Guru besar menjadi salah satu jabatan tertinggi yang bisa diraih seorang dosen tetapi jabatan ini tidak abadi. Artinya, tetap ada kemungkinan Guru Besar dicopot alias dilepaskan jabatan tertingginya karena suatu hal.
Dalam dunia akademik di Indonesia sendiri, terdapat beberapa kasus dimana dosen dengan jabatan guru besar pada akhirnya mengalami pencopotan. Pencopotan jabatan ini tentu menjadi perhatian para dosen bahwa suatu kesalahan bisa berujung pada gugurnya jabatan tersebut.
Padahal untuk sampai ke jabatan guru besar dosen harus merangkak pelan-pelan dari asisten ahli dan bisa memakan waktu puluhan tahun. Lalu, adakah tips agar risiko pencopotan jabatan ini tidak dialami seorang dosen?
Dalam dunia akademik, seorang dosen mendapatkan jenjang karir berbentuk jabatan fungsional atau sering pula disebut jabatan akademik. Jenjang ini ada empat dimulai dari asisten ahli, lektor, lektor kepala, dan guru besar.
Dosen dengan jabatan fungsional guru besar kemudian mendapatkan gelar profesor. Mengacu pada UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada Pasal 23 dijelaskan bahwa jabatan guru besar sifatnya dipangku dosen secara terbatas. Bunyinya:
“Sebutan guru besar atau profesor hanya dipergunakan selama yang bersangkutan masih aktif bekerja sebagai pendidik di perguruan tinggi.”
Dalam pasal tersebut bisa dipahami bahwa guru besar akan menjadi jabatan yang dipangku dosen selama menjalankan kewajiban akademik. Mencakup tugas pokok sesuai isi tri dharma, tugas penunjang, dan tugas tambahan jika memang ada.
Lalu, apakah guru besar bisa dicopot? Jawabannya adalah bisa. Mengacu pada UU No. 14 Tahun 2005 pada Pasal 67 dijelaskan bahwa seorang dosen bisa dicopot dari jabatan akademik jika diberhentikan dari profesi dosen.
Seorang dosen bisa diberhentikan secara hormat maupun tidak hormat. Ada 5 (lima) penyebab dosen diberhentikan secara hormat dan diikuti lepasnya jabatan guru besar yang dipangku, yaitu:
Sementara untuk pemberhentian dosen secara tidak hormat dijelaskan bisa disebabkan oleh 3 (tiga) hal, yaitu:
Ketika seorang dosen diberhentikan dari profesinya maka lepas pula hak dan kewajiban akademik, termasuk juga jabatan fungsional. Jika sudah menjadi Guru Besar, gelar Profesor tidak lagi bisa disandang oleh dosen tersebut.
Sesuai dengan ketentuan tersebut, maka Guru Besar dicopot bisa disebabkan oleh banyak hal. Termasuk pelanggaran etika maupun hukum yang dilakukan dosen dengan jabatan fungsional tersebut.
Tak hanya itu saja, seperti dikutip dari laman liputan6.com, dijelaskan mengenai sanksi atau konsekuensi dari plagiarisme yang dilakukan dosen. Bentuk sanksi disini sangat beragam dan salah satunya pemberhentian dosen baik secara hormat maupun tidak hormat. Berikut detailnya:
Dengan kata lain, dosen bisa diberhentikan dan guru besar yang dipangku bisa dicopot juga ketika terbukti melakukan tindak plagiarisme. Khususnya tindakan plagiarisme berat dan membuat keputusan pemberhentian dan pencopotan jabatan ditetapkan pihak terkait.
Memahami bahwa guru besar adalah jabatan yang sulit diraih, memakan waktu cukup lama, tidak bisa dipangku selamanya, maka kami menghimbau bagi para dosen untuk menjaga nama baiknya dengan tidak melakukan tindak pelanggaran dalam bentuk apapun. Sebab pelanggaran tersebut bisa berdampak pada pemberhentian menjadi dosen dan pencopotan jabatan guru besar yang diraih dengan penuh perjuangan.
