Bagi sebagian dosen, mengajar merupakan salah satu kegiatan yang menjadi fokus utama selain penelitian dan pengabdian kepada masyarakat yang merupakan dimensi dari tri dharma perguruan tinggi. Namun, Dr. Hargo Utomo, MBA beranggapan lain. Dosen di Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) tersebut memilih berkarir di dua sektor sekaligus. Yaitu, akademik sebagai dosen bidang bisnis dan sebagai pebisnis.
Setelah menamatkan pendidikan sarjana dari UGM pada 1987, setahun kemudian, Hargo, panggilan akrab Hargo Utomo, memutuskan untuk melamar menjadi dosen di almamaternya. Menurutnya, ilmu merupakan pondasi penting bagi pengembangan diri seseorang. ”Saya ingin mengembangkan diri,” ujarnya pada tim duniadosen.com.
Karena latar belakang di bidang bisnis dan ketertarikannya dalam bidang tersebut membuat Hargo tak ragu untuk menjalani perannya sebagai dosen bidang bisnis di FEB UGM. Pengajar di Jurusan Ilmu Manajemen, FEB UGM tersebut menyebut menjadi dosen tak hanya harus menguasai materi, namun juga wajib mengalaminya.
”Sebagai dosen di bidang bisnis, saya ya harus tahu ilmu tentang bisnis dan harus terjun langsung. Karir saya separuh di bidang akademik sebagai dosen bidang bisnis, separuh lagi di bisnis sebagai praktisi. Dosen bisnis harus tahu bisnis,” kata Hargo tegas.
Hargo melanjutkan, jika dosen hanya menguasai teori saja tak cukup, harus ada pengalaman empiris di lapangan. Karena merasa sudah memiliki cukup ilmu untuk terjun ke bisnis, masa awalnya sebagai dosen ia gunakan pula untuk mengurus beberapa bisnis. Dengan begitu, Hargo tak hanya mengajarkan teori kepada mahasiswa, namun juga berbagi pengalaman empiris bagaimana kehidupan seorang pekerja bisnis yang sebenarnya.
Menurut Hargo, hal seperti itu penting untuk dilakukan oleh dosen karena akan menambah jam terbang. ”Jam terbang itu sangat penting. Meski gelar tinggi tapi jam terbang rendah ya bakal susah untuk menjelaskan kepada mahasiswa dengan mudah. Lingkungan yang bisa membuat kita bernilai,” kata dosen yang juga komisaris PT. Aneka Gas Industri sejak 2015 tersebut.
Tak hanya itu, dengan memiliki pengalaman empiris di lapangan, Hargo menilai bahwa apa yang diterangkan dosen kepada mahasiswa seolah-olah nyata. ”Apa yang saya jalankan adalah apa yang saya ceritakan kepada mahasiswa. Di kelas ketika proses pengajaran, dosen dan mahasiswa harus sama-sama melakukan improvisasi agar nyambung. Ketika sudah ada pengalaman empiris, akan lebih mudah nyambungnya,” ucap Hargo.
Hargo mengakui bahwa dirinya merupakan dosen yang pelit nilai dan cenderung kaku terhadap peraturan yang ada. Meski begitu, Hargo hanya ingin memberikan pelajaran yang baik kepada mahasiswanya. ”Tujuan saya adalah memberi kritik konstruktif, bukannya saya benci kepada mahasiswa,” ujarnya sambil tertawa.
Sepanjang pengalamnnya menjadi dosen, ada banyak mahasiswa yang datang padanya dan bilang bahwa mereka mendapat pelajaran penting ketika diajar oleh Hargo. Pengalaman tersebut yang membuat Hargo merasa bangga. ”Sebagai dosen, saya bangga jika ada mahasiswa yang bilang bahwa mereka mendapat sesuatu dari saya. Saya selalu berusaha untuk memberikan pelajaran yang berharga, yang mungkin tidak didapatkan oleh mahasiswa saat itu juga,” ujar Hargo.
