Inspirasi

Dewi Kartikawati Paramita, Tak Sengaja Jadi Dosen dan Kini Ciptakan Pendeteksi Kanker Nasofaring

Sejak kecil, Dewi Kartikawati Paramita, S.Si., M.Si., Ph.D tak memiliki bayangan untuk menjadi dosen. Meski orang tuanya berprofesi sebagai pengajar di kampus, Dewi melihat orang tuanya memiliki peran dalam keluarga sebagai pengusaha. Meski tak sengaja menjadi dosen, Dewi yang ahli sebagai peneliti ini juga berhasil menciptakan inovasi alat pendeteksi kanker nasofaring.

”Sehingga, bayangan saya setelah lulus kuliah ya menjadi pengusaha,” ujarnya.

Ketika dijumpai tim duniadosen.com di ruang kerjanya di Departemen Histologi dan Biologi Sel, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK), Universitas Gadjah Mada (UGM), Senin (17/12), Dewi mengaku profesi dosen yang dia emban sekarang berawal dari kebetulan.

“Dosen semasa S1 melihat potensi saya sebagai orang yang punya kemampuan di bidang akademik. Setelah skripsi, saya diajak terlibat dalam penelitian bersama beliau sebagai asisten peneliti. Selain itu, saya juga didapuk sebagai asisten praktikum di Laboratorium Biokimia, Fakultas Biologi UGM,” cerita Dewi.

Dosen adalah Panggilan Jiwa

Menurutnya, sejak saat itu pandangannya terkait dunia akademik terbuka lebih lebar. Apalagi, selain bergabung sebagai asisten peneliti, Dewi juga terlibat dalam proses pengajaran, meski hanya sebatas asisten dosen. Dewi melanjutkan, dirinya hampir menjadi dosen di Fakultas Biologi UGM jika tak ada perasaan ragu karena saat itu suami sedang bekerja di Jakarta.

Dewi K. Paramita Saat Menghadiri Pameran Inovasi di Makassar. (Doc. Pribadi)

Nampaknya, Dewi memang berjodoh dengan profesi dosen. Menjelang menikah, suami Dewi pindah ke Yogyakarta. Saat itu, Dewi sudah mengundurkan diri dari Fakultas Biologi UGM dan bekerja sebagai sukarelawan untuk anak jalanan di Yogyakarta. “Kemudian, saya ditawari sebagai peneliti di Fakultas Kedokteran UGM. Karena suami sudah pindah ke Yogyakarta, saya akhirnya menerima tawaran tersebut dan mulai masuk sebagai peneliti,” kata perempuan yang tinggal di Kota Yogyakarta tersebut.

Meski sudah aktif sebagai peneliti dan asisten peneliti di lingkungan UGM sejak 1998, Dewi menerima Surat Keterangan (SK) sebagai dosen resmi pada 2005. Tak hanya mengajar di UGM, Dewi beberapa kali turut mengajar di kampus lain sebagai dosen tamu. Sampai sekarang, Dewi merasa bahagia bisa menjadi dosen.

Baginya, profesi dosen adalah profesi yang menuntut kesungguhan hati untuk melakukannya. “Ketika saya dibuka matanya oleh dosen bahwa saya berpotensi untuk menjadi dosen, sejak saat itu saya menyadari menjadi dosen itu menyenangkan. Dosen tidak sekadar pekerjaan, tapi panggilan jiwa,” jelasnya seraya tersenyum.

Ingin Menyampaikan Ilmu Sebanyak Mungkin

Sebagai dosen, Dewi ingin menyampaikan ilmu sebanyak-banyaknya kepada mahasiswa. Pengajar di Departemen Histologi dan Biologi Sel tersebut ingin sekali melihat mahasiswa bisa menjadi lebih baik dari dirinya. Bagi Dewi, menjadi dosen adalah soal berbagi.

Dewi ingin memenuhi kewajiban tri dharma perguruan tinggi dengan sebaik mungkin. “Meski secara tersurat pengajaran, penelitian, dan pengabdian punya proporsi tersendiri, pada kenyataannya semua membutuhkan fokus 100 persen. Maka, harus melaksanakannya dengan baik,” katanya.

Selama berkecimpung dalam dunia akademik, Dewi sangat nyaman ketika sudah berkutat dengan kegiatan penelitian. “Ternyata, makin terlibat dalam penelitian, saya menyadari penelitian juga passion saya karena kita selalu dihadapkan pada situasi dimana selalu muncul pertanyaan apa berikutnya yang harus diketahui? Ada rasa penasaran,” ungkapnya.

Bagi Dewi, segala hal yang dilakukan dalam bidang akademik, termasuk penelitian, harus bisa menghasilkan manfat bagi masyarakat luas. “Saya memiliki target untuk menghasilkan publikasi ilmiah minimal satu tahun sekali. Tiap tahun harus ada lah. Sekarang, saya ingin fokus melakukan penelitian yang bisa bermanfaat untuk memecahkan masalah kesehatan di Indonesia,” tegasnya.

