Denpasar – Selain menjadi dosen di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, I Wayan Sudirana adalah seorang seniman. Dia kerap menjelajah ke berbagai daerah, bahkan lintas negara, untuk melakukan pertunjukan dan pengajaran terkait musik. Dunia musik jauh ia geluti sebelum pria asli Ubud, Bali tersebut memasuki dunia dosen. Kecintaan terhadap musik berawal dari kesukaannya dalam memainkan gamelan ketika dia berusia delapan tahun. Sebagai musisi, Sudi pun berharap kualitas musik Indonesia dengan mancanegara bisa berdiri sejajar.
”Kalau mengenal musik Indonesia, terutama gamelan, saya pikir sejak lahir. Gamelan Bali sangat erat hubungannya dengan kehidupan orang Bali. Gamelan selalu dipakai dalam acara-acara sosial dan keagamaan. Jadi, sejak lahir sudah diekspos dengan gamelan,” ujar lulusan program master dan doktoral dari University of British Columbia, Kanada tersebut.
Meski sudah berkecimpung dalam dunia musik sejak kecil, Sudi, panggilan akrab I Wayan Sudirana terus belajar untuk meningkatkan kualitas dirinya. Setelah mendapat gelar sarjana dari ISI Denpasar pada 2002, Sudi pindah ke Kanada untuk melanjutkan pendidikan tingginya dalam bidang di University of British Columbia (UBC), Kanada berkat beasiswa Andrew Fellowship Awards, Graduate Entrance Scholarship, dan Four-Year Fellowship sejak 2004 sampai 2013.
Ingin Melihat Musik Indonesia dan Mancanegara Berdiri Sejajar
Kedepannya, Sudi memiliki beberapa harapan yang ingin dicapai. Beberapa diantaranya yaitu membawa musik Indonesia, khususnya Bali, bisa berdiri sejajar dengan musik-musik dunia. Tak hanya itu, tetapi juga menciptakan iklim belajar dan mengajar yang sistematis dan terarah kaitannya dengan profesinya sebagai dosen di ISI Denpasar.
”Keahlian saya adalah di bidang Ethnomusicology. Saya mempelajari musik-musik diluar musik Klasik Barat seperti musik India, Afrika, Korea, Jepang, Asia Tenggara, dan sebagainya. Saya memiliki keinginan untuk bisa menyetarakan level musik non-Barat dengan level musik Barat dengan memulai pergerakan dalam bidang research, publishing papers, dan composing musik baru yang bisa berdialog dengan karya-karya musik baru di dunia. Saya ingin menekuni bidang tersebut sampai kapanpun,” tegasnya.
Sudirana: Musik Indonesia Masih Berorientasi pada Pop Genre
Sudi menilai perkembangan musik di Indonesia masih berorientasi pada genre pop dan komersialisasi pasar. ”Sebagai orang yang baru di bidang akademik di Indonesia, saya melihat Indonesia masih berorientasi pada musik pop dan pasar. Ini sah-sah saja, tapi seyogyanya di dunia akademik, kita perlu memberikan fokus kepada musik-musik tradisi/klasik dan juga pada pengembangan musik-musik mutakhir masa depan,” kritiknya.
Pun, Sudi menganggap ada beberapa hal yang perlu diperbaiki dalam sistem pendidikan yang ada di Indonesia. ”Kita cenderung fokus pada hasil test, test, dan test. Tetapi kurang fokus pada proses perkembangan dan outcomes dari hasil pembelajaran berupa kemampuan mahasiswa dalam memahami, bukan menghafal sesuatu,” lanjutnya.
Sudi menilai pendidikan kedisiplinan yang diterapkan cenderung semu. Artinya, kedisiplinan yang ada masih pada tataran formalitas. Padahal, Sudi berpendapat bahwa kedisipilinan seharusnya ditanamkan dalam diri daripada sekadar bersifat komunal yang hanya dijalankan ketika ada atasan atau petugas penegak kedisiplinan. ”Sistem pendidikan di Indonesia sudah sepantasnya di perbaharui,” tegas Sudi.
Dia mencontohkan, ketidakdisiplinan dalam dunia kesenian dapat dilihat dari adanya plagiarisme. ”Ini merupakan dampak dari kurangnya edukasi dari masyarakat kita. Mereka sebenarnya memiliki bakat, tetapi bakat mereka tidak diiringi oleh edukasi yang memadai dalam mengembangkan musiknya,” ujarnya mantap.
