“Setelah ini, mulai awal 2020, saya ingin lebih banyak mendedikasikan diri untuk membaca dan menulis, termasuk menghasilkan publikasi yang bisa diakses secara internasional,” pungkas Nina. (duniadosen.com/az)
Mengecek dan menyiapkan sumber pendanaan untuk kebutuhan biaya kuliah S3 tentu perlu dilakukan jauh-jauh hari…
Dosen yang mau melanjutkan studi pascasarjana tetapi sudah berkeluarga pasti akan diselimuti kebimbangan antara apakah…
Mengacu pada aturan terbaru, proses sampai persyaratan kenaikan jabatan Asisten Ahli ke Lektor mengalami beberapa…
Dosen di Indonesia tentunya perlu memahami prosedur dan ketentuan dalam perubahan status aktif dosen di…
Kejahatan phishing data tentunya perlu diwaspadai oleh siapa saja, termasuk juga kalangan akademisi. Terutama kalangan…
Sudahkah para dosen mengetahui bagaimana cara menambahkan buku ke Google Scholar? Hal ini tentu penting…