Meski dalam kondisi keterbatasan, Wuri Handayani M.A, Ph.D., memiliki semangat luar biasa dalam menempuh pendidikannya juga meraih cita-citanya sebagai dosen. Penolakan demi penolakan dialami Wuri, baik mulai dari pihak kampus dimana Wuri menempuh pendidikannya di Fakultas Farmasi Universitas Unair, Surabaya, dan saat Wuri mendaftar sebagai dosen. Namun ia tak patah arang, Wuri pun berhasil meraih cita-citanya. Meski sebagai dosen penyandang disabilitas, Wuri ingin menjadi sosok menginspirasi bagi orang lain.
Sosok perempuan gesit yang aktif mengikuti berbagai kegiatan ini awalnya berkuliah di Fakultas Farmasi Universitas Airlangga (Unair), Surabaya. Selain kuliah, Wuri juga rajin mengajar privat pelajar di Surabaya, hingga sebuah kejadian nahas terjadi. Saat mengikuti salah satu latihan di fakultasnya, Wuri mengalami kecelakan yang membuatnya harus duduk di kursi roda selamanya.
Ia depresi. Saat itu, ia berpikir tak ada lagi masa depan cerah untuknya. Pun, banyak pihak yang menganggapnya tak berdaya, termasuk pihak fakultas tempatnya menuntut ilmu. Pimpinan Fakultas Farmasi menolaknya melanjutkan studi di fakultas yang terletak di komplek Kampus B Unair tersebut, karena menganggap Wuri akan menghadapi banyak kesulitan dalam menyelesaikan kuliah nantinya.
Menjejak semester 4, penolakan tersebut makin santer. Wuri merasakan lingkungan tempatnya belajar sudah tak lagi kondusif untuknya. Ia juga tak mendapat dukungan dari fakultas sama sekali. Karena penilaian yang subjektif padanya, Wuri akhirnya memutuskan pindah ke Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi di kampus yang sama dan berhasil lulus dengan status cum laude.
Mengawali kuliah di bidang Farmasi, Wuri Handayani, M.A., Ph.D akhirnya memutuskan diri untuk terjun sebagai pengajar Akuntansi. Memang, bidang Farmasi dan Akuntansi yang berada dalam rumpun yang berbeda. Farmasi dalam rumpun saintek sedang akuntansi dalam rumpun sosial humaniora. Tentu, keduanya memiliki perbedaan yang sangat mencolok. Ada kisah tersendiri kenapa Wuri, panggilan karibnya, memilih akuntansi sebagai bidang yang digeluti.
Pemilihan akuntansi sebagai jurusan barunya, diakui oleh Wuri hanya sekadar keputusan yang pragmatis. Dia menilai akuntansi merupakan bidang yang paling cocok untuknya karena bisa kuliah secara mobile dan minim kegiatan fisik. “Pekerjaan akuntansi kan bisa dikerjakan di belakang meja,” ujarnya kepada tim duniadosen.com ketika ditemui di ruang kerjanya, Senin (4/2). Lambat laun, Wuri akhirnya menyukai bidang akuntansi.
Ditolak Enam Kali dalam Pendaftaran Dosen
Sejak kecil, Wuri sudah menyenangi kegiatan pengajaran. Dunia pendidikan sudah tak asing baginya. Ayah Wuri adalah seorang guru. Pun, Wuri juga pernah merasakan bagaimana menjadi pengajar di bimbingan belajar privat saat kuliah di Surabaya. Karena kecintaannya terhadap dunia pengajaran, Wuri memutuskan melamar menjadi dosen di Unair.
Gayung tak bersambut begitu saja. Tahun pertama melamar, Wuri menerima penolakan dari almamaternya hanya karena dia menggunakan kursi roda untuk berkegiatan. ”Saat itu, saya ditolak karena tidak ada fasilitas untuk pemakai kursi roda seperti saya di fakultas,” kata perempuan kelahiran Kediri, Jawa Timur tersebut.
