Delapan kali gagal masuk perguruan tinggi negeri, kini Dr. H. Edy Santoso, ST., SH., MITM., MH., sukses jadi dosen di Universitas Bergengsi. Tak hanya satu kampus, ia juga mengajar di sejumlah kampus diantaranya Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Gunung Jati, Untag Jakarta, Universitas Djuanda Bogor, Universitas Islam Nusantara, dan Universitas President.
Tak hanya itu, ia juga masih bekerja di BPSDM-Kementerian Hukum dan HAM RI bagian hukum bisnis dan HKI. Lantas seperti apa perjalanan karir Edy bisa sukses seperti sekarang ini? Berikut kisahnya.
Tidak pernah terpikirkan di benak seorang Edy Santoso untuk menjadi dosen. Terlebih ia sudah menjadi insinyur dan menapaki karirnya di sejumlah perusahaan sejak tahun 1991.
Di tahun 2003 Edy baru terpikirkan menjadi dosen ketika ia mengikuti pelatihan yang diselenggarakan di Bandung ketika ia masih bekerja di Otorita, Batam. Dalam pelatihan tersebut ia melihat para narasumber dari ITB dan banyak yang bergelar Master, Doktor serta membawakan materi dengan asik. Dari sanalah Edy berpikiran bahwa menjadi pengajar hal yang menyenangkan. Padahal saat itu, Edy baru saja memperoleh gelar masternya (S2) dari Australia.
Kembali dari Bandung, Edy pun memiliki keinginan kuat untuk bisa menjadi pengajar, ia pun ingin pula bisa menjadi narasumber, penulis, dan bisa keliling dunia. Untuk mencapai semua cita-citanya tersebut, Edy pun terpikir menjadi dosen.
2004, Edy menetap di Tangerang karena ia diterima bekerja di Kementerian Riset dan Teknologi, RI (Ristek) sebagai PNS. Kementerian yang 18 tahun lalu menjadi impiannya. Di sanalah, Edy mulai mempelajari ilmu baru karena pekerjaannya berkaitan di bidang hukum, padahal ia berlatar belakang seorang insinyur Teknik Sipil. Sampai ia dipanggil oleh Bapak Dr. Wendy Aritenang, selaku Deputi waktu itu, untuk diharuskan belajar tentang HKI. Edy menemukan sebuah keilmuan baru dari sana, yah ternyata yang dikerjakannya itu berkaitan dengan hukum bisnis.
Merasa masih kurang dalam keilmuan tersebut karena bidang baru baginya, Edy kemudian mengambil pendidikan program Megister ilmu Hukum (S2) di Universitas Padjajaran (UNPAD). Kebetulan saat itu ada program yang memungkinkan mahasiswa bisa menyelesaikan pendidikan dalam kurun waktu secepat-cepatnya satu tahun. Meski berat, Edy bisa menyelesaikannya satu tahun.
“Saya ambil Magister Hukum di UNPAD, 2005-2006 dengan predikat cumlaude. Saya berpikir enak juga ya belajar hukum, padahal ilmu ini sebelumnya tidak disukai. Kemudian saya ambil program Doktoral Ilmu Hukum (S3), saya ambil kelas regular, dari Tangerang ke Bandung bangun sebelum subuh pergi ke Bandung untuk kuliah,” ujarnya.
Ia pun menceritakan perjuangannya selama menempuh pendidikan sembari bekerja. Karena Edy bertempat tinggal di Tangerang dan berkuliah di Bandung. Ia harus bangun sebelum subuh dan bersiap berangkat kuliah ke Bandung. Memotong jarak tempuh, Edy pun menunggu bus jurusan Bandung di pinggir tol.
Bisa dibayangkan ketika sudah jauh-jauh menuju Bandung tengah perjalanan naik bus bahkan sedang berada di tol, mendapati pesan singkat yang menyatakan jadwal kuliah pun diundur karena dosen tidak bisa datang. Mau tak mau Edy menyelesaikan perjalanan busnya sampai Bandung dan rela kembali menunggu bus untuk kembali ke Jakarta. Pengalaman ini memberikan pelajaran untuk Edy sewaktu dijadwalkan mengajar.