Anggap Pendidikan Penting, Melanjutkan Studi ke Kanada
Bagi Sudi, pendidikan adalah hal penting dalam kehidupan. Maka dari itu, semua orang, tak terkecuali dosen, harus terus belajar dan memperbarui pengetahuan yang dimilikinya. ”Saya melanjutkan pendidikan tinggi di Kanada karena saya memang berkeinginan untuk bisa menuntut ilmu setinggi-tingginya. Apalagi, ada kesempatan untuk ke sana,” ceritanya kepada tim duniadosen.com.
Selain melanjutkan pendidikan, Sudi juga mengajar di Undergraduate Program (Music 165 dan Music 565): World Music Class. Selama di Kanada, Sudi beberapa kali melakukan pertunjukan seni, pengajaran dalam bidang seni, penelitian, dan beberapa kegiatan lain yang melibatkan kesenian. ”Selain itu, saya juga mengajar gamelan di komunitas gamelan di Kanada bernama Gita Asmara dari tahun 2004 sampai 2013,” ujar Sudi.
Sudi adalah satu-satunya anggota di keluarganya yang menekuni profesi dosen dan juga bidang musik. Tak ada satupun anggota keluarga yang berkecimpung di dunia musik selain dirinya. Sudi mengaku, lingkunganlah yang memperkenalkannya dengan musik. ”Sejak lahir, musik-musik Bali, termasuk gamelan sudah tereskpos dalam kehidupan saya karena gamelan Bali sering digunakan untuk agenda keagamaan,” akunya.
Sebagai seorang komposer, Sudi mencipta banyak sekali musical composition dalam karirnya. Beberapa diantaranya adalah Binari (2005), Gita Asmara (2007), Abakor (2008), Navadaza (2010), Rerejengan Catur Sandi (2010), Sembur Tangi (2010), Samasa (2012), Kelangon (2013), Kasus Tiga (2014), JingGong (2015), Kilitan (2017), Balagenjur Pitamaha (2018), dan masih banyak lagi. Pun, karya ilmiah yang dia terbitkan semuanya tentang musik, beberapa diantaranya diterbitkan di jurnal internasional.
Tentang Kebutuhan Lulusan Musik dan Pencarian Jatidiri
Terkait kebutuhan lulusan musik di nusantara, Sudi tak mau menyamaratakan kebutuhan di berbagai daerah. ”Indonesia itu beragam dan luas. Kalau di Bali, musik berkaitan sangat erat dengan kehidupan masyarakatnya. Hal tersebut mungkin juga sama di daerah-daerah lain misalnya, Lombok, Toraja, Papua, dan lainnya. Jadi, kebutuhan masyarakat akan orang-orang ahli di bidang musik (terutama musik tradisi mereka) sangat besar,” ujar laki-laki yang pernah menjadi dosen tamu di Quest University, Kanada tersebut.
Sudi melanjutkan, di sisi lain, kebutuhan pasar berkata lain. ”Kalau kita berbicara masalah pasar, pekerjaan, dan ekonomi, semuanya tergantung pasar. Seberapa besar sebuah institusi seni bisa mengikuti kebutuhan pasar, semakin besar pula musisi atau lulusan seni dibutuhkan di ‘pasar’ Indonesia,” katanya.
Meski begitu, Sudi berpendapat seorang musisi, komposer, dan edukator harus berjuang untuk mencari jati diri dalam masing-masing bidang yang ditekuni. ”Saya berjuang untuk menumbuhkan ciri khas saya sendiri. Saya belajar untuk bisa membuat cara kerja (method) saya sendiri. Saya yakin kalau kita bisa mememukan itu, kita akan secara langsung dicari oleh orang, tanpa bersaing dengan pasar-pasar musik pop yang sudah barang tentu memiliki banyak pesaing,” jelasnya.
Selain itu, Sudi juga menganggap musik masa depan dunia tak ada kaitannya dengan musik populer. ”Musik masa depan dunia adalah musik yang memiliki ciri khas, keunikan, cara kerja, dan cara pandang baru terhadap musik itu sendiri,” terang dosen yang saat ini menjabat sebagai Associate Professor di Departemen Musik ISI Denpasar tersebut. (duniadosen.com/az)