Wuri tak menerima alasan tersebut dan berniat melamar menjadi dosen di tahun berikutnya. Sembari menunggu pembukaan pendaftaran, Wuri bekerja sebagai admin di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Soetomo, Surabaya selama beberapa bulan.
Tahun berikutnya, Wuri kembali mengikuti proses rekrutmen dosen. Bahkan, ia mengikuti proses rekrutmen dosen sampai enam kali sejak tahun 1999. Namun, kondisinya sebagai penyandang disabilitas membuatnya kembali ditolak. Meski tetap tak bisa menerima keputusan tersebut, Wuri mencoba bersikap realistis.
Sebagai penyandang disabilitas, Wuri menerima penolakan bertubi-tubi, tak hanya saat melamar rekrutmen dosen, namun juga saat melamar menjadi PNS pada posisi tenaga akuntan di Pemerintah Kota Surabaya. ”Saya menerima surat penolakan karena dianggap tidak memenuhi syarat sehat jasmani dan rohani,” cerita peraih gelar master dari University of Leeds, Inggris tersebut geram.
Ingin Hapus Diskriminasi terhadap Penyandang Disabilitas
Tak terima, Wuri mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya berbekal surat penolakan tersebut. Ia mempermasalahkan pernyataan surat Wali Kota Surabaya yang menginterpretasi bahwa penyandang disabilitas berarti tidak sehat jasmani dan rohani.
Berkat kegigihannya, tahun 2009 Wuri akhirnya memenangkan gugatan tersebut sampai pada tahap kasasi. Wuri tak menuntut untuk diterima rekrutmen, namun ia ingin tak ada diskriminasi bagi penyandang disabilitas untuk sekadar mengikuti tes. Meski menang kasasi, Wuri sudah tak eligible untuk mendaftar karena sudah berusia 37 tahun, dua tahun lebih tua dari syarat maksimal pendaftaran PNS.
Pada 2010, Wuri mendapatkan beasiswa dari Bank Dunia untuk menempuh pendidikan doktoral di Inggris. Karena bersiap untuk sekolah kembali, ia kehilangan kesempatan untuk mendaftar PNS dan memilih fokus untuk belajar di negeri Ratu Elizabet tersebut.
Bagi Wuri, gugatannya yang menang sampai tahap kasasi di PTUN merupakan momen penting bagi kelompok penyandang disabilitas di Indonesia. ”Ini adalah kepentingan anak cucu kita, bukan hanya saya. Siapa sih yang mau jadi penyandang disabilitas? Saya melakukan ini sebagai yurisprudensi bahwa dikemudian hari tidak boleh ada penolakan dengan interpretasi seperti itu,” tegas Wuri.
Saat menempuh pendidikan doktoral di School of Business, University of Hull, Inggris, Wuri bertemu dengan banyak sivitas akademika yang merupakan penyandang disabilitas yang bisa mendapat posisi yang setara. ”Ada dosen buta yang mengajar saya. Ada juga visiting profesor yang tuli. Semua itu membuat saya sadar bahwa tidak ada yang tidak mungkin,” akunya mantap.
Menjadi Dosen Dinamis
Pendidikan doktoral yang ia tempuh di Inggris merupakan bantuan beasiswa dari Bank Dunia. Saat itu, ada sembilan perguruan tinggi Indonesia yang mengakomodasi skema beasiswa tersebut, termasuk Universitas Gadjah Mada (UGM). Karena topik penelitian Wuri tak jauh dari bidang corporate goverment dan UGM mengakomodasi beasiswa Bank Dunia pada bidang tersebut, maka Wuri memasukkan aplikasi di UGM untuk kuliah di Inggris.
”Ketika saya diterima, ada perjanjian bahwa setelah menyelesaikan pendidikan doktor di Inggris, saya harus mengajar dan riset di UGM. Yasudah saya terima karena cita-cita saya memang menjadi dosen,” ujar dosen yang merampungkan pendidikan doktoralnya pada 2015 tersebut.
