Hasil penelitian tidak hanya bisa dipublikasikan dosen ke jurnal ilmiah tetapi juga bisa diterbitkan dalam bentuk buku. Salah satunya buku monograf karena buku monograf sebagai luaran hasil penelitian yang juga diakui oleh Ditjen Dikti.
Jika publikasi hasil penelitian melalui jurnal, maka tentu menyasar pembaca yang lebih terbatas, yakni masyarakat ilmiah. Lain halnya jika diterbitkan dalam bentuk buku, dimana bisa ikut dibaca masyarakat umum sehingga menjadi bentuk luaran penelitian yang bisa dipertimbangkan para dosen.
Dikutip melalui LPPM Universitas Negeri Semarang (UNNES), buku monograf adalah suatu tulisan ilmiah dalam bentuk buku yang substansi pembahasannya hanya pada satu topik/hal dalam suatu bidang ilmu kompetensi penulis.
Sehingga, buku monograf termasuk dalam salah satu jenis buku ilmiah sebagaimana dengan buku referensi. Umumnya, buku monograf tidak bisa disusun sembarang orang melainkan ahli di bidangnya. Salah satunya oleh kalangan dosen.
Sebagai buku ilmiah, maka tentu buku monograf sebagai luaran hasil penelitian. Sehingga, buku jenis ini bisa dijadikan pilihan selain meraih luaran berbentuk publikasi ilmiah di jurnal maupun di prosiding.
Isi dari buku monograf yang berbasis hasil penelitian disesuaikan dengan hasil penelitian yang didapatkan. Secara umum, para dosen bisa mengembangkan laporan hasil penelitian maupun artikel ilmiah menjadi naskah buku monograf.
Dalam dunia kepenulisan, langkah ini disebut dengan istilah konversi, yakni mengubah naskah jenis tertentu menjadi jenis lainnya dengan perubahan pada struktur, akan tetapi isinya masih tetap sama.
Bahkan, para dosen bisa mengusahakan mencapai luaran lebih dari satu. Misalnya, tidak hanya publikasi artikel ilmiah di jurnal internasional bereputasi. Namun juga dipublikasikan melalui buku monograf yang diterbitkan oleh penerbit resmi dan diakui DItjen Dikti.
Jika buku monograf menjadi luaran hasil penelitian dan diikuti luaran ke jurnal maupun prosiding. Maka tentu, para dosen akan mengurus publikasi ilmiah setidaknya dua kali, yakni ketika publikasi ke jurnal, disusul dengan publikasi ke penerbitan buku monograf.
Lalu, seberapa penting atau apa urgensi para dosen untuk menjadikan buku monograf sebagai luaran penelitian yang dilakukan? Jawabannya adalah sangat urgen, alasannya antara lain:
Urgensi yang pertama untuk menjadikan buku monograf sebagai salah satu luaran penelitian adalah karena diakui. Oleh siapa? Yakni oleh Ditjen Dikti dan Kemdiktisaintek.
Hal ini terbukti dari masuknya penerbitan buku monograf sebagai bentuk pelaksanaan kewajiban penelitian di dalam PO PAK sekaligus dalam PO BKD. Sehingga, buku ini bisa masuk laporan BKD dan diakui untuk memenuhi beban kerja 12 SKS per semester.
Jadi, tidak perlu ragu untuk menjadikan buku monograf sebagai salah satu pencapaian luaran penelitian. Terutama dalam program hibah yang mencantumkan buku ilmiah ini sebagai salah satu luaran, baik itu luaran wajib maupun luaran tambahan.
Sesuai penjelasan di awal, luaran penelitian dalam bentuk prosiding maupun jurnal ilmiah memiliki target pembaca lebih terbatas, yakni khusus untuk masyarakat ilmiah, misalnya dari kalangan peneliti dan kalangan akademisi.
Meskipun jumlahnya besar, misalnya sampai jutaan pembaca. Namun, harus diakui saat hasil penelitian diterbitkan dalam bentuk buku. Target pembaca akan lebih luas dan mampu meningkatkan jumlah pembaca.
Alasannya karena ketika hasil penelitian diterbitkan menjadi buku monograf, ada akses oleh masyarakat umum karena buku mudah didapatkan di berbagai toko buku dan tidak harus berlangganan di database jurnal yang dikenal mahal. Selain membeli buku, cara hematnya adalah meminjam. Misalnya di perpustakaan.
Semakin banyak jumlah pembaca dari hasil penelitian, semakin banyak yang mengetahui dan memanfaatkannya. Jadi, salah satu urgensi menjadikan buku monograf sebagai luaran hasil penelitian adalah memperluas manfaat penelitian itu sendiri.
Urgensi yang ketiga, adalah karena buku monograf memberi sumbangsih KUM yang tinggi. Mengacu pada PO PAK 2024, poin KUM atau angka kredit buku monograf mencapai 20 poin.
Jumlah ini tentu terbilang tinggi, sebab untuk buku referensi memang memberi KUM sampai 40 poin. Namun, isi pembahasan dan standar jumlah halaman minimal lebih tinggi. Ditambah, buku referensi bisa terbit dalam dua volume atau lebih. Sementara buku monograf hanya satu volume saja (sekali terbit).
Lalu, bandingkan juga dengan KUM untuk jurnal nasional (belum terakreditasi) yang hanya 10 poin dan 15 poin pada jurnal nasional terakreditasi peringkat 3 dan 4. Selain itu, meskipun publikasi di jurnal internasional bereputasi bisa sampai 40 poin. Namun, menembus jurnal kredibel seperti ini tidak mudah dan rawan ditolak.
