Ragam reaksi ditunjukkan masyarakat Indonesia terkait mewabahnya Virus Corona atau COVID19. Penyebarannya yang begitu cepat, membuat masyarakat merasa khawatir dan was-was, namun ada juga yang menanggapinya santai. Sehingga dirasa perlu adanya edukasi mendalam tentang pengenalan terhadap virus baru ini dan bagaimana sebaiknya menghadapinya. Berikut Isti Anindya, S.Si., M.Sc., yang merupakan dosen Stikes Indonesia Maju, Jakarta memberikan ulasan tentang fakta COVID19.
Selama menempuh pendidikan S1 dan S2-nya Isti memang konsern terhadap bidang immunology. Lulusan S2 Minat Biomedis dan Reproduksi Manusia, Prodi Ilmu Kedokteran Dasar, Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada (UGM) ini pun ditahun 2009 mendirikan Komunitas Peduli TORCH (Toxoplasmosis, Rubella, Cytomegalovirs, dan Herpes Simplex Virus).
Kegiatannya di komunitas tersebut, jika dilihat dari 10 tahun terakhir ia pun fokus meneliti dan memberikan penyuluhan ke masyarakat terkait bahaya infeksi TORCH, yang terdiri dari parasite dan virus. Sehingga Isti paham tentang konsep bagaimana virus masuk ke dalam tubuh, penularan, dan pencegahan.
Dosen yang mengajar di Prodi Keperawatan, Pengajar Mata Kuliah Fisiologi Manusia ini merasa perlu untuk membicarakan terkait COVID19. Bercerita sedikit tentang SARS-Cov2 (nama virusnya) dan COVID19 (nama penyakitnya). Isti menjelaskan, virus tersebut berupa partikel yang berukuran sekitar 0,1 mikron yang tentunya tak terlihat kasat mata, namun dampaknya bisa melumpuhkan dunia.
Faktor Risiko
Isti dengan tegas menyatakan, siapa pun bisa terkena virus ini. Kalau bencana alam, mungkin masih bisa berpindah tempat. Tetapi kalau bencana wabah penyakit apalagi virus, tidak bisa lagi berpindah tempat tinggal. Karena setiap orang memiliki potensi yang sama, yang membedakan adalah Faktor Risiko.
Siapa yang lebih berisiko? Isti memaparkan, konsep immunologinya adalah orang yang sistem imun-nya lemah. Siapa mereka? Jawaban pertama adalah usia yang mengalami menopause dan andropause, yang kebutuhan hormon mereka drop, sehingga sangat mempengaruhi sistem imun mereka.
“Ibarat kata sel-sel imunnya banyak yang sudah pensiun. Sehingga kelompok ini lebih berisiko. Makanya laporan dunia banyak menyebut usia 50 tahun ke atas terinfeksi dan bahkan banyak yang meninggal,” ungkap Isti.
Ia melanjutkan, untuk usia 30 tahun pun memiliki risiko yang sama. Maka itu tidak bisa berpatok pada usia. Karena, ada yang usia muda tapi dia imunosupression, sistem imun buruk, rentan sakit, atau sedang hamil. Begitupun terhadap anak-anak, tergantung pada default sistem imun yang dibangun ibunya. Bagaimana sistem imun anak terbangun, tentu tidak jauh-jauh dari gizi yang baik.
Lantas apakah semua yang berisiko itu pasti tertular? Jawabannya belum tentu, apalagi kalau mereka sangat membatasi aktivitas di luar rumah dan membatasi orang dari luar masuk ke rumah. Memang secara pergaulan agak kejam. Tapi harus tega untuk mempertahankan hidup banyak orang.
“Seperti, kemarin mahasiswa saya konsultasi di rumah. Saya langsung minta cuci tangan dan tidak salaman. Tidak bisa ditolak kedatangan mereka karena konsul skripsi, dan saya tidak mau juga keluar rumah karena memperbesar risiko terinfeksi,” ujarnya yang kini berdomisili di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan.
Coronavirus Itu Gimana Sih?
Isti memaparkan, Corona adalah virus yang memiliki keluarga terbanyak. Sejauh ini ada 500+ strain virus corona salah satunya adalah SARS-Cov2 ini yang menyebabkan COVID19. Dan virus yang paling adaptif, mudah sekali hinggap dari tubuh satu ke tubuh yang lain. Sehingga sangat mudah bermutasi. Nukleuotida bergeser sedikit, muncul strain/jenis baru.
Apakah Memberi Efek dan Gejala Sama?
