fbpx

Terbitkan buku lebih cepat HANYA 1 BULAN? Dapatkan fasilitas VIP ini secara GRATIS! Klik di sini

Bachtiar Wahyu Mutaqin, Fokus Bidang Geomorfologi Kelautan dan Mitigasi Bencana

Mitigasi Bencana
Dr. Bachtiar Wahyu Mutaqin, S.Kel., M.Sc. menerima penghargaan MT180 di Perancis 2018 (doc. Facebook)

Dr. Bachtiar Wahyu Mutaqin, S.Kel., M.Sc. adalah salah satu dosen muda di Departemen Geografi dan Ilmu Lingkungan, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada (UGM). Bachtiar memilih fokus bidang Geomorfologi Kelautan, Mitigasi Bencana, dan Ilmu Kelautan. Ia mengaku ketertarikannya pada bidang tersebut berawal dari ketidaksengajaan. Berbeda dengan keinginannya menjadi dosen, yang telah menjadi cita-citanya sejak lama.

”Awalnya orangtua menyarankan untuk memilih teknik pertambangan atau kedokteran. Namun saya menolak dan memilih jurusan kelautan berdasarkan feeling saja. Alhamdulillah diterima. Senang dengan jurusan yang saya pilih tersebut dan akhirnya keterusan sampai sekarang,” ceritanya.

Perlunya Pengetahuan Mitigasi Bencana Sejak Dini

Menurut Bachtiar, isu mendesak saat ini terkait isu kebencanaan yaitu pengetahuan terkait mitigasi bencana yang masih kurang. Dosen muda ini menilai pengetahuan mitigasi bencana perlu diajarkan sejak dini, diterapkan sejak di bangku sekolah dasar. Mengingat wilayah Indonesia yang berpotensi dan rentan terhadap bencana alam.

”Pemahaman dan pengetahuan mitigasi bencana perlu ada di kurikulum sekolah, khususnya di wilayah kepesisiran. Masih ingat kan kasus peneliti Tsunami yang dilaporkan ke polisi karena dianggap meresahkan? Padahal yang salah kutip si wartawannya. Itu salah satu contoh saja,” ujarnya menggebu.

Bachtiar Wahyu Muttaqin menerima penghargaan di Perancis. (doc. Facebook)

Ia melanjutkan, pengetahuan mitigasi bencana perlu dimasukkan dalam kurikulum, mulai dari Taman Kanak Kanak (TK) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA).  Pemahaman tentang laut harus diubah. Laut itu sebagai penghubung bukan pemisah. ”Konsep keberagaman dan toleransi harus ditanamkan sejak usia dini, begitu juga dengan pendidikan seks, dan pendidikan keuangan juga harus diajarkan sejak dini,” lanjut Bachtiar.

Meski begitu, dia menganggap bidang kelautan di Indonesia mengalami perkembangan. ”Saya mengamati pergerakan KKP semenjak eranya Bapak Rokhmin Dahuri. Dan secara pribadi, saya melihat pada era Ibu Susi Pudjiastuti, banyak sekali hal-hal positif yang beliau tularkan dan lakukan, khususnya yang menyangkut para nelayan tradisional, keberlanjutan sumber daya laut, maupun kedaulatan Indonesia di wilayah perairan,” cerita dosen yang sangat mengidolakan Gus Mus tersebut.

Lulus Master, Melamar Menjadi Dosen

Pria 30 tahun tersebut memang sejak awal bercita-cita sebagai dosen. Berkat perjuangan untuk mewujudkan cita-citanya, keinginannya menjadi dosen pun terwujud pada 2012 lalu.

Sejak berkuliah di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang, Bachtiar sudah menjadi asisten dosen. Sebelum menjadi dosen, Bachtiar pernah bekerja di bidang konsultasi pemetaan. Saat bekerja tersebut, Bachtiar menemukan informasi beasiswa jenjang master di UNDIP Semarang, Universitas Udayana (UNUD), dan UGM.

