Dina Fadiyah S.IP., M.A., merupakan seorang dosen muda. Ia menjadi dosen pada saat berusia 26 tahun. Ia memulai karirnya sebagai dosen pada awal 2016, hanya selang dua bulan setelah wisuda kelulusan gelar Masternya di UGM, Yogyakarta. Dina pun langsung diterima di program studi Ilmu Politik Universitas 17 Agustus 1945, Jakarta sebagai dosen muda. Bagaimana kisah perjalanan Dina sebagai dosen muda? Berikut kisahnya.
Dina mengaku, menjadi tenaga pendidik adalah salah satu cita-cita yang diimpikannya sejak kecil. Karena sewaktu SD, guru mengajinya mengatakan “Amalan yang tidak pernah putus bahkan ketika kita sudah meninggal sekalipun adalah ilmu yang bermanfaat”. Kata-kata itulah yang terus terngiang di benaknya, hingga saat ini.
“Saya berfikir bahwa menjadi dosen tidak hanya perkara “pekerjaan”, tetapi juga berbagi ilmu untuk orang lain. Sehingga, apa yang selama ini saya dapatkan baik di bangku kuliah maupun di dalam kehidupan, bisa kita sharing ke orang lain,” ujarnya.
Dina menegaskan, cita-citanya memang menjadi pendidik, bukan pengajar. Dina ingin mahasiswa yang dididiknya tidak hanya sekadar ia didik secara keilmuan, tetapi justru yang paling penting adalah attitude.
Meski latar belakang keluarganya tidak ada yang menjadi pendidik, ayahnya adalah seorang export-import dan ibunya seoarng ibu rumah tangga tapi tidak menyulutkan niat Dina untuk menjadi tenaga pendidik. Dina merupakan anak ketiga dari empat bersaudara dan anak perempuan satu-satunya. Kakak pertamanya bekerja sebagai PNS di salah satu kementerian, kakak keduanya seorang jurnalis senior dan adiknya baru saja masuk SMA unggulan di Jakarta.
Dina mengungkapkan, kedua kakak dan dirinya adalah lulusan IPS hanya saja sang adik yang masuk IPA. Dimana saat itu masuk jurusan IPS, memiliki image yang buruk dan di-judge bahwa anak IPS tidak akan bisa sukses. Oleh karena itu, Dina sangat ingin sekali membuktikan bahwa anak IPS bisa sukses. Salah satunya menjadi dosen muda di Ilmu Politik dimana jurusan yang sangat jarang diambil oleh kaum perempuan pada saat itu.
“Bagi saya prestasi tertinggi dalam hidup saya adalah menjadi dosen dan seorang ibu. Selain dosen adalah cita-cita saya sejak kecil, itu juga keinginan orangtua saya terutama ayah. Ayah saya ingin sekali anak perempuan satu-satunya ini menjadi pendidik dan bisa bermanfaat untuk orang lain, alhamdulillah cita-cita saya dan keinginan ayah saya dapat terwujud.
Sejak SMA Dina mengaku sudah tertarik dengan politik, oleh karena itu S1-nya mengambil jurusan Hubungan Internasional (HI). Tetapi setelah belajar HI, Dina justru menemukan banyak yang “kurang” dari negeri sendiri. Maka kemudian, ketika S2 Dina mengambi jurusan yang lebih fokus ke Negara sendiri yaitu Indonesia.
Dina berfikir bahwa orang-orang yang duduk di parlemen, tidak ada yang mengerti ilmu politik dan sebagian besar yang ada di sana bukan berasal dari ilmu politik, sehingga semua yang mereka lakukan sama sekali tidak mencerminkan lulusan ilmu politik. Mungkin masyarakat bisa menilai sendiri bagaimana kondisi pemerintahaan saat ini.
“Oleh karena itu, saya ingin sekali berkontribusi kepada generasi muda dalam “meluruskan” politik itu sendiri, sehingga jika dari mereka suatu saat ada yang menjadi anggota parlemen, mereka bisa menjadi anggota parlemen yang amanah dan selalu mengedepankan rakyat,” tegasnya.
