Yogyakarta – Buku Rekontruksi Peradaban Islam Perpektif Prof. K.H. Yudian Wahyudi., B.A., B.A., Drs., M.A., Ph.D., dibedah oleh dua narasumber. Karya terbaru tersebut diulas dalam seminar di Convention Hall lantai 2, UIN Sunan Kalijaga (SUKA) Yogyakarta, Senin (5/8/2019).
Buku yang ditulis TGS Prof. Dr. K.H. Saidurrahman, M.Ag., yang saat ini menjabat sebagai rektor UIN Sumatera Utara serta Dekan Fak. Kesehatan Masyarakat UIN Sumatera Utara Dr. Azhari Akmal Tarigan, M.Ag., tersebut berisi tentang pemikiran intelektual Islam kontemporer Yudian Wahyudi yang saat ini menjabat sebagai Rektor UIN SUKA Yogyakarta.
Buku tersebut juga berisi respons Yudian terhadap berbagai masalah peradaban Islam dan bagaimana Yudian menjawab dan memberikan solusi pemikiran terhadap pertanyaan yang diajukan dalam konteks kebangkitan peradaban Islam. Misalnya, mengapa Islam mundr dan umat lain maju, juga menjadi perhatian serius Yudian.
Dr. Azhari memaparkan, penyebab konflik berkepanjangan yang terjadi salah satunya karena dalam buku Islam ada perbedaan-perbedaan dan tiap generasi memiliki murid masing-masing. Perbedaan pemikiran berlangsung dari zaman ke zaman. Salah satu contoh terjadi saat ini di Indonesia ada perebutan wacana. Kelak wajah Islam akan ditentukan oleh siapa yang bisa meyakinkan wacananya.
“Pemikiran seseorang yang dimenangkan dalam perebutan wacana akan menjadi wajah yang besar dalam Islam. Dan berbagai pemikiran Prof. Yudian yang ditulisnya ini, berbicara mengenai Islam moderat dan progresif di kampus,” ujar Azhari.
Ia mengatakan, dalam pemikiran Prof. Yudian mengatakan masalah ketertinggalan umat muslim saat ini. Karena salah membaca agama. Umat keliru dalam menangkap pesan Alquran. Akibatnya, sebagai pedoman Alquran belum dapat difungsikan secara optimal. Padahal Alquran adalah penjelasan yang berisikan pesan dan Tuhan mengenai segala sesuatu, baik itu pesannya eksplisit maupun implisit.
“Prof Yudian setuju dengan pendapat Ali Shari’ati dan Bint al-Shati. Peradaban harus dibangun dengan membangun manusia. Tugas utama pemimpin adalah memakmurkan bumi dan maknanya sama dengan membangun peradaban. Karena itu membangun manusia yang unggul melalui fakultas-fakultas terbaik, akan mengantarkannya menjadi pemimpin yang unggul,” beber Azhari.
“Pemikiran Prof. Yudian itu dimensinya banyak. Kalau kita mengatakan fokus dari mana saya akan sulit untuk mengatakannya. Kalau kita jadikan latar belakang pendidikannya menjadi ukuran, tentu dari hukum Islam lalu bergerak ke filsafat lalu ke politik hukum Islam,” kata salah satu narasumber Dr. Azhari Akmal dalam diskusi, Senin (5/8/2019) di Convention Hall Lantai 2 UIN SUKA Yogyakarta.
Narasumber kedua Dr. Phil. Sahiron, M.A., mengatakan, apabila ingin menguasai dunia, kuasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Ada dua permasalahan yang mengakibatkan kemunduran umat muslim yaitu, melepas sains eksperimental dan konflik internal. Akibat dari sikap kesejarahan yang keliru ini, umat muslim sulit bangkit, bahkan sampai detik ini.
Sahiron melanjutkan, hal ini diperparah diagnose yang tidak tepat yang mengakibatkan solusi yang ditawarkan juga tidak memberi dampak signifikan bagi kebangkitan umat Islam. “Buku ini mengajak umat Islam untuk memaknai Alquran dan Hadis dengan ajaran Islamnya melalui perspektif baru. Agar, umat muslim bisa memenangkan kompetisi global menjadi khalifah/ pemimpin di semua bidang,” terang Sahiron.
Sahiron yang merupakan Wakil Rektor II UIN SUKA Yogyakarta merespon pertanyaan mahasiswa yang menanyakan pemikiran Prof. Yudian sebagai rektor UIN SUKA Yogyakarta melalui kebijakannya termasuk melarang penggunaan cadar atau niqab di lingkungan kampus UIN SUKA Yogyakarta. Menurut Sahiron, ada tujuan pendidikan dibalik kebijaka tersebut.
“Ya monggo saja kami tidak melarang ketika di luar kampus mau memakai niqab atau apa silakan saja. Tetapi kalau di kampus, pertama: yang lebih Islami itu yang mana. Kedua, itu kaitannya dengan proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran itu kan ada komunikasi, dosen perlu melihat ekspresi wajah mahasiswanya. Kalau ditutup kami kan tidak tahu, apakah mahasiswa tersebut menyimak atau tidak. Yang pasti di UIN itu kan tempat proses belajar, ya harus ada ekspresi wajah sesungguhnya,” papar Sahiron. (duniadosen.com/ta)