Profesi

Andina Dwifatma; Dosen Harus Miliki Passion Menulis

Jakarta – Menulis, terutama sastra, adalah dunia lain Andina Dwifatma selain berprofesi dosen di prodi Ilmu Komunikasi Universitas Katolik Indonesia (Unika) Atma Jaya, Jakarta. Sejak kecil, rasa cintanya pada dunia literasi tumbuh begitu besar. Penggemar komik Tintin ini mulai menulis sejak duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Tak heran ketika dewasa, Andin mengaplikasikan kegemarannya itu dengan berprofesi sebagai jurnalis yang kemudian beralih sebagai dosen yang memiliki passion menulis.

”Dosen adalah pekerjaan, sementara menulis adalah passion. Kalau tidak punya pekerjaan, mau menghidupi passion pasti sulit. Kalau tidak punya passion, pekerjaan bisa jadi membosankan. Jadi dua-duanya saya jalani dengan sebaik mungkin,” ungkapnya.

Ketertarikannya dengan dunia kepenulisan dan cita-citanya untuk menjadi wartawan membuat Andin ingin mempelajari bidang tersebut secara lebih dalam. Pada 2004, Andin pindah ke Semarang untuk belajar ilmu komunikasi di FISIP Universitas Diponegoro (Undip) dan lulus tahun 2009. Tiga tahun berselang, setelah beberapa kali bekerja di industri media, Andin melanjutkan pendidikan master di prodi Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia (UI) dan memeroleh gelar masternya pada 2014 lalu.

Menurutnya, dosen harus memiliki passion menulis. Sebab cara untuk menjalankan tridharma perguruan tinggi salah satunya adalah berbentuk karya tulisan. Baik dari hasil metode atau kurikulum pengajaran, pembelajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Segala aktivitas dosen itu selalu berkaitan dengan bidang penulisan. Seperti yang tengah ia lakukan saat ini. ”Saya saat ini sedang menulis novel kedua, tetapi juga merampungkan penelitian, dan mempersiapkan proposal untuk studi lanjut,” kata Andin.

Makin hari, pemilik passion menulis ini makin tertarik dengan dunia komunikasi dan media. Menurutnya, bidang tersebut bisa mengakomodasi kesenangannya dalam membaca dan menulis. ”Bukan hanya pada praktik jurnalistiknya saja, tapi juga hubungan media dengan masyarakat. Keberadaan media dalam kehidupan sehari-hari itu sering diterima tanpa dipertanyakan lagi (taken for granted). Padahal kalau mau dikaji lebih lanjut, wah dinamikanya menarik sekali,” jelasnya.

Novel Pertama Andina Dwifatma Berjudul Semusim, dan Semusim Lagi Terbit pada 2012. (Foto: Andina)

Saat ini, perempuan yang pernah didapuk sebagai emerging writer (penulis muda potensial) di Ubud Writers & Reader Festival 2015 tersebut mengaku sedang fokus dengan media warga. ”Saya tertarik melihat bagaimana warga bisa menentukan agenda mereka sendiri, tanpa perlu menggantungkan diri pada isi media yang seringkali itu-itu saja,” ujar Andin.

Dosen kelahiran Jakarata ini menceritakan, beberapa waktu lalu dia melakukan pertemuan dengan pengelola media komunitas wartadesa.net dari Pekalongan, Jawa Tengah dan menemukan fakta menarik. ”Saya sangat tertarik mendengarkan pengalaman mereka mengelola media tersebut. Berita yang disukai warga ternyata yang sifatnya benar-benar lokal, misalnya mengenai jalan rusak atau harga parkir yang tidak sesuai aturan. Berita tentang Jakarta atau kunjungan pejabat tidak terlalu diminati,” ceritanya kepada duniadosen.com.

Dalam berbagai kesempatan menulis, Andin ingin selalu menelurkan karya yang baik. Kunci dalam menghasilkan karya yang baik adalah menyukai kegiatan menulis itu sendiri. Bagi Andin, sukses adalah menyukai apa yang dilakukan. Jika seorang tak suka apa yang sedang dia lakukan, maka bagi Andin, seseorang tersebut belum merasakan kesuksesan.

Selain itu, Andin menyebut hal utama yang harus dilakukan dalam rangka menghasilkan karya cemerlang adalah memperbanyak membaca buku-buku yang berkualitas. ”Ini penting karena kita belajar menulis itu dengan meniru. Maka tirulah karya yang bagus. Kedua, write to express, not to impress. Jangan menulis buat keren-kerenan saja. Menulislah ketika kita benar-benar punya gagasan yang ingin disampaikan. Ketiga, nikmati prosesnya,” tegas pemenang Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta pada 2012 tersebut.

Untuk mengasah passion menulisnya, Andin beberapa kali mengikuti kegiatan penulisan. Pada 2011, Andin mendapat Anugrah Adiwarta berkat liputannya tentang Joko Widodo yang saat itu masih menjabat sebagai Wali kota Surakarta, Jawa Tengah. ”Saya membuat laporan sepanjang delapan halaman tentang kiprah Pak Jokowi. Waktu itu, nama beliau sedang banyak dibahas sebagai salah satu kepala daerah yang bersinar. Artikel itu direvisi beberapa kali oleh editor di Amerika Serikat (majalah kami franchise dari Time US) dan setelah kelar, saya merasa tertantang untuk mengirimkannya ke kompetisi. Eh, menang,” ceritanya.

Setelah memenangkan kompetisi Anugrah Adiwarta, Andin mencoba menghubungi ajudan Joko Widodo untuk mengabarkan bahwa tulisannya tentang Jokowi yang ia liput memenangkan kompetisi. ”Tidak disangka Pak Jokowi malah menelepon untuk memberi selamat. Sampai sekarang saya masih ingat,” ujar Andin terkesan.

