Indonesia memiliki ratusan ribu dosen yang aktif berkarya baik secara nasional maupun internasional. Salah satu dosen yang baru-baru ini mengharumkan nama pendidikan tinggi Indonesia di kancah internasional adalah Dominikus David ‘Raxel’ Biondi Situmorang, S.Pd., M.Pd., M.Si., CT., CPS., CBNLP.
Dosen yang akrab disapa Pak Biondi ini merupakan dosen Fakultas Pendidikan dan Bahasa Universitas Katolik Indonesia (Unika) Atma Jaya. Pencapaian terbarunya di kancah internasional adalah mempublikasikan jurnal ilmiah dan mengusung teori Rapid Tele-Psychotherapy berutannya.
Sosoknya dengan segala prestasi yang telah diraih tentunya menjadi sumber inspirasi bagi banyak orang, khususnya bagi kalangan dosen di seluruh Indonesia. Dunia Dosen kemudian berkesempatan melakukan wawancara eksklusif dengan beliau. Berikut sedikit dari hasil wawancara tersebut.
Daftar Isi
ToggleKeputusan Dominikus David Biondi Situmorang Menjadi Dosen
Pak Biondi melalui sesi wawancara eksklusif dengan tim Dunia Dosen mengulas sedikit mengenai latar belakang pemilihan profesi dosen. Beliau menuturkan bahwa semasa kecil sampai memasuki jenjang perguruan tinggi tidak ada keinginan untuk menjadi dosen.
Sempat beliau berkeinginan untuk menjadi musisi, sebab memang beliau terbilang aktif bermain band sejak SMA. Setelah lulus SMA, Pak Biondi mengaku tidak langsung melanjutkan ke pendidikan tinggi karena ada kendala perekonomian.
Sempat “menganggur” dalam tanda kutip, karena setelah lulus SMA tersebut beliau mengaku memiliki kesibukan bermain band. Bermain musik di berbagai acara sampai mengamen di momen tertentu.
Sebagai umat Katolik, beliau juga menjelaskan bahwa ada keinginan untuk melanjutkan studi agar bisa menjadi Pastor. Namun sekali lagi karena kendala ekonomi, keinginan ini belum bisa terealisasikan begitu juga dengan pilihan untuk kuliah di program studi lain.
Selama setahun menekuni dunia musik, suatu hari Pak Biondi mendapat informasi mengenai beasiswa pendidikan tinggi di Unika Atma Jaya. Program beasiswa ini dibuka untuk 4 program studi, dan program studi Bimbingan dan Konseling menjadi pilihan beliau.
Meskipun semasa kecil sampai memasuki usia remaja beliau tidak dikenal sebagai pelajar yang pintar dan berprestasi. Namun, momen masuk perguruan tinggi berbekal beasiswa 100% menjadi titik balik beliau untuk serius menekuni pendidikan.
Apalagi setelah memahami fakta bahwa untuk bisa kuliah bukan persoalan yang mudah. Masalah ekonomi yang tidak pasti sempat membuat beliau kesulitan mengenyam pendidikan tinggi. Sehingga saat kesempatan emas ini datang, muncul keinginan lebih serius.
Tak diduga, Pak Biondi berhasil menjadi lulusan terbaik dan menyelesaikan pendidikan S1 program studi BK (Bimbingan Konseling) hanya dalam kurun waktu 3.5 tahun. Kemudian Prof. Laura yang menjabat Dekan di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), di tahun 2012 menyampaikan undangan untuk kembali ke Unika Atma Jaya sebagai dosen.
Baca Juga:
Dr. Ira Maisarah: Dosen di Era Milenial Harus Optimalkan Kegiatan Menulis
Ulasan Lengkap 5 Dosen Generasi Pertama di Prodi Statistika UII
Dr. Ir. Sri Nuryani: Dosen Harus Komit dan Punya Integritas dalam Melaksanakan Tri Dharma
Prof. Andi Iqbal: Dosen Itu Harus Siap Berkontribusi dan Bertanggungjawab untuk Kemajuan Bangsa
Tantangan dari Seniman Menjadi Akademisi
Sebelum menjadi dosen, bahkan sebelum kuliah S1 di Unika Atma Jaya. Pak Biondi sudah aktif bergabung dengan grup band besutannya. Sebab musik sudah mendarah daging bagi beliau.
Namun, karena ada tawaran menjadi dosen ditambah dengan dukungan orangtua agar anaknya bisa sukses di suatu bidang yang “lebih dihargai”. Maka Pak Biondi memutuskan menjadi dosen.
Dunia musik dengan dunia akademik tentu sangat kontras. Selama proses adaptasi ini, banyak tantangan dihadapi beliau. Termasuk menghadapi sejumlah teguran dari beberapa Profesor di Unika Atma Jaya.
Seiring berjalannya waktu, Pak Biondi bisa lebih mudah berbaur dengan lingkungan akademik sebagai akademisi. Sehingga dari segi penampilan, cara berbicara, dan bersikap sudah menyesuaikan. Beliau bahkan mengaku merasa malu jika penampilannya tidak mencerminkan seorang akademisi.
Dominikus David Biondi Situmorang Menempuh Pendidikan S2 di Dua Universitas
Sebagai upaya memenuhi kualifikasi sebagai dosen di Unika Atma Jaya. Pak Biondi kemudian melanjutkan pendidikan S2 (Magister). Sempat muncul keinginan untuk kuliah di salah satu universitas di Amerika Serikat karena ilmu BK sendiri berasal dari sana.
