Kalangan sivitas akademika Universitas Gadjah Mada (UGM), khususnya Fakultas Hukum (FH UGM) tentu tak asing dengan nama Prof. Edward Omar Sharif Hiariej SH. M.Hum. Prestasinya yang moncer, serta sepak terjangnya yang sudah banyak malang melintang di dunia hukum Indonesia membuat pria kelahiran Ambon, 10 April 1973 tersebut makin dikenal.
Pria yang karib dikenal dengan sapaan Eddy Hiariej merupakan Guru Besar termuda di UGM. Eddy meraih predikat Guru Besar dalam usia 37 tahun, usia yang sangat muda untuk meraih predikat Guru Besar. Selain itu, Eddy juga memegang rekor lulus jenjang doktoral dalam waktu dua tahun 20 hari.
”Pada 2007, karena saya masih menjabat asisten wakil rektor, saya izin ke rektor UGM untuk mengambil pendidikan doktoral, dan lulus pada 27 Februari 2009 dalam waktu dua tahun 20 hari,” ujarnya lantang.
Resep Lulus Cepat dari Jenjang Doktoral
Gelar professor ia raih di usia muda, tak lepas dari pencapaiannya menyelesaikan kuliah program doktoral yang ditempuhnya dalam waktu yang lebih singkat dibandingkan kebanyakan mahasiswa lain. Resep lulus cepat dari jenjang doktoral diakuinya cukup sederhana. Eddy mengaku mempersiapkan semuanya sejak awal.
”Waktu itu, saya daftar kuliah doktor karena sudah punya bahan disertasi,” ucap profesor yang menyelesaikan disertasi berjudul Asas Legalitas dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia tersebut. ”Saya sudah mempersiapkannya sejak mengikuti short course HAM di Perancis pada 2001 selama 3 bulan,” lanjutnya.
Profesinya sebagai dosen dimulainya dari bawah. Setelah lulus jenjang sarjana pada 1998, dia kemudian mendaftar menjadi dosen di usia muda. Pada 2002, pria yang sering mengenakan kacamata di atas kepala tersebut diangkat sebagai asisten wakil rektor. Profesi itu ia lakoni diluar kesibukannya sebagai mahasiswa S2 Hukum UGM. Eddy menjabat sebagai asisten wakil rektor sampai jenjang doktoral.
Pernah Gagal Masuk Fakultas Hukum UGM
Tak ada hasil yang diciptakan secara instan. Ternyata, dibalik kesuksesannya saat ini, Eddy pernah tidak lulus ujian masuk FH UGM pada 1992.
Menilik perjalannya, keinginan dan ketertarikannya di dunia hukum diutarakan Eddy telah dimilikinya sejak lama. Almarhum ayahnya pun pernah menyampaikan kepada Eddy, ”Kalau saya lihat karateristikmu, cara kamu berbicara, kamu itu cocoknya jadi jaksa,” ucap Eddy menirukan sang ayah.
Meski jadi jaksa bukanlah amanah, tetapi di akhir hayatnya ayah Eddy kembali mengatakan agar Eddy kelak tak jadi pengacara bila benar ingin masuk fakultas hukum. Pesan itu disampaikan ayahnya saat itu Eddy masih duduk di bangku SMA. ”Mungkin dia tahu kalau saya jadi pengacara, nanti orang yang salah dan saya bela bisa bebas,” ungkapnya.
Namun jalan Eddy untuk bisa masuk FH UGM nyatanya tidak semulus harapan. Pada 1992, begitu lulus SMA, Eddy tak langsung lolos Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). ”Saya setahun itu gagal masuk Gadjah Mada. Jadi 1992 saya tes UMPTN tidak masuk,” jelasnya.
Menerima kegagalan, Eddy sempat merasa terpuruk. Ia pun memutuskan untuk liburan ke beberapa tempat menghilangkan kejenuhannya. Enam bulan kemudian, mulai Desember Eddy benar-benar intens belajar sampai UMPTN berikutnya. Dengan usaha keras, akhirnya profesor yang sangat senang dengan isu sejarah tersebut dapat masuk FH UGM.
Tetap Ingin Berkarir Sebagai Dosen
Ketika ditanya ihwal rencana menjadi jaksa, Eddy geleng kepala. ”Jadi dosen itu kita dipaksa untuk harus belajar. Saya memang hobi membaca, belajar. Enggak lah (menjadi jaksa-red),” jawab profesor yang berhasil menerbitkan lebih dari 100 publikasi ilmiah tersebut lugas.
Ia menambahkan, ingin terus mengajar karena hal tersebut membuatnya senang. ”Saya memang senang mengajar. Senang berinteraksi dengan mahasiswa, cerita dengan mahasiswa,” katanya.
Dedikasi Eddy terhadap hukum pidana, terutama terkait korupsi begitu besar. Pada 2011 lalu, Eddy mundur dari jabatan strategis di Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM karena menjadi ahli tersangka kasus korupsi. ”Padahal kita bisa tetap objektif,” ujarnya.
Selain itu, dia juga menganggap masih terjadi tumpang tindih dalam penanganan kasus korupsi. ”Yang harus diupayakan adanya satu lembaga berwenang yang mengurus korupsi, yaitu KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi-red) supaya tidak ada diskriminasi dalam penanganan kasus korupsi. Sejauh ini berbeda standar. Polisi ada perbedaan, jaksa ada perbedaan, KPK ada perbedaan. Itu tidak boleh,” tegasnya.
Sebagai ahli hukum pidana, Eddy berpendapat bahwa hukum pidana adalah tiang negara. Sehingga begitu penting untuk ditegakkan dan dilaksanakan sebaik mungkin. ”Kalau hukum tata negara kan pondasinya. Jika hukum pidana beres, semuanya beres,” katanya berapi-api.
Selain berprestasi dalam bidang pendidikan, penulis buku Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana tersebut juga terbilang produktif dalam meluncurkan karya bukunya. ”Saya menerbitkan buku melalui mandiri maupun kolaborasi. Yang mandiri, ada enam buku. Tapi kalau kolaborasi itu ada belasan buku,” tutupnya. (az/duniadosen.com)
Mengecek dan menyiapkan sumber pendanaan untuk kebutuhan biaya kuliah S3 tentu perlu dilakukan jauh-jauh hari…
Dosen yang mau melanjutkan studi pascasarjana tetapi sudah berkeluarga pasti akan diselimuti kebimbangan antara apakah…
Mengacu pada aturan terbaru, proses sampai persyaratan kenaikan jabatan Asisten Ahli ke Lektor mengalami beberapa…
Dosen di Indonesia tentunya perlu memahami prosedur dan ketentuan dalam perubahan status aktif dosen di…
Kejahatan phishing data tentunya perlu diwaspadai oleh siapa saja, termasuk juga kalangan akademisi. Terutama kalangan…
Sudahkah para dosen mengetahui bagaimana cara menambahkan buku ke Google Scholar? Hal ini tentu penting…