Namun, perjuangan itu tidak sia-sia. Hanya dalam kurun waktu 3 tahun Edy berhasil meraih gelar doktornya dan mendapat Cumlaude di tahun 2009. Nah diperjalanan kuliah itu, sekitar tahun 2007 Edy mendapat tawaran mengajar. Tanpa pikir panjang lagi, Edy mengiyakan tawaran tersebut. Karena mengajar adalah cita-citanya.
“Itu pertama kali saya dapat order ngajar dari sahabat Saya Bapak Dr, Dhaniswara, yaitu di Bakrie School Management (BSM) yang sekarang namanya berganti Universitas Bakrie. Saya mengajar dibidang hukum bisnis sekitar 6 tahun, dan saya sangat menikmatinya,” tuturnya.
Kemudian, setelah memperoleh gelar Doktor Edy pun mengirim lamaran kerja ke sejumlah perguruan tinggi untuk mengajar. Ia pun mengajar disejumlah perguruan tinggi diantaranya, di Universitas Islam Nusantara (UNINUS), Universitas Juanda Bogor (UNIDA), Universitas 17 Agustus 1945 (Untag). Tapi saat itu, Edy belum memiliki S1 Hukum, padahal yang ia ajar adalah pengusaha, anggota DPRD, pengacara, hakim, jaksa, dan dosen. Namun selama ia mengajar pun tidak ada masalah. Belakangan studi S1 Hukum, ditempuh di Universitas Terbuka (2016-2019).
2010, Edy mendapati lowongan di Koran bahwa Universitas di Malaysia membuka program visiting lecture atau dosen tamu. Ia langsung melamar yang tidak lama mendapat panggilan wawancara. Fasilitas yang diberikan cukup bagus, dan mendapat pengalaman internasional sehingga ia pun makin tertarik.
Edy menjalani karir sebagai dosen tamu di Universitas di Malaysia mulai akhir 2010 sampai akhir 2012. Lagi-lagi Edy menjalani situasi bolak-balik Malaysia-Indonesia, sebab ia juga masih mengajar S2 di beberapa kampus di Indonesia.
“Waktu itu saya ngajar ada beberapa, bayangkan hidup saya di atas pesawat, suatu waktu saya di Malaysia, besoknya saya di Jakarta, Bogor, Bandung besoknya Jakarta lagi. Selama dua tahun itu kerjanya kerja gila-lah. Dari situ saya dapat pengalaman menarik selama ngajar itu, saya dapat kesempatan presentasi di beberapa universitas luar negeri,” aku penulis buku “Hukum Bisnis:Kumpulan Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi” Penerbit Deepublish 2020.
Lulusan Master of IT Management, University of Wollongong, Australia (2001-2002) ini bersyukur, presentasinya mendapat tanggapan positif. Dari sana, Edy menjadi pembicara di University of Caledelares, Philippines. Di sana ia menjadi pembicara di hadapan 500-an orang. Merupakan pengalaman yang luar biasa sekali saat itu bagi Edy. Yah, memang moment itulah yang begitu ia impikan selama ini, bisa menjadi pembicara di luar negeri.
Di sana, selain mengajar Edy juga melakukan penelitian hingga ke University of Leiden, Belanda, ISAM, Turki, dan National University of Kaohsiung, Taiwan, dan berhasil mendapatkan bantuan pembiayaan penelitian di dalam dan luar negeri. Tahun 2012, ekspansinya untuk mempresentasikan makalah meluas hingga ke Benua Eropa dan Amerika. 2011 ia pun sempat presentasi di Austria, kemudian Prancis, Jerman, Inggris, Cekoslovakia, dan Yunani. Edy pernah presentasi di University of London, UK, University of Ryerson, Canada. Dan 2013 menjadi pengalaman yang sangat berkesan baginya, pasalnya ia diberi kesempatan presentasi di Kampus Harvard University.