Kiat Membagi Waktu dan Tantangan sebagai Dosen

Dewi mengaku cukup sibuk selama berada di kampus. Apalagi, sejak 2014, Dewi diberikan mandat untuk menjadi koordinator pengembangan Laboratorium Penelitian Terpadu di FKKMK UGM. Tak hanya itu, saat ini Dewi juga menjabat sebagai Kepala Departemen Histologi dan Biologi Sel, FKKMK UGM.

Ketika sampai di rumah, Dewi harus mengemban peran domestik sebagai ibu rumah tangga untuk suami dan anaknya. Dewi mengaku kegiatan-kegiatan yang ia lakukan sebetulnya sangat menguras pikiran. Meski begitu, Dewi selalu berusaha untuk membagi waktu sebaik mungkin.

“Ketika sampai di rumah, keluarga menjadi perhatian utama. Pada kenyataannya, pekerjaan tidak selesai di kantor, tapi begitu sampai di rumah, saya habiskan dulu waktu untuk keluarga. Kalau ada pekerjaan, saya kerjakan pada malam hari. Untungnya, suami sangat suportif. Pun, anak saya tidak terlalu suka mengeluh,” ujar perempuan lulusan S1 dan S2 dari UGM tersebut.

Bagi dosen yang juga mengajar program pascasarjana tersebut, kehidupan domestik dan di luar rumah harus seirama karena Dewi tak hanya hidup untuk keluarga kecilnya saja, namun ingin memberikan manfaat untuk banyak orang. “Hidup harus bermanfaat untuk banyak orang. Apa yang sekarang ada di kita, ya itu amanah yang harus dikerjakan,” tegasnya.

Sebagai dosen, Dewi mengungkap bahwa tantangan terbesarnya adalah bagaimana harus membagi waktu dengan baik. Selain itu, dosen juga harus selalu memperbarui ilmu dari waktu ke waktu karena ilmu mengalami perkembangan pesat.

Dimulai dari Riset, Ciptakan Alat Pendeteksi Dini Kanker Nasofaring
Dewi K. Paramita menjelaskan ihwal inovasi yang dibuatnya kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla (doc. Dewi)

 Sejak kuliah, Dewi sangat menggemari bidang kesehatan. Bahkan, penelitiannya di S1 Biologi UGM juga tentang kesehatan. Kemudian, Dewi melanjutkan studi masternya di bidang Bioteknologi UGM. Saat S2 tersebut, Dewi sudah mulai meneliti tentang kesehatan, yaitu kanker nasofaring.

“Awal penelitian ini saya mulai tahun 2001. Saat S2, saya diberi topik penelitian ini oleh dosen. Apa yang kami temukan di luar dugaan, karena hasilnya sangat bagus. Kami mengembangkan alat deteksi kanker nasofaring. Itu menjadi pemacu bahwa project ini harus dikembangkan,” cerita perempuan yang memeroleh gelar master pada 2003 tersebut.

Kanker nasofaring adalah jenis kanker yang tumbuh di rongga belakang hidung. Kanker ini bisa menyebar ke bagian mata, telinga, bahkan otak. Kanker nasofaring seringkali terlambat dideteksi karena gejalanya tidak spesifik. “Kanker nasofaring sangat kecil di tenggorokan belakang hidung, sehingga tidak nampak. Beda dengan kanker payudara yang bisa diraba,” jelas Dewi.

Dewi melanjutkan, masyarakat seringkali terlambat memeriksakan kanker nasofaring yang diderita. Biasanya, masyarakat baru memeriksakan diri ke dokter saat menyadari ada benjolan di leher. Padahal, menurut Dewi, benjolan tersebut mengindikasikan kanker nasofaring sudah stadium lanjut. “Itu yang kemudian menjadi dorongan makin kuat buat kami untuk membantu memecahkan masalah deteksi dini kanker nasofaring,” akunya mantap.

Dewi menjelaskan bahwa alat deteksi yang ia buat tergolong murah. “Tes kami kembangkan satu tesnya 250ribu, sudah lebih murah dari yang ada di pasaran dimana 250ribu itu untuk satu tes, namun memerlukan beberapa tes lanjutan,” ujarnya.

Meski begitu, Menteri Kesehatan saat itu, Siti Fadilah Supari menilai harga tersebut masih mahal untuk kalangan masyarakat Indonesia. Dia mengimbau untuk membuat alat deteksi yang lebih terjangkau.

“Kemudian kami berusaha menciptakan alat yang lebih terjangkau. Kami mulai bekerja sama tahun 2009 dengan Universitas Mataram (Unram) dan berhasil mendapatkan protype produk dalam bentuk strip. Karena tak ada pembiayaan, project tersebut terpaksa mandek untuk sementara,” lanjutnya.