Setelah lulus dan kembali ke Indonesia, Wuri tetap harus melalui proses rekrutmen untuk menjadi dosen di UGM. Saat itu, belum ada rekrutmen dosen di UGM yang mengharuskan Wuri menunggu. Sambil menunggu, Wuri melamar menjadi dosen di University Malaysia Perlis selama dua tahun. Pada pertengahan 2017, Wuri mendapat informasi penerimaan dosen di UGM. Ia serta merta melamar dan diterima sebagai dosen tetap per 1 Februari 2018.
Bagi Wuri, berhasil menjadi dosen adalah pencapaian yang membahagiakan. Selain karena cita-cita masa kecil, Wuri juga berhasil membuktikan diri bahwa dirinya layak menjadi dosen setelah berbagai penolakan di masa lalu. Wuri menilai bahwa dunia pendidikan merupakan dunia yang sangat dinamis. Mau tak mau, ia harus terus belajar agar bisa mengikuti perubahan tersebut.
Sekarang, Wuri sadar bahwa dunia mahasiswa sudah sangat berbeda dengan yang ia alami puluhan tahun lalu. ”Dosen tidak bisa mengajar mahasiswa menggunakan metode one-way saja. Jadi, dosen harus punya inovasi tertentu untuk membuat mahasiswa engaged. Makanya dosen pun juga harus terus mengembangkan diri jika tidak ingin tergerus,” ujar dosen yang ingin menjadi profesor di masa mendatang tersebut.
Pilih Mendidik, Bukan Mengajar
Menurut dosen yang juga anggota British Accounting and Finance Association (BAFA) tersebut, dosen adalah profesi yang penuh tantangan. Baginya, tantangan terbesar seorang dosen adalah bagaimana bisa mendidik mahasiswa, bukan sekadar mengajar. ”Mendidik berarti how we can deliver value, bukan hanya transfer pengetahuan saja,” ujarnya.
Wuri melanjutkan, jika hanya sekadar mengajar, sebetulnya mahasiswa lebih pandai dan advanced daripada dosen, terutama terkait akses informasi dan pengetahuan melalui platform teknologi. Lebih dalam, dosen perlu menanamkan nilai-nilai luhur dalam proses pengajaran.
”Satu hal yang penting adalah dosen harus mengajarkan nila-nilai kepada mahasiswa. Itu perlu sekali mengingat kemajuan teknologi yang sangat luar biasa. Value itu yang harus tetap diasah. Dosen harus memberi contoh terkait kedisiplinan, menunjukkan integritas, dan lebih transparan terhadap nilai,” lanjutnya seraya tersenyum.
Selain itu, dosen juga harus tahu kebutuhan mahasiswa zaman sekarang karena pasti ada perubahan dari generasi masa lampau dengan sekarang. Menurut Wuri, dosen harus memahami karakter mahasiswa. Dosen harus mengubah paradigma pengajaran dari teacher centered learning menuju student centered learning yang lebih meliberasi pemikiran mahasiswa.
”Dulu kan mahasiswa nggak boleh buka laptop atau handphone di kelas. Kalau sekarang nggak bisa seperti itu. Di awal pertemuan, saya selalu membuat kesepakatan. Mahasiswa boleh membuka laptop, namun digunakan untuk kepentingan kelas dan bertanggung jawab. Jika melanggar, konsekuensinya disepakati diawal,” jelas perempuan pencinta baca dan traveling tersebut.
Hikmah sebagai Penyandang Disabilitas
Ihwal keramahan terhadap penyandang disabilitas, Wuri menganggap UGM sudah cukup ramah, meski tak seratus persen. ”Di kampus sudah ada toilet khusus penyandang disabilitas. Selain itu, UGM punya unit kegiatan yang concern terhadap isu disabilitas. Artinya, sudah ada awareness terhadap isu disabilitas dan hal tersebut perlu disyukuri,” ujar Wuri.
Jika menganut UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, ada kebijakan yang mewajibkan adanya sekolah inklusi dalam berbagai level pendidikan. Untuk memenuhi syarat tersebut, instansi pendidikan harus memiliki unit layanan khusus penyandang disabilitas. Kelemahan UGM, menurut Wuri, adalah belum adanya unit serupa di Kampus Bulaksumur tersebut.
