Yogyakarta – Kementerian Riset, Teknologi, dan Perguruan Tinggi (Kemenristekdikti) berencana mengundang rektor dan dosen asing untuk mengisi jabatan di perguruan tinggi lokal. Hal tersebut kini masih menjadi polemik di kalangan akademisi Indonesia. Mereka mengingatkan, persoalannya tidak sesederhana yang dibayangkan. Dan Rektor UGM pun memberikan pendapatnya terkait hal tersebut.
Seperti dilansir voaindonesia.com, Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Prof. Ir. Panut Mulyono, M. Eng, D. Eng., meminta Menrisktekdikti Mohamad Nasir memikirkan kembali rencana import rektor dan dosen asing, karena tugas rektor di Indonesia lebih kompleks dibanding akademisi di luar negeri.
Kemudian Panut pun memberi contoh kecil soal kesediaan mereka untuk turun ke lapangan menengok mahasiswa yang sedang berkegiatan di wilayah terpencil di Indonesia. Bukan berarti mengecilkan rektor dan dosen asing bersedia blusukan menengok mahasiswa yang sedang Kuliah Kerja Nyata (KKN).
“Yang harus dipikirkan lagi, perguruan tinggi kita misinya itu tidak hanya mencari reputasi. Didirikannya perguruan tinggi, antara lain adalah bagaimana kita berkontribusi memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa ini,” ungkap Panut.
Ia melanjutkan, memajukan perguruan tinggi tidak cukup dengan mengganti pimpinannya dengan akademi asing. Tetapi harus mengajak semua pihak melihat lebih dalam, terutama dalam hal pembiayaan. Di banyak perguruan tinggi berbagai negara, kemampuan meraih reputasi tinggi di dunia internasional terkait dengan anggaran penelitian yang berlimpah.
Dengan dana yang cukup, mereka mampu menghasilkan penelitian yang baik dan dipublikasi di jurnal-jurnal ilmiah bereputasi tinggi.
Untuk mengatasi terbatasnya dana penelitian, perguruan tinggi di Indonesia bekerja sama dengan perguruan tinggi luar negeri. Menyandingkan penelitian UGM dan professor dari luar negeri, misalnya mampu menaikkan reputasi. Tetapi strategi ini pun membutuhkan dana yang tidak sedikit.
Rektor dan Dosen Asing Tuntut Gaji yang Lebih Tinggi
Dari sisi penggajian, Panut juga mencium akan menimbulkan persoalan. Rektor dan dosen asing tentu menuntut gaji yang lebih tinggi dibandingkan akademisi setempat.
Misalnya dosen asing diberikan gaji lebih tinggi, hal tersebut dikhawatirkan menimbulkan kesenjangan. Padahal, dosen adalah monitor penggerak utama perguruan tinggi. Jika terjadi disharmoni dalam hal ini, justru rektor asing akan kesulitan menggerakkan dosen-dosen mau bekerja dengan baik.
Panut berpendapat, jika memang harus mengundang akademisi asing sebagai rektor, ia merekomendasikan memasukkan 20 sampai 30 persen dosen asing sekaligus. Karena dengan begitu, kemampuan akademis dan jaringan mereka di seluruh dunia bisa dimanfaatkan untuk mempercepat reputasi perguruan tinggi nasional.
Memang, langkah tersebut punya konsekuensi yang tidak ringan. Rektor dan dosen asing harus bisa menerima gaji yang besarannya sama seperti Rektor dan dosen di Indonesia. Atau malah sebaliknya, pemerintah harus menaikkan gaji dosen lokal hingga setara dengan dosen asing.
“Kalau kami para rektor bertemu di Forum Rektor Indonesia rata-rata kami sebetulnya bukan menolak. Sebenarnya kami juga tahu cara meningkatkan kualuitas dan reputasi di tingkat dunia. Cuma, meman diperlukan dana itu tadi,” imbuh panut sembari tertawa.
Redaksi
Pada saat menyusun karya tulis ilmiah, apapun jenisnya, dijamin karya ini diharapkan bebas dari kesalahan.…
Pada saat melakukan penelitian, maka biasanya akan menyusun proposal penelitian terlebih dahulu. Salah satu bagian…
Dosen yang sudah berstatus sebagai dosen tetap, maka memiliki homebase. Jika hendak pindah homebase dosen,…
Pada saat memilih jurnal untuk keperluan publikasi ilmiah, Anda perlu memperhatikan scope jurnal tersebut untuk…
Memahami cara melihat DOI jurnal pada riwayat publikasi ilmiah yang dilakukan tentu penting. Terutama bagi…
Dosen di Indonesia diketahui memiliki kewajiban untuk melakukan publikasi ilmiah, termasuk publikasi di jurnal nasional…