“Akhirnya saya publish beberapa paper jurnal saya, menerbitkan buku, ada yang minta saya jadi reviewer, buku chapter, akhirnya bidang ini lah yang saya tekuni. Hingga saya memiliki NIDK, jadi saya bisa ngajar hari Sabtu atau malam juga bisa, jabfung pun juga bisa jalan,” ungkapnya. Saat ini Edy juga sebagai tenaga pengajar di BPSDM, Kemenkumham RI.
Menurutnya, menjadi dosen harus bisa menjadi contoh inspirasi kepada mahasiswanya. Pengalaman yang berarti baginya, ketika ia mengajar di Malaysia, ada mahasiswa S1-nya yang dinilai kurang percaya diri dan kurang bersemangat dalam menjalani hari-harinya. Kemudian, mahasiswa tersebut mengajaknya bicara dan meminta Edy untuk menceritakan perjalanan hidupnya. Edy pun kemudian memberikan motivasi. 2012, Edy kemudian bertolak ke Indonesia.
Tak disangka, 2016 mahasiswa tersebut datang ke rumah Edy dan menceritakan keberhasilannya dalam mencapai S3 tanpa melalui S2. Dan saat itu mahasiswa tersebut sudah menjadi dosen di Universitas Pertamina. Mahasiswanya belajar 2 (dua) hal yaitu “Positive Thinking & Never Give Up”, dari sanalah Edy menyadari bahwa dosen itu menjadi sumber inspirasi untuk orang lebih baik bahkan lebih baik dari dosen itu sendiri.
Pastinya penasaran dengan kisah hidup yang diceritakan Edy ke mahasiswanya hingga membawa perubahan di hidupnya. Dimulai dari Edy menceritakan kepahitan saat masa sekolahnya dulu. Sejak kecil Edy tinggal berpindah-pindah karena semasa SD ia dititipkan kepada bude-budenya begitupun sekolahnya juga berpindah-pindah dari Temanggung ke Magelang kemudian kembali lagi ke Bandung. Di 4 (empat) SD Edy pernah belajar. Edy kecil saat itu sempat berkeinginan tidak mau sekolah dan mau bekerja saja.
1986 pasca lulus SMA, Edy berkali-kali gagal masuk universitas impiannya yaitu UNPAD dan ITB. Namun tak lama, ia justru mendapat panggilan dari Politeknik-ITB untuk diberikan kesempatan mengambil jenjang pendidikan D3. Edy pun mengikuti tesnya tapi gagal. Kembali ia mendapat panggilan dari LIPI untuk mengikuti program beasiswa Overseas Fellowship Program (OFP) untuk kuliah di luar negeri. Saat itu program tersebut diadakan oleh BJ. Habibie di bawah Kementerian Riset dan Teknologi. Wah peluang yang sangat luar biasa di depan mata Edy, impian keliling luar negeri dan bisa berkarir di Kemenristek seakan terbuka lebar saat itu.
“Nah waktu saya tes di LIPI padahal saya sudah banyak belajar, saya sudah menyiapkan, taunya saya nggak lulus lagi. Sayang, padahal saya satu-satunya lulusan SMA Negeri 16, Bandung yang ikut program ini tahun 1986. Setelah itu ada satu kesempatan lagi saya ikut tes di Pendidikan Komputer D3 di ITB, di sana dulu terkenal bisa cepat langsung mendapat pekerjaan. Nah itu adalah tes yang ke 5 itu gak lulus lagi. Waktu itu, saya gak mau putus asa, saya menganggap ini proses, waktu itu saya terus belajar sampai pembukaan masuk perguruan tinggi dibuka lagi,” paparnya.
Satu tahun menganggur (tidak kuliah) dipergunakan Edy untuk belajar dan olahraga. Tahun 1987 kembali Edy mencoba masuk di ITB dan Unpad, namun lagi-lagi gagal. 7 Kali gagal masuk perguruan tinggi, membawa Edy hampir dipenghujung rasa menyerah. Tapi datang lagi satu harapan dari Telkom untuk Pendidikan Ahli Teknis (PAT) yang membuka pendaftaran.