”Setelah mempertimbangkan banyak hal, salah satunya terkait kerja sama internasional yang dimiliki kampus-kampus tersebut, akhirnya saya memilih UGM dan mengundurkan diri dari pekerjaan saya sebagai konsultan,” jelas pria peraih gelar master dari UGM pada 2011 tersebut.

Setelah lulus jenjang master, Bachtiar langsung memutuskan untuk menjadi dosen. Sebelum menjadi dosen tetap di Fakultas Geografi UGM, Bachtiar harus melalui proses seleksi yang ketat. Ketika dinyatakan lolos seleksi, Bachtiar tak serta merta langsung menjadi dosen.

”Saya harus melewati masa percobaan 3 bulan. Alhamdulillah selama masa percobaan saya dinilai mampu dan layak untuk menjadi dosen di Fakultas Geografi sampai sekarang,” ujar Bachtiar.

Bagi Bachtiar, menjadi dosen adalah proses menjadi lebih baik. Hal utama yang ingin ia capai sebagai dosen adalah menjadi orang yang bermanfaat. ”Saya ingin mempunyai ilmu yang bermanfaat dan barokah. Sampai sekarang masih berusaha untuk ke arah situ,” akunya.

Saat ini, selain melakukan proses pengajaran, Bachtiar juga disibukkan dengan berbagai kegiatan akademik lainnya seperti penelitian dan menulis artikel ilmiah yang merupakan komponen dari Tri Dharma Perguruan Tinggi. Bachtiar menganggap Tri Dharma tidak hanya ada di perguruan tinggi, namun Tri Dharma adalah bagian dari kehidupan.

”Saya rasa semua kegiatan kita sebagai manusia termasuk dalam Tri Dharma, hanya saja kita jarang menyadarinya. Yang paling penting semuanya harus diniatkan dengan baik sebagai bagian dari ibadah,” ujar dosen yang pernah mengikuti Winter School on Disaster Risk Reduction for Coastal Areas using RISC-KIT, University of the Algarve, Faro, Portugal pada 2017 tersebut.

Bachtiar merupakan dosen yang cukup produktif dalam menulis jurnal ilmiah dan mempublikasikannya. Dia telah menulis lebih dari 50 karya ilmiah terkait bidang-bidang tersebut yang dia publikasikan di berbagai jurnal nasional maupun internasional diantaranya Scopus, SINTA, Google Scholar, dan ResearchGate. Beberapa diantara publikasi ilmiah tersebut membahas terkait mitigasi bencana dan kelautan.

Kiat Membagi Waktu dan Menghadapi Tantangan

Selain memiliki kesibukan di bidang akademik, Bachtiar juga memiliki kesibukan domestik sesuai perannya sebagai kepala rumah tangga untuk keluarganya. Bachtiar harus membagi waktu antara urusan kampus dengan urusan keluarga. Bagaimana kiatnya?

”Mengalir saja, tidak ada kiat-kiat khusus. Tapi yang jelas semua sudah saya rencanakan jauh-jauh hari, jadi tidak pernah mendadak. Di awal tahun saya sudah punya agenda bulan ini ngapain, bulan ini ke mana, bulan ini liburan, dan sebagainya. Meski begitu, saya usahakan untuk selalu ada waktu untuk bermain dengan anak-anak,” ujar Bachtiar.

Menurutnya, kunci utama adalah bersikap konsisten dengan jam kerja yang ada. ”Sore setelah pulang kerja dan akhir pekan adalah waktu untuk keluarga,” lanjutnya.

Bachtiar mengaku menikmati profesinya sebagai dosen. Menurutnya, dosen adalah profesi yang memberikan banyak kesan sukacita kepadanya. Meski begitu, dia juga sadar dosen memiliki berbagai tantangan yang harus dihadapi, apalagi menghadapi tantangan era revolusi industri 4.0 yang serba digital.

”Menurut saya, tantangan dosen saat ini adalah bagaimana menghadapi perkembangan teknologi dan masuknya ideologi-ideologi radikal serta adanya intoleransi di perguruan tinggi,” terangnya. Bachtiar menganggap dosen memiliki posisi strategis untuk menghadapi tantangan-tantangan tersebut.

