Sertifikasi dosen (Serdos) adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada dosen. Program ini merupakan upaya pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional dan memperbaiki kesejahteraan hidup dosen, dengan mendorongnya untuk secara berkelanjutan meningkat profesionalisme. Namun, seperti pendapat para dosen yang telah lolos serdos?
Sertifikat pendidik yang diberikan kepada dosen melalui proses sertifikasi adalah bukti formal pengakuan terhadap dosen sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan tinggi. Sudah banyak dosen yang merasakan kebermanfaatan dari sertifikasi dosen. Berikut pendapat dosen yang telah Serdos membagikan pengalaman serta pendapatnya terkait Serdos. Berikut hasil wawancara duniadosen.com.
Anton Kuswoyo, S.Si., M.T. dosen Teknologi Pertanian Politeknik Negeri Tanah Laut (Politala) Serdos pada tahun 2016. Setelah tiga tahun menjadi dosen di Politala, Anton mengajukan Serdos. Selain untuk meningkatkan kemampuan diri sebagai dosen, Serdos juga membantu meningkatkan kesejahteraan. Hal ini karena jika sudah mendapat Serdos maka dosen akan menerima tunjangan sebesar satu kali gaji setiap bulannya.
Persiapan mengikuti Serdos dimulai Anton dari mengumpulkan berkas-berkas selama 3 tahun ke belakang, terutama SK, jurnal-jurnal publikasi, dan lain sebagainya. Langkah selanjutnya adalah mengisi data diri pada aplikasi secara online. Anton mengungkapkan, untuk mengisinya butuh waktu berhari-hari, karena sembari melengkapi bukti-bukti, termasuk juga harus mengikuti tes TOEFL dan TPA.
“Saya sempat pinjam uang ke salah satu rekan sesama dosen untuk biaya tes tersebut. Karena tidak punya uang. Nilai TOEFL saya tidak cukup menggembirakan, sangat pas-pasan, meskipun saya sudah mengikuti tes berkali-kali,” ungkap Anton.
Akhirnya meskipun dengan nilai TOEFL pas-pasan, Anton tetap nekat mengajukan Serdos. Karena ia yakin meskipun nilai TOEFL rendah, akan bisa ditutupi dengan nilai deskripsi diri. Oleh sebab itu mengisi deskripsi diri, Anton lakukan dengan sebaik-baiknya.
Anton mengatakan, memang kebanyakan dosen yang tidak lulus Serdos adalah karena nilai deskripsi dirinya rendah. Atau juga karena penulisan deskripsi diri terdeteksi plagiat, alias copy paste dari deskripsi diri orang lain. Hal ini sangat Anton hindari.
Inti penulisan deskripsi diri adalah menceritakan pengalaman kita sebagai dosen selama ini. Tentu seputar tridharma perguruan tinggi yaitu pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Ketiganya tersebut juga harus linear dengan keilmuan yang dimiliki dosen yang mengajukan Serdos.
“Harus nyambung sehingga bisa menunjukkan bahwa kita benar-benar profesional pada bidang keilmuan yang kita sandang. Misalnya bidang keilmuan saya adalah Teknik Lingkungan, maka dalam hal penelitian dan pengabdian kepada masyarakat juga harus berkaitan dengan ilmu teknik lingkungan. Demikian juga dengan mata kuliah yang saya ajar,” jelasnya.
Anton melanjutkan, mengisi deskripsi diri ini sangat berat tantangannya. Karena harus benar-benar orisinil hasil tulisan sendiri dan sebanyak kurang lebih 50 halaman. Anton pun rela lembur berhari-hari untuk menyelesaikannya.
Setelah selesai tidak langsung diunggah di sistem aplikasi online, tetapi Anton meminta bantuan rekan yang sudah lulus Serdos untuk membantu mengoreksi sekaligus memberi masukkan. Lalu ia perbaiki kembali dan dibaca ulang. Baru setelah yakin, Anton mengunggahnya pada sistem aplikasi secara online. Dan yang terakhir adalah perbanyak berdoa agar lulus Serdos, demikian Anton memberi tips.
