Ketimpangan gender terjadi di mana-mana, bahkan praktiknya mudah sekali ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Topik tersebut menjadi pembahasan utama dua dosen cantik Universitas Gadjah Mada (UGM) dalam diskusi publik Rembukant #1 bertema Asal Usul Ketimpangan Gender. Diskusi tersebut diselenggarakan Keluarga Mahasiswa Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, (FIB UGM), Jum’at (15/3).
Diskusi tersebut menghadirkan Dr. Suzie Handajani, M.A. (dosen Antropologi FIB UGM), Ulya Niami Efrina Jamson, M.A. (dosen di Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM), dan Ann Putri (komunitas Merah Muda Memudar) sebagai pemantik. Diskusi Rembukant #1 Ketimpangan Gender tersebut dihadiri oleh puluhan mahasiswa UGM dan umum.
Isu ketimpangan gender menjadi isu yang cukup mengemuka akhir-akhir ini melihat banyak sekali kejahatan yang berhubungan dengan hal tersebut. Suzie memantik dengan pertanyaan besar, kenapa laki-laki lebih dominan dari perempuan? Menurutnya, fenomena tersebut merupakan bentuk riil dari ketimpangan gender.
Dosen yang meraih gelar doktor dari Western University of Australia tersebut bilang asal usul ketimpangan gender adalah karena banyak orang jarang sekali berbicara ihwal gender dalam kehidupan sehari-hari. ”Mungkin saja asal usul ketimpangan gender adalah karena kita lupa membicarakan topik gender, sehingga (ketimpangan gender-red) menjadi sesuatu yang normal,” terang dosen yang juga mengajar di Kajian Budaya dan Media di Sekolah Pascasarjana UGM tersebut.
Suzie melanjutkan, masyarakat cenderung menghilangkan perbincangan terkait gender dalam topik yang tak menyangkut gender. Padahal, isu gender berhubungan dengan isu sosial lainnya.
Pun, Suzie berpendapat sebenarnya ketimpangan gender sangat melekat dalam kehidupan sehari-hari. Perempuan dan laki-laki diatur dalam batasan aturan berperilaku yang dikonstruksi secara sosial. Hal itu diperparah oleh adanya sistem patriarki yang menempatkan perempuan berada di bawah laki-laki.
”Kita juga bisa melihat sedikit sekali ilmuwan perempuan. Dalam kehidupan sehari-hari, interaksi laki-laki dan perempuan pasti ada yang namanya relasi kuasa. Itu dibuat untuk merendahkan perempuan. Kekuasaan kalau sudah dianggap normal itu sangat bahaya,” tegas Suzie.
Ulya Niami Efrina Jamson mengamini pandangan tersebut. Pipin, panggilan karibnya menyebut bahwa sebenarnya kita sedang hidup dalam masyarakat yang terlihat bebas namun tidak bebas. Ada batasan-batasan yang terpaksa dipatuhi secara sosial.
Menurutnya, setidaknya ada empat hal yang membatasi perempuan berkehidupan dalam sistem patriarki. Yaitu komodifikasi seksual, stereotip seksual, objektifikasi tubuh, dan maskulinitas agresif.
”Selain itu, banyak sekali hal-hal lain seperti mitos-mitos seksual, tabu, mitos perkosaan, dan rape culture. Stigma dan stereotip itu selalu melingkupi ketimpangan gender,” terang dosen sekaligus aktivis perempuan tersebut.
Menurut mantan pengurus Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) DI Yogyakarta tersebut, semua hal itu menjurus pada victim blaming, yaitu sikap menyalahkan korban. Pipin mencontohkan banyaknya korban yang bahkan disalahkan dan direviktimisasi dalam kasus kekerasan seksual.
”Karena hal-hal tersebut, korban semakin menderita. Ada dua pilihan korban kasus kekerasan seksual. Jika melapor, mereka akan disalahkan. Kalau tidak melapor, mereka depresi, stres,” ujarnya geram.
Pendapat dua pemantik diskusi tersebut diperkuat oleh data yang disajikan oleh Ann Putri. Dia menyebut Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) sejak 2007 merilis Catatan Tahunan (catahu) yang menunjuukan tren kekerasan seksual mengalami peningkatan.
Salah satu sebab kenapa kasus kekerasan seksual terus meningkat, menurut Ann, adalah karena masyarakat cenderung permisif terhadap kekerasan seksual. Selain itu, tak ada hukum setimpal yang membuat pelaku jera.
”Kekerasan seksual terjadi dalam dua ranah, yaitu privat dan komunitas. Yang menarik dari data yang ada, ternyata kekerasan seksual paling banyak dilakukan oleh orang terdekat,” terangnya.
Ann melanjutkan, peningkatan data kasus kekerasan seksual juga dipengaruhi oleh pengetahuan dan keterbukaan korban terhadap kasus kekerasan seksual, bukan hanya karena makin banyak perempuan yang menjadi korban.
Ketimpangan gender memiliki kompleksitas bahasan yang memerlukan kajian komprehensif. Jika berbicara ihwal gender, maka kita tidak berbicara sekadar dikotomi laki-laki dan perempuan, tetapi ada yang lain yang lebih beragam diantara keduanya. Dunia bukan saja berbicara soal heteronormalitas.
Suzie merekomendasikan adanya pendidikan seksualitas di jenjang pendidikan dasar. Menurutnya, anak perlu dikenalkan ihwal seksualitas sejak dini. Menurutnya, pendidikan seksualitas bisa mulai dikenalkan melalui hal-hal yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
”Kita bisa mulai dari topik relationship. Kita harus mengenalkan kepada anak bahwa nantinya mereka akan merasa suka dengan orang lain dan sebagainya. Hal-hal sehari-hari seperti itu yang harus dikenalkan,” katanya.
Suzie melanjutkan, pendidikan seksualitas harus dikenalkan dalam bentuk pemberdayaan yang membebaskan. ”Kita informasikan dengan baik beserta dampaknya. Setelah itu, biarkan mereka memilih sendiri,” ujar Suzie. (duniadosen.com/az)
Mengecek dan menyiapkan sumber pendanaan untuk kebutuhan biaya kuliah S3 tentu perlu dilakukan jauh-jauh hari…
Dosen yang mau melanjutkan studi pascasarjana tetapi sudah berkeluarga pasti akan diselimuti kebimbangan antara apakah…
Mengacu pada aturan terbaru, proses sampai persyaratan kenaikan jabatan Asisten Ahli ke Lektor mengalami beberapa…
Dosen di Indonesia tentunya perlu memahami prosedur dan ketentuan dalam perubahan status aktif dosen di…
Kejahatan phishing data tentunya perlu diwaspadai oleh siapa saja, termasuk juga kalangan akademisi. Terutama kalangan…
Sudahkah para dosen mengetahui bagaimana cara menambahkan buku ke Google Scholar? Hal ini tentu penting…