“Tidak ada kiat khusus (untuk menghadapi tantangan-red). Dosen harus berusaha untuk update dan melek teknologi sehingga mampu memanfaatkannya secara optimal. Misalnya, perkuliahan sekarang tidak perlu harus tatap muka, bisa melalui online dan sebagainya,” jelas dosen yang baru saja menamatkan pendidikan doktoralnya di Université Paris 1 Panthéon, Perancis pada Desember 2018 tersebut.

Kaitannya dengan masalah radikalisme dan intoleransi di perguruan tinggi, Bachtiar menilai dosen harus memiliki pendekatan khusus. ”Kita perlu memahami dan mencegah berkembangnya ideologi-ideologi radikal dan intoleransi melalui pendekatan-pendekatan khusus, serta selalu berkoordinasi dengan pimpinan baik fakultas maupun universitas untuk menanganiny,” lanjutnya.

Bachtiar: Jenang Melu Jeneng

Dalam menjalankan hidup, Bachtiar berpegang pada falsafah hidup orang Jawa, jenang melu jeneng. Jenang merujuk pada simbol kekuasaan sedangkan jeneng merujuk pada simbol dari popularitas. Menurut Diantika PW (2012), arti falsafah Jawa tersebut adalah bahwa untuk memperoleh rejeki, orang harus bisa menjaga nama baik terlebih dahulu. Tak hanya mementingkan hasil, tetapi harus menunjukkan kinerjanya terlebih dahulu.

Menurutnya, sukses tak bisa diukur dari materi semata. ”Saya ndak ingin kaya kok, yang penting setiap kali butuh uang, uang itu ada. Itu sudah cukup. Selain itu, sukses menurut saya adalah bahagia dan dapat menikmati hidup, serta dapat menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang lain,” tegasnya.

Selama hidupnya, Bachtiar sudah mendapatkan berbagai penghargaan, tak hanya tingkat nasional, namun juga tingkat internasional. Beberapa penghargaan yang ia peroleh adalah beasiswa akademik seperti LPDP dan Beasiswa Unggulan, Prix Mahar Schützenberger from Association Franco-Indonésienne pour le Développement des Sciences (2017), Young Geomorphologist Grants Award 2017 from the International Association of Geomorphologists (IAG/AIG) (2017), dan 2nd Prize in the Ma Thèse en 180s Indonésie 2018 (Indonesian France Embassy, Institut Français Indonesia, and Université Confédérale Léonard de Vinci) (MT180) yang ia peroleh tahun ini.

”MT180 dan beberapa penghargaan itu sebenarnya awalnya hanya ‘pelarian’ saya dari kesibukan menulis disertasi. Nothing to lose, apalagi melihat saingannya juga merupakan kandidat-kandidat doktor yang hebat dibidangnya masing-masing. Mengalir saja. Alhamdulillah hasil tidak pernah menghianati usaha, presentasi MT180 saya dianggap oleh juri sebagai salah satu yang terbaik,” katanya bangga.

Meski begitu, Bachtiar mengaku sebenarnya tak mencari penghargaan. Penghargaan yang dia dapat adalah bonus dari sebuah kerja keras. “Penghargaan itu ibarat jenang. Jangan fokus pada jenang, tapi fokus pada jeneng saja. Kalau sudah punya jeneng, jenang insyaallah akan mengikuti dengan sendirinya,” jelas peneliti di Laboratorium Geomorfologi dan Mitigasi Bencana UGM tersebut.

Dosen Muda Tak Boleh Lekas Merasa Puas

Sebagai dosen muda, Bachtiar mengaku ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Yaitu bisa menjadi angin segar dalam perkembangan perguruan tinggi jika mereka berpikiran terbuka. Misalnya, melek teknologi dan mau menempatkan diri dengan baik ketika bersama mahasiswa.

Baginya, dosen muda harus terus belajar. Dosen muda tak boleh lekas merasa puas dan merasa dirinya lebih baik dari orang lain. ”Dosen muda perlu terus berusaha untuk meningkatkan kapasitas diri (jeneng) itu tadi,” pungkas pria yang memiliki lisensi diving ASD level 2 tersebut. (duniadosen.com/az)