“Setelah menanti berbulan-bulan, Alhamdulillah saya dinyatakan lulus Serdos. Pengumumannya secara online di akun kita masing-masing. Biasanya selalu ada catatan dari reviewer yang menilai kelayakan kita mendapatkan Serdos. Saya baca catatan tersebut, ternyata reviewernya sudah mengenal kepribadian saya. Beliau menuliskan bahwa sudah kenal dengan saya waktu saya kuliah S2 di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. Beliau adalah dosen saya, namun sampai sekarang saya tidak tahu dosen yang mana beliau ini. Karena tidak dicantumkan nama belia di kolom pesan,” terangnya.
Pendapat dosen serdos kedua yaitu Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, M.A., yang serdos pada 2008. Menurutnya manfaat Serdos baru sebatas administratif. Administrasi dosen sudah mulai tertib sehingga tidak ada data ganda atau dosen yang tidak terdata. Untuk manfaat lain Musdah mengatakan belum terasa, khususnya menyangkut peningkatan kualitas dosen.
Ia berpendapat, seharusnya upaya sertifikasi beriringan dengan peningkatan kualitas intelektual, emosional, dan spiritual seorang dosen. Sertifikasi mestinya tidak semata urusan administrasi, melainkan juga semacam filter untuk menyaring mana individu yang betul-betul memiliki minat dan kemampuan akademik untuk menjadi pendidik. Sebab, tidak semua orang berbakat dan berminat jadi pendidik.
“Bagi saya dosen adalah profesi istimewa yang memiliki peran besar untuk peningkatan kualitas literasi mahasiswa di Perguruan Tinggi dan ujungnya adalah peningkatan kualitas SDM bangsa,” tutur Musdah.
Berikutnya adalah Drs. Edi Kusmayadi, M.Si. yang lulus Serdos pada 2009. Dosen Fisip Universitas Siliwangi, Tasikmalaya. Edi menuturkan, dengan adanya Serdos bisa memacu semangat para dosen untuk mengabdi, meningkatkan profesionalisme dan kinerja. Secara ekonomi juga membantu dan menambah penghasilan dosen.
“Untuk sistemnya dari tahun ke tahun tidak ada yang rumit. Karena itu sudah pekerjaan dosen ya seperti itu,” katanya.
Berbeda dengan pendapat dosen S1 Administrasi Bisnis Universitas Telkom Bandung Astadi Pangarso, S.T., M.A.B., yang lulus serdos pada 2014. Menurut pengalamannya persyaratan Serdos kini makin sulit. Tapi dengan adanya Serdos, dosen memiliki kenaikan pendapatan finansial. Tak hanya itu, setiap dosen yang mengajukan hibah ada sedikit kemudahan dengan memenuhi persyaratan lain.
Hampir senada dengan Astadi, Dr. Ani Wijayanti M.M. M.Par., CHE., dosen pariwisata UBSI Yogyakarta mengungkapkan manfaat serdos ia rasakan sangat banyak. Mulai dari segi finansial, yang setiap bulannya mendapat tunjangan. Tunjangan tersebut dirasa Ani sangat mendukungnya dalam meningkatkan kualitas penelitian.
“Tunjangan tersebut mensuport berbagai kegiatan, di antaranya publikasi jurnal internasional bereputasi dan seminar internasional,” jelas Ani yang mendapat Serdos pada 2016 silam itu.
Ani melanjutkan, untuk persyaratan Serdos dari tahun ke tahun relative sama, tidak ada perbedaan. Hanya untuk aplikasi submit berkasnya berubah, aplikasinya baru dan ia rasa lebih memudahkan bagi dosen yang akan Serdos, karena ada sinkornisasi data. (duniadosen.com/ta)