Bagi Hargo, tak ada kata berhenti dalam perbaikan. Dari segi sistem yang ada di perguruan tinggi, semuanya perlu perbaikan. “Dosen, mahasiswa, materi pelajaran, dan insfrastruktur perlu diperbaiki. Dosen harus progresif dan belajar agar hidup lebih bernilai,” lanjutnya.
Sebagai dosen, apa yang sebenarnya ingin dicapai oleh Hargo? Bagi Hargo, hal utama yang ingin ia capai adalah pengembangan pengetahuan dan melakukan diskusi agar pengetahuan yang ada dapat dimanfaatkan demi kemaslahatan. Meski menjadi dosen, bukan berarti proses belajar selesai. ”Ilmu tidak pernah mandek bahkan ketika orangnya meninggal,” tegasnya.
Selain itu, Hargo menilai bahwa dosen yang baik adalah dosen yang memiliki legacy. ”Dosen harus memiliki sesuatu yang bisa dijadikan rujukan. Orang sukses bukan dilihat dari berapa banyak hartanya, namun apa saja kontribusinya. (Dosen seperti itu-red) lebih memiliki nilai,” ujar dosen kelahiran Metro (Lampung), 20 April 1964 tersebut.
Memasuki era digital, Hargo mengaku tantangan yang ia hadapi sebagai dosen tak jauh berbeda dengan era-era sebelumnya, sama banyaknya. ”Masih banyak tantangan yang harus diselesaikan. Dosen harus mengelola waktu dengan baik karena pekerjaannya tidak hanya mengajar di kelas. Pun, dosen tak bisa asal ngomong, harus memiliki dasar,” jelas pria yang memeroleh gelar Ph.D dari College of Business and Economics, Australian National University pada 2001 tersebut.
Hargo menegaskan, era digital tak bisa dijadikan alasan bahwa semuanya serba sulit. Menurutnya, manusia harus bisa mengelola dan menggunakan teknologi. ”Era digital atau bukan, sama saja tantangannya. Yang membedakan adalah cara manusia menggunakannya. Smartphone itu yang smart orangnya, bukan phone-nya. Jika manusia bergantung pada teknologi, berarti manusianya yang bodoh. Maka, era sekarang manusia harus pintar dalam menggunakan teknologi,” tegasnya.
Menurutnya, dosen harus memiliki kemandirian dan memiliki sense pemecahan masalah. Selain itu, Hargo juga menyebut dosen harus memiliki profesionalisme yang tinggi. ”Sebenarnya, profesionalisme itu diperlukan oleh semua pekerjaan. Profesionalisme tercipta ketika orang berlaku profesional pada area yang dia tekuni. Profesional itu mengikuti code of conduct dan alur kerja,” ujar dosen yang pernah menjabat sebagai Direktur Program Magister Manajemen (MM) UGM tersebut.
Kemandirian juga harus ditanamkan kepada mahasiswa. Menurut Hargo, mahasiswa perlu ikut berproses. ”Sekarang sudah tidak efektif menceramahi mahasiswa. Mereka harus dilibatkan. Proses tersebut tak hanya ada di dalam kelas, namun juga banyak di luar kampus seperti kegiatan volunteering dan sebagainya,” katanya.
Kemandirian tersebut berhubungan dengan isu yang menurut Hargo memiliki urgensi tinggi di era sekarang. ”Menurut saya, isu yang mendesak mengenai bisnis dan ekonomi saat ini adalah kedaulatan,” ujarnya tegas.
Bagi Hargo, ketika berbicara ihwal kedaulatan, dosen harus menciptakan karya yang menjadi concern masyarakat saat ini. Karya nyata tersebut diawali oleh adanya ilmu. “Omong kosong berbicara kedaulatan kalau tidak punya karya nyata,” ujar Hargo tegas.
Tak hanya mengajar dan mengurusi bisnisnya, saat ini Hargo juga sibuk memimpin Direktorat Pengembangan Usaha dan Inkubasi (DITPUI) UGM. Hargo menjabat sebagai direktur di PUI UGM sejak 2012 lalu. PUI adalah lembaga di UGM yang memiliki fokus dalam mendukung dan mengembangkan usaha kecil dan menengah melalui startup maupun produk komersial lainnya.