Tes pertama Edy lulus dari 10ribu pendaftar dan tersaring 300 orang. Hasil tes kedua waktu pengumumannya adalah siang hari, dan di hari itu pula Edy berkesempatan mendaftar untuk ikut tes di Politeknik ITB lagi yang tanggal penutupannya sama dengan tanggal pengumuman Telkom.
“Waktu itu saya di kasih uang oleh orang tua saya Rp 50ribu, tetapi saya juga mau daftar ke politeknik ITB tapi nanti Telkom keterima kan sayang. Terus saya ambil keputusan saya akan tunggu pengumuman dari Telkom dulu untuk persiapan tes wawancara dan lainnya. Di hari itu saya lihat pengumuman tetapi saya juga sudah menyiapkan berkas untuk mendaftar ke ITB. Tapi bodohnya saya waktu itu ijazah belum di fotocopy, foto pun belum dicetak. Karena saya masih mengandalkan dari Telkom harapan bisa diterima. Namun, saya tidak lulus lagi,” jelasnya.
Sudah ke 8 kali Edy gagal masuk perguruan tinggi, pahit melihat pengumuman itu akhirnya Edy bergegas lari ke Politeknik ITB. Ketika ia akan fotocopy berkas, listriknya mati. Ada tempat lain tapi cukup jauh, Edy pun lari ke sana, dan kembali lagi ke Politeknik dengan naik angkot. Sesampainya di Politeknik, pendaftaran di sana sudah akan tutup. Edy sempat dimarahi panitia karena terlalu mepet mendaftar.
“Gak bisa daftar katanya, disana saya menangis dan saya muter badan saya berdoa sama Allah “kalau hari ini saya tidak diterima kuliah, dan saya sudah berusaha, saya pasrahkan kepadaMu” pas disitu saya langsung di panggil sama panitia, sini kamu, saya kasihan lihat kamu” kata panitianya. Itu kekuatan doa yang luar biasa,” ungkap Edy.
Setelah itu Edy pun terus belajar, untuk ke 9 kalinya baru keterima di Politeknik ITB. Namun, penderitaan belum selesai, semester pertama kuliah Edy dibiayai oleh budenya yang rela menjual perhiasannya demi membiayai kuliahnya sampai ke semester 2. Semester selanjutnya hingga lulus Edy mendapat beasiswa dan berhasil menjadi lulusan terbaik. Dari situlah ia mendapat kemudahan dalam bekerja.
Salah satu impiannya yang terwujud adalah bekerja di Kementerian Riset dan Teknologi, menjadi dosen di dalam dan luar negeri, dan kini Edy juga berkesempatan keliling dunia, dan mengajar di universitas berskala internasional dan termahal di Indonesia.
Dosen senior ini pun tetap memiliki target dalam karirnya sebagai dosen di dunia pendidikan, karir tertinggi di bidang tersebut tak lain adalah meraih jabatan Guru Besar. Saat ini Edy mengaku tengah berupaya untuk mencapainya tentunya atas izin Allah swt. Namun, yang terpenting bagi dirinya adalah terus bisa menjadi inspiratory, motivator dan mengamalkan segala keilmuannya dan berdampak baik bagi orang lain. (duniadosen.com/titisayuw)
Sejalan dengan diterbitkannya Permendikbudristek Nomor 44 Tahun 2024, maka diterbitkan pula pedoman pelaksanaan berisi standar…
Mau upload publikasi tapi Google Scholar tidak bisa dibuka? Kondisi ini bisa dialami oleh pemilik…
Beberapa dosen memiliki kendala artikel tidak terdeteksi Google Scholar. Artinya, publikasi ilmiah dalam bentuk artikel…
Mau lanjut studi pascasarjana dengan beasiswa tetapi berat karena harus meninggalkan keluarga? Tak perlu khawatir,…
Anda sudah menjadi dosen harus melanjutkan S3? Jika Anda menargetkan beasiswa fully funded dan masih…
Melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi di luar negeri, semakin mudah dengan berbagai program beasiswa.…