Tepat hari ini tanggal 22 April 2020, kita semua sedang memperingati Hari Bumi. Bumi yang sedang berduka oleh wabah yang melanda.
Dalam memaknai hari bumi 2020, tentu yang terlintas dalam benak kita adalah tentang bagaimana mengelola konservatif terhadap lingkungan. Namun seiring perkembangan zaman, tentu pemaknaan konservatif tersebut berkembang kearah penanganan terhadap bencana.
Seperti kita tahu, belakangan ini bumi seolah “lumpuh” oleh sebuah virus yang melanda yaitu Covid-19. Virus mematikan ini seolah membuat Bumi untuk “bertaruh” masa depannya terhadap penanganan kasus pandemik virus ini.
Melihat sisi kajian historis terhadap hari Bumi. Hari Bumi lahir yang diprakarsai oleh ilmuan lingkungan hidup asal Amerika Serikat Gaylord Nelson pada tahun 1970. Hari bumi dibuat untuk memberikan awareness terhadap tempat tinggal Manusia yang sering diakibatkan kerusakan oleh ulah dari manusia itu sendiri. Kerusakan tersebut sering menyebabkan masalah yang berkepanjangan pada kelangsungan hidup manusia seperti peperangan, polusi udara, tumpahan minyak dan lain sebagainya.
Sumber lain, Rachmad dalam opininya di surat kabar Republika (2020), menyebutkan bahwa hari bumi lahir akibat kegelisahan yang dibuat sendiri oleh manusia yang memberikan tanda bahwa hari bumi harus lahir untuk menginisiasi terhadap pergerakan kepedulian di era modern.
Rachmad juga menambahkan beberapa organisasi kepedulian terhadap lingkungan seperti The Environmental Action (Washington 1970), Greenpeace (1971), Environmentalist for Full Employment (1975), and the Worldwatch Institute 1975 adalah jawaban dari bentuk nyata mengisi hari Bumi.
Konferensi internasional dan tinjauan lapang langsung mengiringi langkah romantisme perlindungan terhadap alam yang terus menerus “diperkosa” demi memenuhi hasrat kebutuhan dari Manusia. Kaum akademisi dan praktisi lapangan bahu-membahu menyelesaikan permasalahan yang menyangkut hasrat hidup umat manusia.
Berkembangnya kesadaran terlibat yang dilakukan oleh dunia internasional, mendukung terciptanya kepedulian di Indonesia pula. Kementrian lingkungan hidup, Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan konservasi alam bekerjasama dengan solid dengan beberapa organisasi non pemerintahan seperti Borneo orang utan Survival Foundation, CKNET-INA, Koalisi Pemuda Hijau Indonesia, Profauna Indonesia, dan Wahana Lingkungan hidup Indonesia.
Kerja sama yang apik dan solid ini menunjang masyarakat untuk dapat berperan lebih dalam setiap kegiatan yang mendorong perbaikan kepada lingkungan hidup yang ada di Indonesia.
Namun, bukannya tidak memiliki kendala, justru pada era modern inilah kerusakan alam sangat sering dijumpai. Ketidak-selarasan kebijakan penanggulangan antara pemerintah dengan kelompok pelaksana dilapangan sering kali menjadi kerikil terjal bagi keberlangsungan terhadap kepedulian ini.
Awal Maret 2020 Indonesia dikejutkan dengan berita tentang merabaknya penyebaran virus yang bergelar “The Silent Killer” yaitu virus Covid-19. Pada tanggal ini akan dicatat sepanjang sejarah dunia bahwa dunia sedang dilanda wabah virus yang sangat mematikan dan sangat cepat penyebarannya. Seolah bumi dipaksa menyerahkan segalanya demi menangani penyebaran virus covid-19.
Seluruh dunia tiap hari dikabarkan berita bertambahnya pasien suspected virus ini. Angka kematian pun terus bertambah tiap harinya, curva penyembuhan tidak beranjak malah terus meningkat. Dalam hati kita terus bertanya? Akankah bumi ini memiliki masa depan? Apakah bumi ini sudah lelah menangung segala kerusakan yang dikarenakan ulah manusia itu sendiri. Akankah Bumi membiarkan kita merasakan apa yang telah kita perbuat kepada Bumi ini?
