Dr. Ing. Indar Sugiarto, S.T., M.Sc. merupakan dosen ahli bidang kecerdasan buatan atau lebih dikenal artificial intelegence. Dosen Universitas Kristen (UK) Petra Surabaya tersebut mulai mempelajarinya ketika menempuh S1 di Teknik Elektro Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. Pengetahuannya makin terbuka ketika melanjutkan kuliah jenjang master dan doktoral di Jerman, yaitu di Universitat Bremen (S2) dan Technische Universitat Munchen (S3). Dari sanalah kemudian ia tertarik mengembangkan teknologi SpiNNaker (Universal Spiking Neural Network Architecture).
”SpiNNaker adalah platform khusus yang dikembangkan untuk meniru cara kerja otak manusia. Saya mulai berkenalan dengan teknologi SpiNNaker ketika studi S3 di Jerman. Topik utama penelitian S3 saya kebetulan berhubungan dengan kecerdasan buatan, khususnya dari sisi kecerdasan kognitif,” Jelas Indar kepada tim duniadosen.com, Rabu (9/1).
Satu hal yang membuatnya tertarik dengan bidang kecerdasan buatan karena bidang tersebut sangat menentukan perkembangan teknologi. Bahkan eksistensi manusia di masa depan. Pria kelahiran 14 Mei 1977 tersebut menjelaskan, pada saat mengerjakan penelitian doktoralnya terkait teknologi kecerdasan buatan, ia berkolaborasi dengan beberapa institusi, termasuk University of Manchester, Inggris dimana SpiNNaker pertama kali dikembangkan.
”Promotor menyarankan saya untuk mengembangkan robot dengan kecerdasan buatan yang memanfaatkan platform SpiNNaker tersebut,” lanjut dosen kelahiran Malang, Jawa Timur tersebut.
Kembangkan SpiNNaker Sebagai Teknologi Kecerdasan Buatan Unggulan
Pengembangan SpiNNaker menggunakan teknologi neuromorfis, yaitu teknologi yang berusaha meniru cara kerja otak manusia untuk menghasilkan kecerdasan buatan yang semirip, bahkan melebihi kecerdasan manusia. Neuromorfis berasal dari kata neuron yang artinya sel-sel otak manusia dan morfis yang berarti bentuk.
”Teknologi neuromorfis ini berusaha mengimplementasi sel-sel otak dalam bentuk sirkuit elektronika digital. Berbeda dengan komputer biasa, teknologi neuromorfis ini menggunakan konsep komputasi terdistribusi, sama seperti otak kita yang mendistribusikan informasi dan pemrosesannya pada milyaran sel-sel neuron yang kecil,” terang Indar.
SpiNNaker yang sedang Indar kembangkan berusaha meniru cara kerja otak manusia, baik dari segi morfologis yang meliputi neuron, sinapsis, glial, dan lainnya maupun fungsionalnya yang meliputi korteks, cerrebellum, dan sebagainya. Indar menyebut cara ini adalah yang paling efektif untuk menghasilkan temuan yang paling mirip dengan fungsi biologis otak manusia.
”Target akhir teknologi SpiNNaker yang kami kembangkan tersebut adalah bisa benar-benar menghasilkan kecerdasan tingkat tinggi. Tidak seperti kecerdasan buatan yang ada sekarang dimana cara kerjanya masih bersifat parsial,” ujar dosen yang tinggal di Waru, Sidoarjo tersebut.
Indar mengatakan, teknologi SpiNNaker memiliki keunggulan dibanding teknologi kecerdasan buatan konvensional yang berbasis komputer. Indar menyebutnya sebagai otak digital yang bisa dipasang pada robot, sehingga menyerupai bahkan melebihi kecerdasan otak manusia.
”Pada komputer, pemrosesan dilakukan secara terpusat pada CPU (central processing unit) dan hasilnya disimpan pada memory yang juga terpusat seperti RAM atau storage unit lainnya. Sedangkan pada SpiNNaker, pemrosesan dilakukan secara terdistribusi pada sel-sel neuron digital yang kecil-kecil. Tapi jumlahnya masif dan hasilnya juga disimpan secara distributif dalam sinapsis-sinapsis yang menyusun memory,” terang Kepala Program Elektro UK Petra Surabaya tersebut.
Selain itu, teknologi SpiNNaker yang ia kembangkan juga membutuhkan daya listrik lebih rendah dibanding teknologi komputer konvensional. Indar menyontohkan sistem SpiNNaker utama yang ada di Inggris hanya menggunakan daya listrik sekira 10 kilowatt, sedang superkomputer dengan ukuran fisik sama membutuhkan daya 10.000 kali lebih boros.
Masih Kolaborasi Bersama Inggris, Mustahil Mengembangkannya di Indonesia
Saat ini, Indar masih berkomunikasi intens dengan University of Manchester, Inggris dalam pengembangan teknologi SpiNNaker tersebut. Indar menyebut bahwa UK Petra Surabaya adalah satu-satunya kampus di Indonesia yang memiliki platform SpiNNaker. Dosen yang juga anggota The Institute of Electrical and Electronics Engineer (IEEE) tersebut sebenarnya ingin sekali mengembangkan teknologi ini di Indonesia. Namun, pengembangan tersebut, menurut Indar, hampir mustahil.