Menurut Hargo, PUI memiliki tujuan utama untuk menghidupkan dan melakukan hilirisasi hasil riset dan inovasi kepada masyarakat. ”Melalui PUI, kami ingin membuat karya nyata yang bisa dirasakan langsung oleh masyarakat,” ujar Hargo ketika ditemui oleh tim duniadosen.com di Innovative Academy, UGM, Senin (10/12).
Pria yang berkantor di Direktorat SDM, Gedung Pusat UGM tersebut melanjutkan bahwa PUI melakukan berbagai cara untuk dapat merealisasikan visi lembaga. Yaitu dengan mempertemukan akademisi, peneliti, dan Pelaku bisnis agar tercipta proses kolaborasi yang pada akhirnya dapat mencapai hilirisasi kepada masyarakat.
”Hilirasi itu bukan hanya untuk tujuan komersial, tapi ide itu bisa muncul dari aktivitas ekonomi dan akan berlanjut menjadi pemahaman ekonomi dan muaranya tetap kepada masyarakat agar mereka berdaulat,” tegasnya. Saat ini, PUI sudah menghasilkan lebih dari 20 produk.
Dalam praktiknya, Hargo membuka pintu selebar mungkin bagi mahasiswa, dosen, dan komunitas yang ingin bergabung di berbagai program yang diselenggarakan oleh PUI. ”Semua orang boleh ikut, asal niatnya benar dan lolos proses seleksi yang ditentukan,” ujar Hargo seraya tersenyum.
Menurut Hargo, fokusnya saat ini adalah membangun ekosistem startup di Indonesia. Selain itu, Hargo juga ingin perkembangan startup yang telah ada terus dikembangkan. ”Mandat pokok saya adalah menghilirisasi semua hasil riset di kampus untuk kepentingan masyarakat banyak. Meski sudah banyak yang dihilirasi misalnya, produk pangan kesehatan, alat kesehatan, dan sebagainya. Namun masih banyak yang perlu dikembangkan lebih lanjut,” ujarnya.
Berkat kontribusinya membantu pengembangan usaha kecil, PUI diganjar penghargaan International Council for Small Business (ICSB) Indonesian Presidential Award pada 2017 lalu. Namun, Hargo enggan menyebut penghargaan tersebut sebagai tujuan utama.
”Saya tidak pernah mencari penghargaan. Penghargaan itu sebuah apresiasi dan saya berterima kasih untuk itu. Itu bukti karya saya diapresasi dan direkognisi. Hal itu adalah bagian dari legacy, bukan tujuan utama,” ujar dosen asal Lampung tersebut.
Melakukan berbagai kesibukan tersebut, Hargo mengaku kadang merasa letih. Untuk mengakalinya, Hargo menerapkan time management dalam setiap kegiatan yang ia tekuni. ”Manajemen waktu itu penting sekali. Perlu ditegaskan meski sibuk, namun harus tetap bersikap profesional,” ujarnya.
Sampai sekarang, Hargo mengaku terus berproses untuk meningkatkan kualitas diri. Baginya, yang dia lakukan sampai saat ini masih sedikit. ”Masih ada banyak hal yang perlu saya lakukan untuk menjadi orang yang lebih bermakna. Jadi ya harus terus belajar dan berproses,” pungkasnya. (duniadosen.com/az)
Pada saat menyusun karya tulis ilmiah, apapun jenisnya, dijamin karya ini diharapkan bebas dari kesalahan.…
Pada saat melakukan penelitian, maka biasanya akan menyusun proposal penelitian terlebih dahulu. Salah satu bagian…
Dosen yang sudah berstatus sebagai dosen tetap, maka memiliki homebase. Jika hendak pindah homebase dosen,…
Pada saat memilih jurnal untuk keperluan publikasi ilmiah, Anda perlu memperhatikan scope jurnal tersebut untuk…
Memahami cara melihat DOI jurnal pada riwayat publikasi ilmiah yang dilakukan tentu penting. Terutama bagi…
Dosen di Indonesia diketahui memiliki kewajiban untuk melakukan publikasi ilmiah, termasuk publikasi di jurnal nasional…