Para ilmuan berubah dari yang dulu berpikir kepada bagaimana memanfaatkan sumber daya, kembali kepada mengembalikan atau merestorasi sumber daya? Bagi sebagian besar masyarakat awam. Asumsi yang beredar di masyarakat Covid-19 merupakan konsekuensi terhadap apa yang telah kita lakukan kepada alam. Alam menghukum umat manusia dengan tersebarnya virus ini.
Baru-baru ini media CNN memberitakan bahwa di China bertambah 100 orang suspected virus covid-19. Padahal sebelumnya diberitakan bahwa China sudah mulai sembuh dari penyebaran virus covid-19. Mendengar berita ini kita membayangkan bahwa apakah sebenarnya masa depan itu masih ada.
Pemutusan mata rantai penyebaran virus Covid-19 ini bergantung kepada seberapa rendah proses interaksi sosial dan mobilitias sosial suatu penduduk untuk mencegah pandemic. Bisa kita bayangkan, apa jadinya dunia tanpa interaksi dan mobilitas sosial. Namun dapatkah kita berpikir sebuah “ide gila” yakni seperti apa dunia pasca penyebaran Virus Covid-19?
Selama masa karantina demi pencegahan pandemic virus Covid-19 kita dipaksa untuk berdiam diri di rumah, mengurangi aktivitas dan berinteraksi dengan dunia sekitar, mengurangi bepergian dan menjaga kebersihan diri dan lingkungan.
Akankah pasca sembuhnya dunia ini dari virus covid-19 dunia terlahir kembali sebagai dunia yang bersih, dengan berisi manusia yang sadar akan kepedulian terhadap lingkungan dan kesehatan diri? Akankah kita dipertemukan pada dunia yang telah terbiasa dengan pola kesadaran dan kepedulian terhadap lingkungan? Sebuah peremajaan dunia.
Bisa jadi bumi ini sedang beristirahat selama pandemi penyebaran virus covid-19. Jika diumpamakan bumi sedang berdialektika-ala hegel dengan Covid-19 mungkin akan berterima kasih bahwa dengan kehadirannya, manusia menjadi semakin sadar akan pentingnya menjaga Bumi dari musibah yang disebabkan manusia sendiri. Saat ini dunia baru yang bersih dari Covid-19 adalah cita-cita bersama yang ingin diwujudkan seluruh masyarakat Dunia.
Akhir dari opini ini penulis mengajak kepada seluruh masyarakat pembaca agar kembali merefleksi diri sebagai manusia seutuhnya dengan menghargai dan berperan aktif dalam melindungi bumi dari kerusakan-kerusakan dimana kerusakan itu disebabkan oleh kita sendiri.
Marilah menjaga perbuatan agar hari bumi ini dapat bermakna lebih. Kita dapat berkontribusi mencegah penyebaran Virus Covid-19 dengan menjaga kebersihan lingkungan, berperan aktif melalui komunitas dan jejaring agar dapat melindungi bumi yang kita tinggali bersama. Hari bumi sebagai awareness kita terhadap bumi yang sedang sakit ini.
Oleh : Faizal Kurniawan, S.Pd, M.Si (Dosen Sosiologi, IKIP Budi Utomo Malang).
Pada saat menyusun karya tulis ilmiah, apapun jenisnya, dijamin karya ini diharapkan bebas dari kesalahan.…
Pada saat melakukan penelitian, maka biasanya akan menyusun proposal penelitian terlebih dahulu. Salah satu bagian…
Dosen yang sudah berstatus sebagai dosen tetap, maka memiliki homebase. Jika hendak pindah homebase dosen,…
Pada saat memilih jurnal untuk keperluan publikasi ilmiah, Anda perlu memperhatikan scope jurnal tersebut untuk…
Memahami cara melihat DOI jurnal pada riwayat publikasi ilmiah yang dilakukan tentu penting. Terutama bagi…
Dosen di Indonesia diketahui memiliki kewajiban untuk melakukan publikasi ilmiah, termasuk publikasi di jurnal nasional…