Bisa jadi iya, bisa jadi beda sedikit. Maka itu, sekarang orang berharap COVID19 ini seperti SARS, yang mana pada waktunya bisa mereda dengan sendirinya. Tapi kasusnya memang lebih banyak COVID19 kemana-mana, makanya masuknya PANDEMI (wabah serentak hampir di seluruh tempat di dunia), berbeda kalau kasusnya ENDEMI (wabah di satu tempat tertentu).
Isti pun mencoba berasumsi terhadap orang-orang yang santai dalam menyikapi wabah COVID19 ini. Ia pun membagi dalam dua kubu; Si Santuy dan Si Paranoid.
Si Santai
Menurutnya, antara denial dengan santai itu perbedaannya tipis. Bisa saja orang menganggap wabah virus ini secara santai, pertama, mungkin karena belum mengerti. Kedua, mungkin membaca ragam media dengan bahasa yang menenangkan.
“Contonya, virusnya itu bisa sembuh sendiri kok, aman! Iya memang, Dengue juga bisa sembuh sendiri, tapi selama terinfeksi Anda yakin nggak terjadi komplikasi? Seberapa yakin dan pede kalau tubuh kalian kuat menghabisi COVID19? Please, kalau ini jangan bilang, biarlah Allah yang menjaga. Setahu saya usaha itu penting juga. Si Santai ini berpikir, kalaupun kena bisa sembuh dengan sendirinya. Tapi tidak begitu,” tegasnya.
Ia melanjutkan, sembuh sendiri disini maksudnya adalah kalau si Santai sakit kemudian ke fasilitas kesehatan, minum obat, dan isolasi diri. Kalau diam saja di rumah tanpa pengobatan tidak akan bisa sembuh dengan sendirinya.
Tetapi masalahnya seberapa yakin fasilitas kesehatan siap melayani? Orang tanpa corona saja, kalau sedang endemi, banyak RS tidak bisa menampung pasien. Semua orang membutuhkan untuk di cek dan diperiksa. Efek sikap terlalu santai adalah masih banyak yang berkeliaran tidak jelas, tidak aware dengan kebersihan tubuh, jadi itu yang membuatnya santai. Dan kalau sistem imunnya kuat, dia bisa terinfeksi tanpa menunjukkan gejala, namun tetap bisa menularkan ke orang lain.
Si Paranoid
Dosen muda yang juga hobi menulis ini cukup geram dan prihatin melihat fenomena banyak orang yang ketakutan berlebih. Misalnya, banyak pedagang menaikan harga berlipat. Orang pun akan jadi buta arah, semua dibeli secara tiba-tiba, dalam jumlah yang banyak, dan rela membayar berapapun. Itu dilakukan banyak orang yang memiliki kondisi financial berlebih. Bagaimana dengan yang perekonomiannya berada di bawah?.
“Parno itu boleh tapi jangan reaktif. Siapa sih yang mau terinfeksi? Tapi, sebaiknya sikap parno juga harus waras, percaya sama Allah juga perlu. Semua takut mati iya, tapi jangan bikin orang mati juga karena ke-egoisan kita,” tandasnya.
COVID19 Bisa Sembuh Sendiri
Dosen kelahiran Salido, 21 November 1989 ini kembali menjelaskan, orang yang memiliki sistem imun baik, bisa kena. Kalau kena mereka memperlihatkan gejala ringan atau tanpa gejala. Maka, Lock Down dan Isolasi itu penting. Karena kita tidak tahu siapa yang sakit, siapa yang sehat, siapa yang terinfeksi, siapa yang tidak.
Isti berharap, pemerintah Indonesia ke depannya bisa tergerak melakukan pencegahan yang lebih ketat demi nyawa banyak orang. Jangan sampai seperti Italia, yang kasus kematiannya terus bertambah setiap harinya.
“Intinya apa yang harus kita lakukan? Cuma satu, Bersiap! Bersiap untuk semua kemungkinan dengan melakukan pencegahan, bekali sistem imun, doa, dan tawwakal. Kapan Mulai Bersiap? Ya Mulai Sekarang!” tandas Isti. (duniadosen.com/ta)
Sejalan dengan diterbitkannya Permendikbudristek Nomor 44 Tahun 2024, maka diterbitkan pula pedoman pelaksanaan berisi standar…
Mau upload publikasi tapi Google Scholar tidak bisa dibuka? Kondisi ini bisa dialami oleh pemilik…
Beberapa dosen memiliki kendala artikel tidak terdeteksi Google Scholar. Artinya, publikasi ilmiah dalam bentuk artikel…
Mau lanjut studi pascasarjana dengan beasiswa tetapi berat karena harus meninggalkan keluarga? Tak perlu khawatir,…
Anda sudah menjadi dosen harus melanjutkan S3? Jika Anda menargetkan beasiswa fully funded dan masih…
Melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi di luar negeri, semakin mudah dengan berbagai program beasiswa.…