fbpx

Terbitkan buku lebih cepat HANYA 1 BULAN? Dapatkan fasilitas VIP ini secara GRATIS! Klik di sini

Dosen HI Ini Nyampah dengan Elegan Lewat Sastra

dosen HI
Di tengah kesibukannya sebagai dosen Hubungan Internasional, Irza Khurun`in, S.IP., M.A., berpartispasi dalam peluncuran buku pertama klub sastra dan literasi Nyincing Daster Club, berjudul Syak Merah Jambu. Sebagai salah satu penulis dalam buku tersebut, ia membacakan puisi karyanya. (Foto: dok. facebook)

Usai lulus dari pasca sarjana Hubungan Internasional (HI) Universitas Gajah Mada (UGM) tahun 2017, Irza Khurun`in, S.IP., M.A., memilih menjadi dosen HI di Universitas Brawijaya. Irza, begitu sapaan akrabnya, juga terlibat aktif dalam sebuah klub sastra bernama Nyincing Daster Club.

Nyincing Daster Club adalah klub yang bergerak di bidang sastra dan literasi. Menurut perempuan kelahiran Malang tersebut, menulis adalah cara nyampah dengan elegan dan Nyincing Daster Club hadir sebagai wadah atau ruang untuk nyampah itu sendiri. Baginya, klub tersebut merupakan tempat yang membebaskannya dari rutinitas sebagai dosen. Tidak dipungkiri, bekerja di institusi pendidikan mempunyai tekanan yang tinggi. Dosen HI ini dituntut perfeksionis, cerdas, dan menjadi manusia yang tidak memiliki masalah. Padahal ia hanya manusia biasa.

”Saya bebas berkreasi di sini. Apa yang saya inginkan. Saya bebas menulis apa yang ingin saya sampaikan dan dengan cara yang bagaimana,” kata dosen HI yang hobi menulis ini.

Hal ini yang membedakan dengan menulis sebagai dosen karena ada aturan mengikat, ilmiah, dan bisa dipertanggungjawabkan. Sementara dalam sastra, ia bebas ingin menyampaikan dengan jenis dan gaya tulisan yang seperti apa.

Awalnya, klub ini dibentuk atas dasar kesamaan menyukai menulis dan sastra. Alasan lainnya karena Irza dan anggota Nyincing Daster Club adalah manusia biasa yang memiliki segala macam perasaan; marah, rindu, cinta, resah, dan segala perasaan lainnya. Yang ketiga, mereka membutuhkan sebuah forum, wadah, ruang, dan another family sebagai rumah menulis. Untuk itu mereka melahirkan klub ini.

Di tengah kesibukan di lingkaran pendidikan sebagai dosen HI, Irza masih menyempatkan diri dalam kegiatan Nyincing Daster Club. Klub ini digagas oleh enam orang yakni Geriel, Galuh Sitra, Endra Gusmoro, Gusti Hasta, Vika Aditya, Susi, dan Irza. Klub ini diakui sebagai keisengan semata awalnya. Namun mereka bertekad untuk tetap menulis setelah buku pertama terbit.

”Ceritanya cukup lucu. Berawal dari salah seorang sahabat di masa SMP, namanya Sitra (salah satu anggota Nyincing Daster Club juga), ia aktif menulis sajak di twitter dan terkoneksi dengan beberapa akun yang juga suka menulis sajak-sajak,” tutur Irza.

Melalui Sitra, ia mengenal angggota yang lain. Singkatnya, Sitra memiliki ide untuk menyambungkannya dan anggota lain lebih dekat dengan berkomunikasi dalam grup whatsapp pada 28 Februari 2017. Yang kemudian disepakati sebagai hari ulang tahun Nyincing Daster Club.

Nama Nyincing Daster dipilih karena memiliki makna perempuan yang saling mengangkat/membantu perempuan lainnya. Hal ini sesuai dengan arti nyincing dalam bahasa Jawa, berarti mengangkat. Sedangkan kata `daster` merupakan gabungan kata dari darling sister. Selain aktif menulis, klub ini juga menampilkan buku mereka melalui monolog dan musikalisasi.

Klub sastra tersebut telah menelurkan buku pertama berjudul Syak Merah Jambu. Buku itu dikabarkan sold out pada penjualan perdananya. Syak Merah Jambu merupakan kumpulan cerpen yang memuat kegundahan hati perempuan. Secara garis besar buku tersebut menyuarakan apa yang dirasakan oleh perempuan.

”Buku yang pertama berjudul “Syak Merah Jambu”. Kalau boleh dengan lugas saya menyebutnya itu Diary Book. Saya yakin, semua pembaca pernah merasakan, setidaknya 1-2 kisah yang kami tulis di buku ini,” ujar dosen HI kelahiran 13 Mei 1991 ini.

Ia menambahkan, buku ini ditulis untuk melawan lupa, untuk mengingat setiap proses hidup yang baik maupun yang buruk. Syak Merah Jambu merupakan sudut pandang dan cara berpikir  tujuh orang yang menamai diri mereka sebagai ‘Perawat Ingatan’. Mereka merekam setiap kejadian yang pernah dilihat, didengar, dirasakan, suka maupun duka. Mereka percaya, setiap perjalanan hidup sedih maupun bahagia ialah pembelajaran terbaik., dan mengingatnya adalah salah satu cara menghargai kehidupan.

”Menuliskan, membukukan, dan mempersilakan orang lan lain membaca adalah cara kami untuk menguatkan rantai ingatan. Apa yang ditulis adalah sumber pengingat bagi diri sendiri, dan media bagi orang lain untuk mengingatkan. Mari berbahagia dengan tidak melupakan bahwa kita pernah berduka,” lanjut Irza.

Sebagai penutup, Irza mengatakan sedang menggarap buku kedua. Bulan Maret ini buku kedua hampir rampung dan rencananya akan di-launching di Semarang.

”Akan kami publikasikan di bulan April. Sekarang sedang digarap oleh publisher. Judul buku belum resmi, namun kami akan memberinya judul Matra Rana,” pungkas Irza. (duniadosen.com/aw)