Namun, Prof. Laura menjelaskan kepada beliau untuk lebih memilih kuliah di dalam negeri. Sehingga, Pak Biondi ingin masuk ke universitas terbaik di Indonesia. Tak butuh waktu lama, akhirnya berhasil memperoleh beasiswa S2 di Universitas Negeri Semarang (Unnes).
Mengambil jurusan Bimbingan dan Konseling agar linier dengan pendidikan S1 yang diraih beliau. Kemudian ada kesempatan emas lagi bagi beliau untuk mengambil beasiswa S2 di Universitas Indonesia (UI) dan masuk ke jurusan Sains Psikologi Pendidikan.
Meskipun kuliah S2 di dua tempat berbeda antara Semarang (Jawa Tengah) dengan Jakarta (DKI Jakarta). Namun, Pak Biondi berhasil membuktikan komitmennya untuk lulus tepat waktu. Bahkan berhasil lulus dari kedua universitas terbaik ini dengan status Cum Laude.
Lewat langkah mengejar double degree ini pula, yang menjadi latar belakang beliau untuk memunculkan teori baru sebagai seorang scientist (Ilmuwan). Hal ini yang kemudian mengantarkan beliau sebagai penemu teori Rapid Tele-Psychotherapy.
Dimana teori tersebut mampu menembus jurnal internasional bereputasi dan terindeks Scopus dengan peringkat Q1. Prestasi ini yang kemudian membuat beliau mendapatkan Rekor MURI.
Baca Juga:
Bapak Sattar: Menjadi Dosen Harus Mengikuti Perkembangan dan Perubahan
Perjalanan Karir Dr. Muhammad Natsir dalam Menekuni Profesi Dosen
Prof Retno: Memahami Pentingnya Mencapai Gelar Profesor bagi Dosen
Titik Taufikurrohmah, Dosen Kimia Unesa yang Kembangkan Nanogold
Meraih Rekor MURI Melalui Publikasi Ilmiah
Program studi sains yang diambil Pak Biondi saat menempuh pendidikan S2 di Universitas Indonesia. Kemudian membuka pandangan beliau sebagai seorang dosen sekaligus seorang ilmuwan.
Ilmu pengetahuan terus berkembang untuk mengikuti perkembangan zaman dan tuntutan zaman itu sendiri. Berpangku pada teori-teori lama tentu tidak akan cukup lagi, karena teori ini perlahan akan usang dimakan zaman.
Sehingga Pak Biondi ingin selama menjadi dosen mampu menciptakan, menemukan, dan mengukuhkan teori baru yang ikut mengembangkan ilmu pengetahuan. Maka hal ini diwujudkan oleh beliau melalui penelitian yang menghasilkan teori Rapid Tele-Psychotherapy.
Teori ini disusun beliau di dalam artikel ilmiah yang kemudian dipublikasikan ke jurnal internasional. Artikel ilmiah ini kemudian sukses diterima oleh Cambridge University Press, yaitu Palliative and Supportive Care yang terindeks Scopus Q1.
Prestasi ini kemudian membuat nama beliau berhasil mendapatkan Rekor MURI (No. 1058/R.MURI/III/2022) pada 14 Maret 2022. Dimana beliau mendapatkan penghargaan:
“The First Indonesian whose article has been published in the Palliative & Supportive Care – Cambridge University Press (Rapid Tele-Psychotherapy)”
Atau dalam bahasa Indonesia penghargaan sebagai:
“Insan Pertama Indonesia yang artikelnya berhasil terpublikasi di Jurnal Internasional Bereputasi terindeks Scopus Q1 milik Cambridge University Press, yaitu Palliative & Supportive Care dengan teori yang diciptakan sendiri: “Rapid Tele-Psychotherapy”.
Lahirnya teori ini bermula dari dampak dari pandemi COVID-19 ini tidak hanya terhadap kesehatan fisik saja, namun juga berdampak terhadap kesehatan jiwa dari jutaan orang. Sehingga menggugah keinginan Pak Biondi untuk ikut mengatasi permasalahan tersebut.
Penelitian dengan latar belakang tersebut kemudian menghasilkan teori “Rapid Tele-Psychotherapy”. Yaitu Analogi Rapid Test yang digunakan untuk mengetahui kondisi kesehatan kita, apakah kita positif terpapar Covid-19 atau tidak.
Teori ini juga dikembangkan oleh Pak Biondi untuk bisa dilakukan jarak jauh, sehingga sesi konseling bisa dilakukan secara online seperti menggunakan video call. Sejauh ini terapi dengan teori tersebut terbukti bisa mengatasi sejumlah trauma.
Trauma yang masuk kategori ini adalah kondisi orang selalu merasa waspada secara terus-menerus, merasa sendirian, merasa ditinggalkan serta merasa terisolasi saat pandemi.
Salah satu keunikan dari penerapan teori temuan Pak Biondi ini adalah kolaborasi penggunaan musik untuk sesi terapi. Musik bisa dimanfaatkan untuk melengkapi sesi terapi yang dikenal dengan istilah music counseling atau music therapy.
Harapannya, teori baru yang berhasil mengharumkan nama bangsa di kancah Internasional dan memberikan penghargaan MURI tersebut bisa terus dikembangkan. Khususnya oleh mahasiswa Unika Atma Jaya tempat Pak Biondi mengajar.
Artikel Terkait:
Pandemi, Kedua Dosen UIGM ini Gagas iFarmplg Bantu Penjual di Pasar Tradisional
I Wayan Sudirana, Dosen ISI Denpasar yang Mendedikasikan Hidupnya untuk Musik
D3 Keperawatan UNEJ Gandeng Penerbit Deepublish Gelar Workshop Penulisan Buku Ajar