fbpx

Terbitkan buku lebih cepat HANYA 1 BULAN? Dapatkan fasilitas VIP ini secara GRATIS! Klik di sini

Dosen UI: Memahami Kaitan Perekonomian dan Virus Corona

VIRUS CORONA
Dr. Muhammad Chatib Basri, S.E., M.Ec., dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) sekaligus ekonom, peneliti dan professional yang juga pernah menjabat sebagai Menteri Keuangan Indonesia sejak 21 Mei 2013 hingga 20 Oktober 2014. Ia sebelumnya menjabat sebagai Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal sejak 14 Juni 2012 hingga 1 Oktober 2013. (Sumber Foto: ui.ac.id)

Dr. Muhammad Chatib Basri, S.E., M.Ec., adalah dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI), Depok, Jawa Barat. Sebagai pemerhati di bidang ekonomi, Chatib melihat wabah virus Corona atau Covid-19 tak hanya mengguncang Wuhan, tetapi juga dunia. Hal itu tentunya akan mempengaruhi perekonomian suatu negara dan bahkan dunia. Sebagai akademia, ia ingin mengajak masyarakat memahami kaitan perekonomian dan virus corona sejauh mana.

Dikutip dari ui.ac.id, Chatib memaparkan, kepanikan akan wabah virus corona sudah melanda dunia saat ini. Kantor berita CNN sampai dengan 23 Februari 2020 melaporkan jumlah korban meninggal sudah mencapai 2.548 orang. Tak hanya itu, perekonomian global juga mulai terkena dampaknya.

Kontraksi Ekonomi

Ekonom, peneliti dan professional asal Indonesia ini mengatakan, perekonomian Jepang yang mengalami kontraksi 6,3 persen di triwulan terakhir 2019, terancam resesi karena pertumbuhan ekonomi mungkin akan semakin melambat akibat wabah virus Corona. Singapura sudah merevisi ke bawah target pertumbuhan ekonominya menjadi 0,5 persen akibat wabah ini.

“Bagaimana Indonesia? apa yang kita bisa lakukan untuk memitigasinya? Untuk menjawab pertanyaan itu kita perlu memerhatikan beberapa hal. Pertama, sampai kapan wabah ini akan terjadi? Saya tak pandai menjawabnya,” tuturnya.

Wabah virus Corona bari kali pertama terjadi, karena itu kita tidak tahu persis bagaimana kesudahannya. Namun, dalam ketidaktahuan ini, kita butuh pegangan, butuh arah. Yang kita bisa lakukan adalah membuat beberapa scenario, misalnya dengan mencorba merekontruksi dampak wabah SARS tahun 2003 sebagai pembanding.

Data menunjukkan bahwa SARS telah menurunkan pertumbuhan ekonomi China dari 11,1 persen (triwulan I-2003) menjadi 9,1 persen (triwulan II-2003). Namun perekonomian China membaik kembali dan tumbuh menjadi 10 persen dalam triwulan III dan IV tahun itu.

Data menunjukkan bahwa pertumbuhan sector retail dan ouput industrial di China mengalami penurunan yang sangat tajam. Jika benar, bahwa wabah SARS dapat dijadikan pembanding maka kita bsa membuat scenario untuk perekonomian Indonesia.

virus corona
Mewabahnya virus Corona membuat daya beli masyarakat meningkat, mereka berbelanja aneka kebutuhan terutama memborong handsanitizer di sejumlah supermarket, apotek, dan pusat perbelanjaan lainnya. (Sumber Foto: ui.ac.id)

Dampak ke Indonesia

Chatib melanjutkan, hal kedua adalah bagaimana dampaknya bagi kita? Tentu terlalu pagi untuk menyimpulkan. Namun, kita bisa menduga, perlambatan outpur industrial di China akan menurunkan permintaan terhadap bahan baku dan bahan pembantu dalam proses produksi.

“Kita tahu, sekitar 29 perseb dari barang yang diekspor China, bahan mentah dan penolongnya berasal dari Indonesia (terutama batu bara, kelapa sawit). Implikasinya, kita perlu mengantisipasi penuruanan permintaan untuk produk-produk tersebut. Bisa diduga, harga komoditas dan barang tambang berisiko menurun. Jika ini terjadi, sektor ekspor kita akan terganggu,” jelasnya.

Selain itu, penurunan harga komoditas dan barang tambah akan berdampak kepada penuerunan pendapatan pekerja di sektor tersebut. Karena ekonomi Indonesia masih tergantung pada komoditas dan barang tambang, maka daya beli akan menurun. Jika daya beli menurun, maka tak ada insentif bagi pengusaha untuk meningkatkan investasinya. Mudahnya, untuk apa menambah produksi jika permintaan tak ada?.

Singkatnya, kita bisa membayangkan bahwa dampak dari wabah virus Corona dapat memukul sektor ekspor, lalu efek berantainya akan berpengaruh pada sektor konsumsi rumah tangga dan investasi.

Tak hanya itu, isolasi atau pembatasan aktivitas yang terjadi di China juga mengganggu ketersediaan barang impor yang berasal dari China. Akibatnya, industri atau sektor yang bahan baku atau barang modalnya berasal dari China terganggu proses produksinya. Begitu juga barang konsumsi, jika pasokan lokal tak tersedia maka harga akan meningkat.

Dari sektor perbankan, kita harus hati-hati dan terus memonitor dampaknya kepada kemungkinan peningkatan kredit macet. Risiko kredit macet juga bisa meningkat jika wabah virus ini berlanjut dan tak ada mitigasi yang baik. Dampaknya bisa cukup serius.