Selain itu, Andin juga terpilih sebagai penulis muda yang dinilai potensial atau emerging writer pada Ubud Writers & Readers Festival tahun 2015 lalu. Saya mengirimkan aplikasi untuk program Emerging Writers dan lolos. Emerging Writers itu semacam program untuk penulis-penulis muda yang karyanya belum banyak. Di sana saya berkenalan dengan banyak pengarang dari dalam dan luar negeri dan terinspirasi untuk menulis lebih bagus lagi,” ujar penulis chapter ‘Perempuan Berpayung Hitam’ dalam buku #Narasi: Antologi Prosa Jurnalisme karya Wisnu Prasetya Utomo (2016) tersebut.

Andin mengaku, dalam perjalanannya sebagai penulis, prestasi tertinggi adalah ketika dia berhasil merampungkan novel pertamanya berjudul Semusim, dan Semusim Lagi pada 2012. ”Rasanya bahagia sekali karena sebelumnya kalau nulis enggak pernah selesai,” ujar dosen yang sebelumnya pernah menulis buku biografi Azyumardi Azra, Cerita Azra (2011) tersebut berbinar. Saat ini, Andin sedang menyiapkan novel kedua yang diharapkan dapat terbit pada 2019 mendatang.

Cerita Azra, Salah Satu Buku yang Ditulis oleh Andina Dwifatma pada 2011 lalu. (Foto: Perpusnas)

Baginya, passion menulis adalah sebuah gairah. Tak hanya memiliki projek pembuatan buku, Andin juga menjadi penulis lepas di beberapa media online misalnya The Conversation dan Remotivi. Dia harus membagi waktu sebaik mungkin agar semua kegiatannya berjalan dengan baik.

”Kalau nggak mengajar dan nonton Netflix (tertawa), saya pasti menulis. Waktunya sempit sekali, tapi ya disempat-sempatkan. Biasanya saya ambil waktu di pagi hari, 20-30 menit saja untuk menulis bebas atau free writing. Setelah itu baru mengurus kerjaan akademik,” ungkap Andin yang memiliki passion menulis ini.

Dunia penulisan sudah jadi bagian dari hidup Andin. Setelah keluar dari majalah Fortune Indonesia, Andin bersama rekannya, Patrick Hutapea mendirikan PanaJournal, sebuah website yang berisi artikel feature. Website tersebut bermula dari keinginan mereka terhadap artikel panjang di majalah. Karena tidak ada biaya untuk membuat majalah, maka mereka membuatnya dalam format website.

”Kalau bikin majalah sendiri ya nggak ada duitnya. Akhirnya kami coba-coba. Kami mencari kontributor dari mana-mana. Artikel pertama yang terbit itu tulisan saya tentang Maria Sumarsih, ibu korban Tragedi Semanggi yang selama bertahun-tahun melakoni Aksi Kamisan di depan Istana Presiden. Artikel itu dibaca lebih dari tiga ribu kali. Dari situ kami berpikir, ternyata orang nggak keberatan baca artikel panjang di internet selama artikelnya menarik,” ceritanya.

Pada awal berdirinya, Andin dan Patrick memiliki tim kecil, yaitu Angga Rahadi sebagai ilustrator dan Seno Gumira Ajidarma sebagai editor at large. Seno adalah Rektor Institut Kesenian Jakarta (IKJ) yang menjadi salah satu inspirasi Andin sebagai penulis. ”Saya sudah membaca buku-buku dia sejak umur 7 tahun, dan ternyata setelah dewasa malah menjadi kolega (satu kantor di Kompas Gramedia) lalu sahabat hingga sekarang,” ungkap Andin.

Kedepannya, Andin ingin menggaet lebih banyak kontributor yang bisa membuat lebih banyak artikel human-interest yang berkualitas di PanaJournal. Pun, Andin mengaku tetap akan hidup dalam dua dunia sekaligus; akademik dan bidang penulisan karena menurutnya, dua bidang tersebut saling melengkapi. (duniadosen.com/az)

Redaksi

Recent Posts

Cara Menyusun Artikel Jurnal dengan Prinsip Piramida Terbalik

Pada saat menyusun karya tulis ilmiah, apapun jenisnya, dijamin karya ini diharapkan bebas dari kesalahan.…

3 days ago

Time Table dan Manfaatnya dalam Melancarkan Penelitian

Pada saat melakukan penelitian, maka biasanya akan menyusun proposal penelitian terlebih dahulu. Salah satu bagian…

3 days ago

Syarat dan Prosedur Pengajuan Pindah Homebase Dosen

Dosen yang sudah berstatus sebagai dosen tetap, maka memiliki homebase. Jika hendak pindah homebase dosen,…

3 days ago

Scope Jurnal & Cek Dulu Agar Naskah Sesuai Jurnal Tujuan

Pada saat memilih jurnal untuk keperluan publikasi ilmiah, Anda perlu memperhatikan scope jurnal tersebut untuk…

3 days ago

6 Cara Mengecek DOI Jurnal, Pahami untuk Isian Publikasi

Memahami cara melihat DOI jurnal pada riwayat publikasi ilmiah yang dilakukan tentu penting. Terutama bagi…

3 days ago

Cara Mengecek Jurnal Nasional Tidak Terakreditasi, Pahami Sebelum Publikasi

Dosen di Indonesia diketahui memiliki kewajiban untuk melakukan publikasi ilmiah, termasuk publikasi di jurnal nasional…

4 days ago