Saat ini, Indar sedang mengembangkan prototipe teknologi neuromorfis tetapi tidak menggunakan VLSI seperti halnya SpiNNaker, melainkan menggunakan komponen standard yang bisa ditemukan di pasaran, yaitu GPU (graphics processing unit). Alasannya karena teknologi VLSI sangat mahal bagi budget penelitian di Indonesia dan belum tersedia di Indonesia.
Teknologi SpiNNaker yang Indar kembangkan masih perlu pengembangan jangka panjang. Saat ini prototipe yang ia kembangkan masih dalam scope penelitian dan belum bisa diterapkan secara langsung pada aplikasi industri/domestik. ”Mungkin sepuluh tahun ke depan ketika teknologi neuromorfis sudah bisa dikembangkan sendiri oleh bangsa Indonesia, kita bisa mencoba menerapkannya untuk aplikasi-aplikasi yang bersifat komersial,” harapnya.
Indar menyadari bahwa kecerdasan buatan memiliki masa depan cerah di masa depan. Indar menjelaskan, bidang kecerdasan buatan sebenarnya ditentukan oleh seberapa dalam pengetahuan seseorang tentang cara kerja otak sesungguhnya. Karena di dalam otaklah fenomena intelligence-mind-conciousness (kecerdasan-pikiran-kesadaran) itu berada.
Indar melanjutkan, teknologi kecerdasan buatan yang berkembang di Indonesia masih sangat terbatas. Pada umumnya, kecerdasan buatan yang dikembangkan pada aplikasi A tak bisa dipakai untuk aplikasi B, pun sebaliknya. Indar menganalogikan pengetahuan tentang otak ibarat lautan luas terbuka, sedang pengembangannya masih sebatas pinggir pantai, belum menyelami lautan terbuka tersebut.
”Dengan kata lain, kita masih jauh dari yang namanya general artificial intelligence. Untuk mengembangkan kecerdasan semacam itu, saya berpikir kita mesti menggali ilmu lebih dalam lagi di bidang neuroscience. Pengetahuan kita tentang cara kerja otak dari sisi neuroscience saat ini juga masih terbatas,” ujar Indar.
Dosen Harus Upgrade Pengetahuan
Pengembangan teknologi kecerdasan buatan seharusnya bisa relevan dengan revolusi industri 4.0 yang sedang berjalan. Dalam tataran perguruan tinggi, dosen memiliki peran penting berhubungan dengan tugasnya sebagai akademisi dan juga peneliti.
”Untuk itu, dosen dan peneliti harus bersiap dan upgrade ilmunya. Kalau tidak, dosen hanya akan jadi komentator saja. Harus aktif membaca artikel-artikel baru yang mengulas perkembangan teknologi. Khususnya yang berhubungan dengan revolusi industri 4.0, dan yang terpenting adalah mau mencoba tools-tools program baru yang sekarang ini banyak tersedia secara online,” kata Indar.
Sebagai dosen yang sejak kecil sudah menyukai bidang robotik dan teknologi kecerdasan buatan, Indar Sugiarto ingin lebih serius mengaplikasikannya dalam bentuk penelitian. Dosen sekaligus Kepala Program Elektronika Universitas Kristen (UK) Petra Surabaya tersebut ingin terus mengembangkan SpiNNaker yang sudah ia kenal sejak menempuh pendidikan doktoral di Technische Universitat Munchen, Jerman.
Indar tak ingin berhenti pada satu titik tertentu saja. Bagi Indar, sukses memiliki arti apa yang dikerjakan menghasilkan capaian yang direncanakan. Hidup menurut Indar adalah sebuah proses yang harus dijalani dengan baik. ”Adakalanya apa yang kita kerjakan sesuai perencanaan semula, tapi adakalanya tidak sesuai dan menuntut kita berpikir ulang untuk pencapaiannya,” jelas pengagum Thomas Alfa Edison tersebut.
Dalam pengembangan teknologi kecerdasan buatan SpiNNaker, gagal menjadi salah satu keniscayaan. Namun, Indar menganggap bahwa cara seseorang bangkit adalah salah satu cara menuju kesuksesan tersebut.
Indar bisa dikategorikan sebagai dosen sibuk. Tak hanya mengajar, Indar juga mendapat mandat untuk menjadi pimpinan Program Elektro dan juga Chief Editor di JIRAE. Selain itu, Indar juga sibuk meneliti dan mengembangkan teknologi SpiNNaker. Lalu, bagaimana kiat membagi waktu agar semua berjalan dengan baik?
”Prinsip saya, tugas kantor harus dikerjakan di kantor, sedangkan di rumah yang harus diprioritaskan adalah urusan keluarga. Baru kalau tugas-tugas di rumah sudah selesai dan masih ada waktu luang, maka saya gunakan waktu tersebut untuk nyicil pekerjaan yang berhubungan dengan kantor,” pungkasnya. (duniadosen.com/az)