Namun, seperti juga dalam kasus perang dagang, saya melihat bahwa dampak virus Corona terhadap Indonesia tak akan seburuk dampak terhadap Singapura. Alasannya: porsi dari sektor perdagangan Indonesia terhadap total Produk Domestik Bruto (PDB) jauh lebih kecil dibanding Singapura, yang di atas 200 persen.

Dampak Virus Corona di Indonesia

Dampak virus Corona terhadap Indonesia tak akan seburuk dampak terhadap Singapura. Artinya dampaknya ada, namun relatif terbatas dibandingkan dengan Singapura atau Thailand.

Hal yang harus kita antisipasi adalah dampak menurunnya impor barang modal dan bahan baku yang dapat memukul investasi dan produksi di Indonesia. Ada baiknya perusahaan mulai memikirkan substitusi atau sumber impor dari negara lain.

Keempat, berapa besar dampaknya? Perhitungan sensitivitas yang dilakukan menunjukkan bahwa jika perekonomian China melambat sebesar 1 persem, maka perekonomian Indonesia akan menurun sebesar 0,1-0,3 persen. Saya bisa membayangkan bahwa dampak sepanjang paruh pertama 2020 akan cukup signifikan.

Dengan skenario ini ada risiko pertumbuhan ekonomi kita akan berada di bawah 5 persen atau dalam kisaran 4,7-4,9 persen di tahun 2020 jika kita tak melakukan mitigasi. Ekonomi Indonesia sendiri memang sudah tumbuh di bawah 5 persen dalam triwulan IV-2019.

Fokus ke Ekonomi Domestik

Kelima, lalu apa yang bisa dilakukan Indonesia? Jika ekonomi global dan sektor perdagangan terganggu, maka kita perlu fokus kepada ekonomi domestik. “Saya melihat bahwa pemerintah perlu melakukan kebijakan kontra siklus. Instrumen yang paling efektif untuk itu adalah mendorong permintaan domestik melalui fiskal. Kita tak perlu terlalu kuatir untuk meningkatkan defisit anggaran,” ujarnya.

Mengapa Fiskal?

“Saya melihat bahwa permasalahan ekonomi Indonesia di dalam jangka pendek adalah lemahnya permintaan. Dalam kondisi permintaan yang lemah, penurunan bunga tak akan berdampak banyak untuk mendorong produksi, karena – seperti saya singgung di atas – untuk apa menambah investasi jika permintaan tak ada. Oleh karena itu, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mendorong permintaan.

Namun perlu diingat peran dari APBN relatif terbatas. APBN hanya bisa menjadi pemicu untuk mengembalikan kepercayaan dan harus diikuti oleh investasi swasta. Itu sebabnya, stimulus fiskal butuh prioritas, ia butuh kualitas belanja yang baik. Soalnya bukan sekadar berapa defisit anggaran harus naik, namun apakah ia memiliki dampak kepada pertumbuhan ekonomi.

Oleh karena itu, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mendorong permintaan. Berikan stimulus fiskal kepada kelompok menengah bawah, bukan kelompok atas. Mengapa? Kelompok menengah  bawah memiliki kecenderungan konsumsi (Marginal Propensity to Consume) yang relatif lebih tinggi. Caranya? Perpanjang dan perluas program seperti conditional cash transfer, cash for work (padat karya tunai), Bantuan Pangan Non Tunai.

Chatib yang juga pernah menjabat sebagai Menteri Keuangan Indonesia sejak 21 Mei 2013 hingga 20 Oktober 2014. Ia sebelumnya menjabat sebagai Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal sejak 14 Juni 2012 hingga 1 Oktober 2013 ini mengutarakan, untuk kelas menengah, program kartu Pra Kerja bisa dimanfaatkan untuk membantu daya beli sekaligus meningkatkan kemampuan. Dengan kebijakan ini, orang tetap bekerja dan daya beli terjaga. Lalu kombinasikan ini dengan belanja infrastruktur prioritas.

Mungkin pemerintah bisa membantu untuk mendorong sektor pariwisata dengan, misalnya, memberikan subsidi berupa potongan harga bagi jasa angkutan pesawat, bus, atau kereta api, atau penginapan agar sektor pariwisata tetap berjalan untuk beberapa bulan.

Pemerintah juga bisa mendorong agar aktivitas pemerintahan, seperti pertemuan, bisa dilakukan di daerah wisata di akhir pekan. Tentu bantuan ini sifatnya harus sementara. Apa lagi? Jaga inflasi. Dan yang paling penting: mengelola ekspektasi. Jangan membuat sinyal yang membingungkan.

Dari sektor keuangan, jika wabah virus Corona menjadi berkepanjangan, perlu dipikirkan kemungkinan relaksasi restrukturisasi kredit seperti yang dilakukan dulu.

Di sisi moneter, dengan inflasi yang terjaga dan kemungkinan The Fed untuk mempertahankan suku bunga, keputusan Bank Indonesia menurunkan bunga adalah langkah yang tepat dan perlu diapresiasi. Kedepan, jika inflasi terkendali dan The Fed belum akan menaikkan bunga, masih ada ruang bagi Bank Indonesia untuk menurunkan bunga.

Dari sektor keuangan, jika wabah virus Corona menjadi berkepanjangan, perlu dipikirkan kemungkinan relaksasi restrukturisasi kredit seperti yang dilakukan dulu.

 

Sumber: Harian Kompas, 28 Februari 2020