Sebagai dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah, Burhanuddin Muhtadi, MA., Ph.D. tentu akrab dengan kebaruan informasi dan analisis tajam tentang politik, khususnya politik Indonesia. Burhan seringkali diminta memberikan analisis ihwal isu perpolitikan Indonesia, terutama menjelang pemilihan umum seperti saat ini.
Namun, pengajar mata kuliah Sistem Politik Indonesia di kampus yang terletak di Ciputat, Tangerang Selatan tersebut ternyata pada awalnya tak spesifik ingin terjun di bidang politik. Kecintaannya terhadap bidang ini bermula dari kegiatannya di kampus Ciputat.
Burhan remaja sangat mengidolakan Quraish Shihab, ulama kondang tanah air sekaligus rektor IAIN Syarif Hidayatullah (sekarang UIN Syarif Hidayatullah) ke-8 periode 1992-1998. Saat mengenyam pendidikan menengah atas di Madrasah Aliyah Negeri Program Khusus (MAN-PK) Surakarta, Burhan mendapat kesempatan bertemu idolanya tersebut.
Sejak pertemuan itu, Burhan mengaku makin mengidolakan sosok ulama yang menyusun Tafsir Al-Mishbah tersebut. Saking kagumnya, Burhan kemudian melanjutkan pendidikan jenjang sarjana di IAIN Syarif Hidayatullah bidang tafsir hadis. Namun, setelah berhasil masuk jurusan Tafsir Hadis, Burhan merasa kurang puas dengan pola pengajaran di kampus.
”Setelah masuk IAIN, apa yang saya pelajari ternyata banyak duplikasi dari apa yang saya pelajari saat bersekolah di MAN-PK Surakarta. Saya tidak mendapat jawaban dari mata kuliah yang saya pelajari karena pendekatannya terlalu normatif. Aspek historis, sosiologis, dan antropologis dari teks tidak saya dapatkan dari bangku kuliah,” ceritanya kepada tim duniadosen.com.
Berkenalan dengan Formaci, Makin Tertarik Isu Sosial
Burhan meyakini bahwa studi agama tak cukup dilihat hanya dengan pendekatan agama saja. Karena studi agama memiliki kompleksitas tinggi yang harus dijelaskan oleh berbagai pendekatan ilmu.
Ketidakpuasan tersebut membuat Burhan berkenalan dengan Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci), sebuah kelompok studi yang berusaha melihat aspek-aspek lain dari studi agama. Burhan mengaku makin tertarik dengan isu sosial, terutama bidang politik dari forum tersebut.
Selain itu, ketertarikan dosen berusia 42 tahun tersebut terhadap politik juga dilatarbelakangi oleh keikutsertaannya menjadi peneliti di Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah. Melalui PPIM tersebut, Burhan merasa lebih dekat dengan isu Islam, politik, dan sosial pada umumnya.
Ingin serius menggeluti bidang politik, Burhan kemudian mengambil pendidikan master di Australia National University (ANU) spesialisasi Politik Indonesia berkat beasiswa dari Australian Development Scholarship (ADS). Setelah menamatkan pendidikan master di ANU pada 2008, Burhan kembali ke Indonesia dan bergabung bersama Charta Politika sebagai konsultan politik.
Tak lama berselang, lelaki kelahiran Rembang, Jawa Tengah tersebut beralih ke Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan mulai mengepakkan sayap sebagai pengamat politik ulung. LSI adalah lembaga survei yang khusus melakukan monitor terhadap opini publik. Selama bergabung di LSI, Burhan kerapkali diundang untuk menjadi pembicara isu politik di berbagai media.
Dalam perkembangannya, LSI tidak diberbolehkan memberikan layanan pemenangan kepada klien. LSI hanya boleh sekadar melakukan survei tanpa melakukan pemenangan politik sama sekali terhadap calon yang sedang maju dalam politik elektoral. Akibat kebijakan dari yayasan tersebut, banyak peneliti ‘hengkang’ dari LSI dan membentuk wadah baru yang lebih fleksibel bernama Lembaga Survei Indikator Politik Indonesia. Burhan adalah salah satu pendirinya.
Burhan melanjutkan, sebenarnya mereka tak benar-benar hengkang dari LSI. Berdasar diskusi intens dengan yayasan yang menaungi LSI, para peneliti, termasuk Burhan, diminta untuk tetap berada di LSI. Meski begitu, yayasan memberikan keleluasaan kepada para peneliti tersebut untuk membentuk lembaga tersendiri.
”Dalam segi bisnis, itu (aturan yang tak memperbolehkan melakukan pelayanan pemenangan klien-red) kan menyulitkan. Karena customer utama kami adalah mereka yang maju di pemilihan elektoral. Setelah berkomunikasi dengan yayasan, jalan tengahnya adalah kami dilarang keluar dari LSI, namun dipersilakan membentuk lembaga tersendiri jika ingin melakukan survei dari pihak yang memiliki kepentingan politik. Maka terbentuklah Indikator Politik Indonesia,” ungkap Burhan.