⚠️ Selama melakukan publikasi, pastikan Anda mematuhi etika publikasi agar terhindar dari kasus plagiarisme mulai dari sekarang. Ikuti panduan [Lengkap] Menulis dengan Etika untuk Hindari Plagiarisme.
Sebagai dosen sekaligus sebagai pemangku jabatan fungsional tertinggi, seorang guru besar diharapkan selalu mawas diri. Apalagi menjadi teladan bagi dosen lain dan mahasiswa di bawah naungan institusi yang sama.
Sayangnya, tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Hal ini juga dialami para dosen dengan jabatan tertinggi tersebut. Sebab tercatat ada beberapa kasus guru besar dicopot dan menjadi pusat perhatian akademisi tanah air.
Salah satu contoh kasusnya adalah pencopotan guru besar UNS, yang dialami oleh dua dosen sekaligus pada Juni 2023 lalu. Kedua guru besar tersebut dicopot dari jabatannya karena melanggar Peraturan Pemerintah no 94 Th 2021 pasal 3 huruf e, pasal 3 huruf F, dan pasal 5 huruf a tentang “Disiplin Pegawai Negeri Sipil”.
Pencopotan keduanya dilakukan langsung oleh Nadiem Makarim selaku Mendikbud Ristek (Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi). Secara resmi pencopotan ini tertuang di dalam SK Mendikbudristek No 29985/RHS/ M/ 08/2023 dan No 29986/RHS/M/08 Th 2023 per 26 Juni 2023 yang juga menjelaskan hukuman disiplin kepada dua Guru Besar UNS tersebut.
Kasus ini tentu menjadi bukti bahwa guru besar dicopot bukan hanya isapan jempol, melainkan suatu hal yang bisa menjadi fakta dan sudah terjadi di lapangan. Dari masalah tersebut, dosen lain bisa berhati-hati untuk terus menjaga nama baiknya di dunia akademik.
Sebagai dosen tentu ingin meraih menapaki puncak karir sebagai bentuk pencapaian tertinggi selama mengabdi di dunia pendidikan tinggi. Jabatan fungsional tinggi juga membantu dosen memberi kontribusi ekstra dan nyata bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Secara garis besar, sampai di puncak karir adalah hal penting bagi dosen karena selain menjadi prestasi juga menjadi bukti tanggung jawab sebagai dosen. Meskipun ada resiko Guru Besar dicopot tetapi dengan proses pengembangan karir yang tepat resiko ini bisa dihindari.
Terdapat beberapa tips untuk meminimalkan risiko terjadi pencopotan jabatan fungsional dosen, diantaranya:
Tips berikutnya sebagai proses pengembangan karir agar dosen tidak mengalami pencopotan jabatan adalah mengembangkan kompetensi profesional. Beberapa program pelatihan diselenggarakan pemerintah dan wajib diikuti semua dosen di Indonesia.
Pastikan untuk mengikuti program tersebut. Begitu juga dengan pengembangan kompetensi yang diselenggarakan institusi. Misalnya penyelenggaraan webinar maupun workshop yang berkaitan dengan tugas akademik dosen yang tentu penting untuk diikuti.
Semakin banyak kompetensi dan keterampilan yang dikuasai dosen, maka akan menunjang pelaksanaan kewajiban akademik. Hal ini menjadi bekal penting agar dosen bisa mengandalkan kemampuan diri sendiri tanpa perlu melakukan pelanggaran etika. Misalnya menyewa joki, titip nama di jurnal, dan sebagainya.
Baca Juga: Kasus Titip Nama di Jurnal yang Bisa Jadi Pelanggaran Etika Publikasi
Tips pengembangan karir dosen agar terhindar dari resiko guru besar dicopot adalah mengembangkan publikasi ilmiah yang beretika. Artinya, publikasi ilmiah tersebut adalah publikasi yang memang dikerjakan dosen tanpa melanggar etika penelitian dan publikasi.