Ayahnyalah yang mengarahkan Dina untuk lanjut mengambil Master, karena beliau berfikir wanita akan menjadi ibu dan harus pintar agar anak-anaknya juga cerdas. Ayahnya selalu setia menemani anak perempuan satu-satunya itu ketika mencari Universitas bahkan hingga tes masuk.
Ketika saya memutuskan untuk ambil S2, Dina mendaftar di dua Universitas yaitu UI dengan jurusan Ketahanan Nasional dan UGM dengan jurusan Politik Pemerintahan. Beruntung, keduanya Dina diterima, Ia pun istikharah dan meminta mendapat orang tua, akhirnya Dina memutuskan untuk mengambil S2 di UGM.
Sebelum melanjutkan pendidikan S2-nya Dina pernah bekerja di salah satu perusahaan oli dan gas di Jakarta, tepatnya di Legal Division. Kemudian Dina memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya dengan jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan di UGM.
Dina yang kini merupakan seorang ibu satu anak pun harus pandai membagi waktunya. Dina bersyukur, ada keuntungan tersendiri dengan berprofesi sebagai dosen adalah tetap bisa mempunyai waktu untuk sang buah hati. Karena Dina tidak pernah membawa pekerjaan ke rumah apalagi bekerja di malam hari atau lembur. Sehingga ketika sudah sampai di rumah semua waktunya ia serahkan untuk keluarga.
Dosen muda yang menjabat sebagai asisten ahli sejak 2017 dan kini tengah berproses menuju lektor ini juga disibukkan dengan menjadi manager jurnal di prodi-nya, yaitu Jurnal Polinter. Selain itu, Dina juga merupakan SPMI (Sistem Penjaminan Mutu Internal) Fakultas, dimana ketiganya membutuhkan effort yang luar biasa untuk ditekuni.
“Kesibukan yang sangat penting lainnya adalah saya seorang ibu dari anak berusia satu tahun, dimana kita semua tahu bahwa bagaimana hyper-activenya anak di usia satu tahun, apalagi di masa pandemi seperti ini, saya dituntut untuk tetap bisa fokus diketiga jobdesk tersebut dengan selalu tetap bisa mengurus anak di rumah tanpa baby sitter maupun ART,” ungkapnya.
Selain kedua orang tua, Dina memiliki sosok inpirasi lain dalam bidang profesi dosen. Ialah dosen pembimbingnya ketika Dina S2 di UGM, Pak Miftah Adi namanya yang juga biasa disapa dengan sebutan Mas Acong. Dari sisi Mas Acong, Dina melihat sosok dosen yang sangat dekat dengan mahasiswanya. Tak jarang Mas Acong juga turut berkumpul dengan para mahasiswanya, mentraktir, serta mengundang mahasiswa ke rumahnya.
Meski demikian, dalam persoalan nilai mata kuliah, thesis, dan lainnya perihal akademik, Mas Acong tetap sangat profesional. Oleh karena itulah, Dina ingin sekali seperti beliau. “Pokoknya mas Acong dosen idola banyak mahasiswa karena luar biasa baiknya,” katanya antusias.
Ketika ditanya suka duka selama menjadi dosen muda, Dosen kelahiran Jakarta, 20 Agustus 1990 ini mengaku ada duka ketika menjadi dosen muda. Yaitu, sering dianggap “remeh” oleh orang lain karena usia yang masih muda. Karena banyak orang berasumsi jam terbang itu hal yang paling krusial, padahal belum tentu.
Tidak menjamin jam terbang lama tetapi minim pengalaman. Sehingga dalam menyikapi hal tersebut Dina hanya cukup membuktikan bahwa usia tidak menjamin kualitas.
Untuk sukanya, sebagai dosen muda Dina bisa lebih dekat dengan mahasiswanya. Apalagi ketika Dina masih melajang, dia pun tak jarang ikutan nongkrong bersama mahasiswanya. Ia pun sering menjadi tempat curhat mahasiswa, yang justru hal-hal sepert itu mampu membuat mood mengajarnya menjadi “up “ kembali.