Dapat Pendanaan dari PUI, NPC Strip G Tercipta dengan Banyak Keunggulan

Dewi beruntung kerjanya dalam menciptakan alat deteksi dini kanker nasofaring dicium oleh Pusat Usaha dan Inkubasi (PUI) UGM, lembaga yang berfokus untuk menghilirisasi hasil penelitian agar dinikmati oleh masyarakat. Sejak 2013, project Dewi-pun dilanjutkan dan masuk tahap kerja sama komersialisasi dengan PT. Swayasa Prakasa.

Selain hemat, Dewi menyebut NPC Strip G memiliki berbagai keunggulan lain. “Metode deteksi kanker yang ada sekarang adalah biopsi (mengambil jaringan area tumor) yang bersifat invasif (menyakitkan) dan ada efek samping pendarahan. Pasien yang masih stadium dini, tumor belum nampak kan tidak bisa dibiopsi. Harus ada tes lain, yaitu alat deteksi kami,” jelasnya panjang lebar.

Dewi melanjutkan, NPC Strip G ciptaannya juga dapat mendeteksi kanker yang hasilnya bisa diketahui tak lebih dari lima menit. Tak hanya itu, NPC Strip G juga memiliki potensi menjangkau masyarakat secara lebih luas karena tak perlu laboratorium untuk melakukan tes.

“Alat tes lain yang sudah dikembangkan harus melalui tes di laboratorium karena memerlukan alat khusus untuk membaca. Sedangkan NPC Strip G memiliki cara kerja seperti tes kehamilan, hanya saja menggunakan sampel darah dari ujung jari, bisa dilakukan di mana saja, meski di daerah terpencil,” lanjutnya.

Target Masuk Pasar 2019, Kembangkan Lini Kedua

 Meski dapat dilakukan oleh siapa saja, Dewi ingin melakukan edukasi terkait NPC Strip G kepada masyarakat prioritas yang mempunyai gejala awal kanker nasofaring seperti pilek tak berkesudahan, pusing, telinga berdenging, mata juling, orang yang mempunyai keluarga dengan kanker nasofaring, atau orang yang terpapar berbagai macam faktor risiko tinggi (orang yang rutin makan ikan asin, perokok, dan orang yang terpapar asap lingkungan tertentu).

NPC Strip G, alat pendeteksi dini Kanker Nasofaring, inovasi Dewi K. Paramita. (doc. Dewi)

Saat ini, Dewi dan tim sedang berdiskusi dengan PT. Phapros terkait rencana distribusi produk ke khalayak umum. “PT. Phapros rencananya akan menjadi distributor produk kami. Kami sedang dalam proses sosialisasi ke rumah sakit, puskesmas, dan penelitian pasar. Kalau sudah terdeteksi  dini kan bisa diobati dengan radioterapi saja, tidak perlu kemoterapi dan sebagainya. Jadi, kami optimistis produk ini bisa diterima masyarakat,” ujarnya optimistis.

Harapannya, NPC Strip G bisa dikomersialisasi ke publik pada 2019. Selain itu, Dewi bersama rekan juga sedang mempersiapkan pengembangan kanker nasofaring lini kedua dan mempelajari marker untuk kanker kolorektal. “Masih dalam proses paten NPC Strip G,” lanjutnya.

Berhasil menciptakan alat deteksi dini kanker nasofaring nyatanya bukan menjadi definisi sukses yang sesungguhnya bagi Dewi. Lulusan program doktoral Vrije Universiteit, Belanda tersebut menyebut sukses ketika merasa bahagia telah melakukan kemanfaatan untuk orang banyak.

“Sekarang, saya merasa belum sepenuhnya sukses. Di atas langit masih ada langit. Kalau kita sudah mencapai sesuatu, harapannya kan kita tidak berhenti sampai disitu,” pungkasnya. (duniadosen.com/az)

Redaksi

Recent Posts

Biaya Kuliah S3 di Dalam dan Luar Negeri

Mengecek dan menyiapkan sumber pendanaan untuk kebutuhan biaya kuliah S3 tentu perlu dilakukan jauh-jauh hari…

2 days ago

5 Tips S3 ke Luar Negeri dengan Membawa Keluarga

Dosen yang mau melanjutkan studi pascasarjana tetapi sudah berkeluarga pasti akan diselimuti kebimbangan antara apakah…

2 days ago

Syarat dan Prosedur Kenaikan Jabatan Asisten Ahli ke Lektor

Mengacu pada aturan terbaru, proses sampai persyaratan kenaikan jabatan Asisten Ahli ke Lektor mengalami beberapa…

2 days ago

Perubahan Status Aktif Dosen Perlu Segera Dilakukan

Dosen di Indonesia tentunya perlu memahami prosedur dan ketentuan dalam perubahan status aktif dosen di…

2 days ago

7 Jenis Kejahatan Phishing Data yang Bisa Menimpa Dosen

Kejahatan phishing data tentunya perlu diwaspadai oleh siapa saja, termasuk juga kalangan akademisi. Terutama kalangan…

2 days ago

Cara Menambahkan Buku ke Google Scholar Secara Manual

Sudahkah para dosen mengetahui bagaimana cara menambahkan buku ke Google Scholar? Hal ini tentu penting…

2 days ago