Dosen diharapkan tidak hanya fokus meningkatkan kuantitas publikasi tetapi juga kualitas yang diiringi dengan kerja keras sehingga muncul motivasi untuk mengembangkan keterampilan menulis dan mengurus publikasi ilmiah.
Harapannya dengan tetap menjunjung tinggi etika inilah dosen bisa menghindari segala bentuk pelanggaran. Misalnya plagiarisme, pencatutan nama, dan sebagainya yang bisa berujung pada sanksi pemberhentian dan pencopotan jabatan fungsional.
Tips yang kedelapan adalah mempelajari, memahami, dan mematuhi etika profesi dosen. Etika ini bisa mencakup etika penelitian, etika dalam mendidik atau mengajar, etika publikasi ilmiah, dan sebagainya.
Etika yang dipahami dengan baik akan menjadi acuan dalam bersikap dan mengembangkan karir akademik sehingga selalu berada di jalan yang benar dan terhindar dari segala bentuk pelanggaran.
Sejumlah tips pengembangan karir dosen berikut wajib Anda pahami:
➝ 3 Strategi Emas untuk Pengembangan Karir Dosen
➝ 2 Kunci Sukses Karir Dosen di Dunia Akademik, Catat!
➝ 15 Hal yang Kerap Menghambat Karir Dosen, Harus Dihindari!
Tips berikutnya adalah belajar menjadi pribadi yang berintegritas dan bersabar. Dalam dunia akademik, dosen sering dihadapkan dengan kebutuhan untuk segera mengembangkan karir tetapi dosen juga berhadapan dengan kewajiban akademik lain yang banyak dan beban administrasi.
Maka sebaik-baiknya dosen adalah tidak sekadar kritis dan bisa mengajukan kritik, melainkan belajar bagaimana memenuhi ketentuan yang sudah diberlakukan. Pada akhirnya dosen hanya bisa mengikuti peraturan yang berlaku dan harus dihadapi dengan sabar. Sehingga tidak ada keinginan berbuat curang dengan melanggar etika maupun hukum.
Berikutnya adalah membangun support system yang positif. Anda bisa mulai dengan membangun hubungan baik bersama rekan dosen yang cenderung jujur dan selalu bersikap positif sehingga terpengaruh karakter positif tersebut. Hal tersebut bertujuan agar tidak muncul godaan melakukan pelanggaran etika.
Selanjutnya, bisa dengan meminta dukungan dari pihak keluarga. Berikan pemahaman kepada mereka jika dukungan untuk terus menekuni profesi dosen dan sampai ke puncak karir adalah penting sehingga Anda memiliki support system yang baik dan terhindar dari keinginan melakukan pelanggaran.
Dengan beberapa tips tersebut, proses pengembangan karir akademik dosen akan berjalan baik dan tetap di jalan yang lurus. Dalam prosesnya, mungkin dosen akan mengalami kejadian yang memberi pengenalan pada pelanggaran kode etik.
Namun, harus diyakini bahwa sekecil apapun suatu pelanggaran di profesi yang ditekuni, karir yang sudah dibangun susah payah menjadi taruhannya. Jadi, penting sekali untuk terus memperbanyak berdoa agar dijauhkan dari hal-hal negatif yang menjerumuskan seperti ini agar tidak mengalami pencopotan guru besar.
Pada saat menyusun karya tulis ilmiah, apapun jenisnya, dijamin karya ini diharapkan bebas dari kesalahan.…
Pada saat melakukan penelitian, maka biasanya akan menyusun proposal penelitian terlebih dahulu. Salah satu bagian…
Dosen yang sudah berstatus sebagai dosen tetap, maka memiliki homebase. Jika hendak pindah homebase dosen,…
Pada saat memilih jurnal untuk keperluan publikasi ilmiah, Anda perlu memperhatikan scope jurnal tersebut untuk…
Memahami cara melihat DOI jurnal pada riwayat publikasi ilmiah yang dilakukan tentu penting. Terutama bagi…
Dosen di Indonesia diketahui memiliki kewajiban untuk melakukan publikasi ilmiah, termasuk publikasi di jurnal nasional…