Yogyakarta – Gempa bumi berkekuatan 5,9 SR yang mengguncang Daerah Istimewa Yogyakarta pada 2006 silam menelan banyak korban jiwa dan kerusakan bangunan. Meski telah 13 tahun berlalu, peristiwa gempa tersebut masih menyisakan luka dan duka bagi masyarakat Yogyakarta, termasuk yang mengalami kecacatan akibat gempa. Korban gempa terbanyak berasal dari Bantul. Data Dinas Sosial Kabupaten Bantul 2017 mencatat terdapat 891 orang difabel daksa akibat gempa bumi dengan kondisi yang bervariasi.
Astri Hanjarwati, S.Sos., M.A., Dosen Prodi Sosiologi, Fakultas Sosial dan Humaniora melakukan penelitian terhadap penyandang paraplegia, korban gempa tahun 2006 silam. Hasil penelitian Astri dipresentasikan untuk memperoleh gelar Doktor Bidang Geografi, pada Program Pascasarjana Ilmu Geografi, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada (UGM), di Ruang Auditorium Merapi, Gedung A Lantai I Fakultas Geografi UGM, Senin, (29/7/19).
Karya Disertasi berjudul “Resiliensi Penyandang Paraplegia Korban Gempa Bantul tahun 2006,” dipertahankan dalam ujian terbuka progran Doktor yang diketuai Dr. Andri Kurniawan, M.Sc., dengan promotor Prof. Dr. Muh Aris Marfai, S.Si., M.Sc., dan sebagai ko-promotor Prof. Dr. R. Rijanta, M.Sc., dan Dr. M Pramono Hadi, M.Sc. Bertindak sebagai majelis penguji dalam sidang terbuka promosi doktor ini antara lain Dr. Sri Rum Giyarsih, M.Si., Ro’fah, MSW, Ph.D., Dr. Agus Joko Pitoyo, M.Sc., dan Dr. Suharman, M.Si.
Di hadapan tim penguji Astri memaparkan, difabel yang mengalami kecacatan sejak lahir tidak mengalami banyak hambatan dalam menjalani kehiduapn sehari-hari. “Namun, difabel akibat gempa di Bantul yang mengalami kecacatan saat telah dewasa atau remaja membutuhkan banyak adaptasi dengan berbagai kondisinya yang sekarang,” papar Astri Hanjarwati dikutip dari press release yang diterima duniadosen.com pada Kamis (1/8/2019).
Menurut Astri, dari penelitian yang dilakukannya di enam kecamatan dengan jumlah penyandang paraplegia terbanyak, yaitu Piyungan, Bambanglipuro, Jetis, Sewon, Pundong, dan Pleret diperoleh data, jumlah penyandang paraplegia akibat gempa 2006 di enam kecamatan berjumlah 124 orang, dan diambil sampel dengan metode stratified random sampling sebanyak 44 orang (kuesioner).
Wawancara mendalam kepada 10 orang keluarga penyandang paraplegia. Analisis yang digunakan adalah kuantitatif dan kualitatif terhadap data hasil kuesioner, wawancara mendalam, hasil pengamatan, dan data sekunder.
Dari pendalaman yang ia lakukan terhadap responden terungkap, difabel akibat gempa mengalami trauma, kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari, dipecat dari tempat kerja, sulit mendapat pekerjaan, aksesibilitas pendidikan juga mengalami hambatan. Bahkan, kondisi lebih parah terjadi pada mereka yang cacat akibat cedera tulang belakang (penyandang paraplegia). Mereka mengalami penurunan motorik dan sensorik gerak tubuh karena cedera sumsum tulang belakang sehingga mengalami kelumpuhan total. Dalam menjalankan aktivitas sehar-hari sangat bergantung pada kursi roda.
Menurut Astri, dari enam kecamatan di Kabupaten Bantul yang dijadikan obyek risetnya diperoleh data jumlah penyandang paraplegia terbanyak yaitu: di Piyungan, Bambanglipuro, Jetis, Sewon, Pleret, serta Pundong, Astri berusaha mengungkap lebih mendalam faktor-faktor penyebab menjadi penyandang paraplegia serta resiliensi setelah bencana. Hasilnya menunjukkan menjadi penyandang paraplegia merupakan sebuah risiko yang tidak hanya ditentukan oleh ancaman, kerentanan dan kapasitas, tetapi juga ditentukan oleh respon.
Sementara itu, resiliensi pada penyandang paraplegia dicapai melalui empat fase yakni fase stress, fase penerimaan diri dan adaptasi, fase pengembangan diri, serta fase resilien. Sedangkan pol-pola adaptasi penyandang paraplegia adalah penyandang paraplegia yang tergantung keluarga, penyandang paraplegia yang mandiri, dan paraplegia yang mandiri serta produktif.
Hasil penelitian Astri membenarkan bahwa langkah penyelamatan dengan metode segitiga kehidupan terbukti mampu menyelematkan jiwa dari kematian, namun metode ini mempunyai kelemahan yaitu terluka parah pada bagian tubuh selain kepala.
“Modal sosial merupakan aset penghidupan penyandang paraplegia yang mengalami kenaikan, tetapi modal manusia, modal fisik dan modal keuanganan mengalami penurunan,” terangnya.
Astri Hanjarwati berhasil mempertahankan karya disertasinya, dan oleh tim penguji dinyatakan lulus dengan predikat “Sangat Memuaskan”.(duniadosen.com)