Seiring perkembangan waktu setelah berdiri pada 2013 lalu, Indikator Politik Indonesia makin terkenal di kalangan para politisi. Meski begitu, Burhan mengaku Indikator Politik Indonesia yang sekarang masih seperti Indikator yang diharapkan. Burhan berani bertaruh bahwa yang dilakukan Indikator Politik Indonesia masih sesuai standar lembaga survei yang baik.
”Lembaga survei adalah sebuah bisnis kepercayaan. Kita nggak pernah ‘memasak angka’ untuk klien. Independensi akademik tetap kami jaga. Diantara lembaga survei, sedikit lembaga yang mendapat kepercayaan lembaga terkemuka dunia kecuali LSI dan Indikator Politik Indonesia. Kita sering diminta survei oleh UNDP, Bank Dunia, dan lembaga terkemuka internasional lainnya,” ucap Burhan bangga.
Burhan melanjutkan, selama ini LSI dan Indikator juga tak main-main dalam melakukan penelitian. Meski berbeda (Indikator Politik Indonesia lebih condong melakukan survei terkait isu politik elektoral, sedang LSI di luar isu tersebut), keduanya tak bisa dipisahkan. Burhan menyebut Indikator Politik Indonesia adalah ‘adik’ dari LSI. Pun, kedua lembaga tersebut, lanjut Burhan, memiliki tingkat kredibilitas yang sama.
Tentang Politik Elektoral di Indonesia
Menurut Burhan, politik elektoral di Indonesia memiliki kompleksitas yang sangat tinggi. Ditilik dari desain institusi kepartaian yang multiekstrem, membuat sebagian besar pemilih cenderung berada di tengah dan menghindari sikap yang ekstrem. Burhan meminjam istilah median voter dari Anthony Downs (1957) untuk menjelaskan hal tersebut.
”Yang terjadi dalam kurva normal, partai-partai akan cenderung bergerak ke tengah karena pemilih juga cenderung ke tengah. Pemilih tidak bisa membedakan ideologi para partai. Maka, partai tidak punya insentif untuk menjadi partai ideologis karna untuk menjadi partai ideologis sebelah kiri atau kanan kan segmennya terbatas,” ujar peraih gelar doktor dari ANU tersebut.
Burhan melanjutkan, model elektoralis seperti ini yang menjadi sebab partai-partai berpikir pragmatis. Partai-partai hanya mengagungkan suara pemilih tanpa ingin memperjelas positioning partai dalam berbagai isu strategis. Pragmatisme ini yang menurut Burhan membuat kampanye menjadi tidak bermutu dan kurang menarik, karena hanya didasarkan pada hal-hal bersifat jangka pendek.
Kondisi tersebut diperparah oleh malasnya para politisi dan partai untuk membuat dan mengimplementasikan terobosan kampanye yang lebih menarik. Burhan juga menyayangkan besarnya polarisasi politik yang terjadi menjelang pemilihan umum April mendatang.
Menurut Burhan, kampanye bisa dikatakan bermutu ketika praktiknya didasarkan pada pertukaran gagasan, perspektif yang mengeksplorasi platform ideologis dan hal yang bersifat teknokratik. Kampanye yang bermutu juga mengacu pada kampanye yang mencerdaskan, bukan sekadar bersifat emosional.
”Publik perlu disajikan ide bermutu dari masing-masing kubu yang bersaing yang membuat pemilih merasa tercerdaskan. Sekarang kan kampanyenya bersifat emosional dan kurang sekali mengeksplorasi hal-hal yang bersifat rasional. Pun, pemilih agaknya kurang tertarik juga untuk diajak berkampanye secara rasional. Ini bentuk autokritik sih,” pungkas Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indikator Politik Indonesia tersebut. (duniadosen.com/az)
Mengecek dan menyiapkan sumber pendanaan untuk kebutuhan biaya kuliah S3 tentu perlu dilakukan jauh-jauh hari…
Dosen yang mau melanjutkan studi pascasarjana tetapi sudah berkeluarga pasti akan diselimuti kebimbangan antara apakah…
Mengacu pada aturan terbaru, proses sampai persyaratan kenaikan jabatan Asisten Ahli ke Lektor mengalami beberapa…
Dosen di Indonesia tentunya perlu memahami prosedur dan ketentuan dalam perubahan status aktif dosen di…
Kejahatan phishing data tentunya perlu diwaspadai oleh siapa saja, termasuk juga kalangan akademisi. Terutama kalangan…
Sudahkah para dosen mengetahui bagaimana cara menambahkan buku ke Google Scholar? Hal ini tentu penting…