Melihat mahasiswnya semangat bertanya, berada dalam lingkup dan melihat mahasiswanya semangat nongkrong bareng tetapi tetap sambil mengerjakan tugas sampai malam, hal itulah yang membuat Dina tidak akan pernah lupa bahwa menjadi dosen itu ternyata se-asyik ini.
“Hal yang paling berkesan buat saya ketika menjadi dosen yaitu ketika awal masuk, baru sebulan saya menjadi dosen, saya sudah ikut International Conference di Semarang sebagai speaker. Satu bulan pertama saya menjadi dosen, saya sudah menulis untuk mengikut conference tersebut. Waktu itu diadakan oleh ADIPI yang bekerjasama dengan UNDIP. Itu hal yang sangat saya syukuri karena teman-teman dosen senior lainnya tidak lolos menjadi speaker di conference tersebut,”.
Tantangan dosen muda yaitu membuktikan bahwa kedekatan dengan mahasiswa tidak menjadikan mereka lupa akan ilmunya. Dimana banyak yang beranggapan bahwa ketika mahasiswa dekat dengan dosen, semua akan dimudahkan.
Anggapan tersebut jelas dibantah oleh Dina. Justru kedekatan dosen muda dengan mahasiswanya sama sekali tidak berpengaruh dengan nilai, semua tetap profesionalitas dan tergantung otak mahasiswanya. Jadikanlah kedekatan itu sebagai arena untuk menambah keilmuan mereka.
Kiat menjadi dosen yang baik bagi penulis buku “Politik Patronase” (2018) dan “Konsep Pariwisata Ramah Penyandang Disabilitas” (2020) ini adalah ikuti kata hati, karena pasti hati setiap dosen mempunyai cara untuk “menilai” mahasiswanya sendiri.
Terkadang ada mahasiswa yang cerdas tetapi minim attitude, begitupun sebaliknya. Pasti hati kita akan lebih tersentuh untuk dapat menilai kedua komposisi tersebut.
Sebelum pandemi, Dina juga aktif melaksanakan kegiatan Pengabdian Masyarakat. Terakhir yang dia lakukan saat Februari lalu, tepatnya sebelum diberlakukannya PSBB. Pengabdian Masyarakat yang ia lakukan adalah terkait sosialisasi urgensi pemilih pemula dalam pemilihan politik.
Sebagai seorang dosen, Dina ingin sekali bisa melanjutkan ke jenjang S3 dan meningkatkan jabatan fungsionalnya. Selain itu, sebagai seorang dosen ia juga ingin membuat teman-teman mahasiswa tidak hanya pintar berteori, tetapi juga handal dalam praktik.
Mengapa? Karena pengalaman pribadinya (apalagi ketika S1), yang diajarkan di bangku kuliah sebagian adalah teori yang jarang sekali dikontekskan dengan kasus. Sehingga ketika di lapangan banyak mahasiswa yang pada akhirnya melenceng dari teori yang ada. Oleh karena itu, Dina ingin sekali menyeimbangkan antara teori dan praktik agar mahasiswa dapat mengetahui dan menguasai apa yang dipelajarinya secara utuh.
“Harapan saya terhadap Universitas maupun prodi, teruslah kembangan dan pertahankan prodi politik karena ilmu politik adalah dasar dari semua ilmu sosial. Jika kita apatis terhadap politik, maka hancurlah generasi mendatang,” imbuhnya. (duniadosen.com)
Pada saat menyusun karya tulis ilmiah, apapun jenisnya, dijamin karya ini diharapkan bebas dari kesalahan.…
Pada saat melakukan penelitian, maka biasanya akan menyusun proposal penelitian terlebih dahulu. Salah satu bagian…
Dosen yang sudah berstatus sebagai dosen tetap, maka memiliki homebase. Jika hendak pindah homebase dosen,…
Pada saat memilih jurnal untuk keperluan publikasi ilmiah, Anda perlu memperhatikan scope jurnal tersebut untuk…
Memahami cara melihat DOI jurnal pada riwayat publikasi ilmiah yang dilakukan tentu penting. Terutama bagi…
Dosen di Indonesia diketahui memiliki kewajiban untuk melakukan publikasi ilmiah, termasuk publikasi di jurnal nasional…