”Kalau di Inggris, ada disable university service di setiap kampus. Tugasnya adalah melakukan assesment terhadap kebutuhan mahasiswa penyandang disabilitas agar bisa mendapat kesempatan belajar seperti mahasiswa pada umumnya. Ada support yang optimal lah,” terang perempuan kelahiran 8 Desember 1972 tersebut.
Selain sibuk dengan berbagai kegiatan kampus, Wuri juga memiliki kesibukan bersama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) D’Care yang bekerja untuk memperjuangkan isu disabilitas di Surabaya. Tak pelak, Wuri seringkali bolak-balik Yogyakarta-Surabaya untuk berkegiatan di D’Care.
Bagi Wuri, kesempatan menempuh pendidikan doktoral adalah salah satu prestasi tertinggi dalam hidup. Ia sangat percaya bahwa pendidikan adalah kekuatan. Ia bercerita ketika masih sarjana, suaranya tak begitu didengar. Tetapi, ketika sudah bertitel doktor sekaligus dosen, selain punya tanggung jawab besar, Ia juga merasa punya dampak yang lebih besar.
”Ketika saya melakukan advokasi, saya punya power lebih daripada ketika dulu saya masih belum apa-apa. Saya bersyukur karna tidak semua orang punya kesempatan yang sama seperti saya,” terangnya.
Sebagai seorang penyandang disabilitas, Wuri tak merasa kecil dibanding yang lain. Baginya, semua pasti ada hikmahnya. ”Saya yakin Tuhan menciptakan kecacatan untuk memberikan inspirasi buat orang lain. Secara pribadi, saya tidak bisa melepaskan diri dari tanggung jawab moral untuk memperjuangkan hak-hak kelompok disabilitas. Semua ada hikmahnya lah, meski saat kecelakaan dulu saya tentu nggak bisa ngomong seperti ini,” ucapnya seraya tertawa.
Suami yang Luar Biasa
Menjadi Wuri yang sekarang tak lepas dari dukungan tanpa putus dari sang suami. Wuri tak berhenti memuji suaminya. Bagi Wuri, suaminya adalah sosok yang luar biasa. Saat kuliah di Surabaya, Wuri tak memiliki dukungan orang dekat karena semua keluarganya berada di luar kota. Demi Wuri, suaminya yang saat itu masih menjadi kekasih rela meninggalkan posisi PNS di Kalimantan untuk membantu Wuri naik dan turun tangga.
”Selain itu, dia kan punya kongsi dengan temannya di Bali untuk sebuah usaha apotek. Tahun 2007, saya kuliah master di Inggris. Demi ikut saya ke Inggris, dia rela melepas apoteknya kepada temannya,” ceritanya sambil tersenyum haru.
Kisah romantisme suaminya tak berhenti sampai di situ. Sekembalinya dari Inggris tahun 2008, suaminya mendapat beasiswa di Universitas Muhammadiyah Surabaya untuk mengambil S1 Hukum. ”Dia ingin sekali jadi pengacaranya penyandang disabilitas karena banyak isu terkait disabilitas yang tidak pernah selesai,“ ujar Wuri.
Namun, ketika Wuri harus kembali ke Inggris untuk menempuh pendidikan doktoral, suaminya harus melepas pendidikannya hanya untuk mengikuti Wuri ke Inggris. ”Dia adalah teman diskusi saya. Suami begitu luar biasa mendampingi saya ke manapun. Dari rumah, kami datang ke kampus. Dia membantu saya menyiapkan semuanya. Apalagi, ada beberapa tempat di UGM yang belum fully accesible untuk penyandang disabilitas. Dia selalu membantu saya,” kata Wuri.
Ke depannya, Wuri ingin lebih produktif, terutama terkait penulisan paper ilmiah. ”Saya punya target minimal satu tahun satu paper untuk menjaga passion saya tetap terjaga,” pungkasnya. (duniadosen.com/az)