Ditambah dengan biaya publikasinya yang tinggi dan masa peer review yang bisa berbulan-bulan. Jadi, luaran dalam bentuk buku monograf bisa menjadi solusi meraih KUM tinggi dengan menerbitkan satu buku saja.
Poin keempat yang meningkatkan urgensi menjadikan buku monograf sebagai luaran hasil penelitian adalah bentuk diversifikasi poin KUM. Seperti yang diketahui, dosen wajib melaksanakan 3 tugas pokok tri dharma dan tugas penunjang.
Pelaksanaan wajib seimbang sesuai ketentuan dan akan memberikan tambahan poin angka kredit atau KUM. Jadi, para dosen tidak bisa mengandalkan tambahan poin KUM tinggi hanya dari publikasi ilmiah pada jurnal. Khususnya jurnal internasional.
Namun, penting juga dibarengi dengan rajin menerbitkan buku. Termasuk buku monograf berbasis hasil penelitian. Dari satu penelitian, ada dua sumber poin KUM, yakni publikasi ke jurnal dan menerbitkan buku monograf. Jika hal ini rutin dilakukan, maka semakin mempermudah dosen naik jenjang jabatan fungsional.
Memiliki riwayat publikasi ilmiah dalam bentuk prosiding, jurnal, dan buku sangat penting karena bisa membantu dosen semakin dikenal dan membuka peluang kolaborasi di masa depan. Baik kolaborasi penelitian, pengabdian, publikasi ilmiah.
Menerbitkan buku monograf sebagai luaran hasil penelitian penting untuk dipertimbangkan. Salah satunya, menjadi bentuk publikasi ilmiah dengan biaya lebih ekonomis.
Bandingkan dengan publikasi ke jurnal internasional bereputasi yang bisa menembus belasan bahkan puluhan juta rupiah. Menerbitkan buku bisa dilakukan dengan modal lebih terbatas.
Bisa dengan menerbitkan buku jumlah terbatas, publikasi bentuk buku elektronik (ebook), sampai mencari penerbit dengan biaya jasa yang merakyat. Sehingga, menerbitkan buku monograf bisa dipertimbangkan agar punya riwayat publikasi ilmiah meski terkendala anggaran.
Sesuai penjelasan sebelumnya, dosen yang raji menerbitkan buku maupun ada riwayat publikasi ilmiah lain. Cenderung lebih mudah dikenal dosen dan peneliti lain. Kemudian memperbesar peluang punya jaringan luas dan produktif berkolaborasi.
Artinya, riwayat publikasi ilmiah dalam bentuk apapun menjadi sarana personal branding. Dosen berkesempatan memperkenalkan diri sebagai dosen profesional dengan cara yang tepat, yakni lewat karya tulis yang memang hanya bisa disusun ahlinya.
Sehingga menguatkan citra sudah menjadi dosen bertanggung jawab yang melaksanakan tri dharma. Supaya lebih mudah dikenal lebih banyak orang, maka tentu perlu mempertimbangkan aktif menerbitkan buku monograf sebagai luaran hasil penelitian.
Hal berikutnya yang meningkatkan urgensi menerbitkan buku monograf sebagai luaran hasil penelitian adalah bisa memberi pemasukan tambahan. Menerbitkan buku berbeda dengan menerbitkan artikel di jurnal ilmiah.
Secara umum, publikasi ke prosiding dan jurnal mewajibkan dosen mengeluarkan biaya publikasi. Namun, setelah terpublikasi maka tidak ada manfaat ekonomi dari prosiding dan jurnal tersebut.
Berbeda halnya dengan buku monograf yang memberi manfaat ekonomi lewat royalti. Jadi, dengan menerbitkan buku maka ada peluang untuk dosen punya sumber pemasukan tambahan. Royalti ini bisa digunakan untuk mendukung aktivitas tri dharma, sehingga bisa lebih produktif lagi.
Melalui penjelasan tersebut, tentu bisa dipahami apa urgensi menjadikan buku monograf sebagai luaran hasil penelitian. Dimana ada banyak benefit yang bisa didapatkan. Jadi, tidak akan rugi mempublikasikan hasil penelitian menjadi buku monograf.
Setelah memahami apa saja urgensi menjadikan buku monograf sebagai luaran hasil penelitian, Anda juga perlu memahami apa saja hal-hal yang harus diperhatikan. Tujuannya agar buku monograf tersebut diakui Ditjen Dikti sebagai luaran penelitian, diantaranya:
Hal pertama yang perlu diperhatikan adalah kesesuaian isi buku monograf dengan bidang keilmuan yang ditekuni. Sebagai dosen, tentu paham betul arti penting linieritas.
Tidak hanya harus linier dari segi kualifikasi akademik saat melamar sebagai dosen. Semua kegiatan tri dharma, termasuk publikasi ilmiah harus relevan dengan bidang keilmuan yang ditekuni dosen.
Jadi, pastikan buku monograf berbasis hasil penelitian sudah sesuai dengan bidang keilmuan sehingga diakui Ditjen Dikti sebagai bentuk pelaksanaan tri dharma penelitian dan dijadikan bahan pertimbangan dalam riwayat publikasi ilmiah saat mengajukan hibah penelitian.
Hal kedua yang perlu diperhatikan adalah isi buku monograf berbasis hasil penelitian dosen. Artinya, isi buku tersebut didasarkan pada kegiatan dan hasil penelitian yang sudah dilakukan dosen.
Hal ini penting, karena buku monograf wajib disusun oleh ahlinya dan sumbernya dari hasil penelitian. Jika standar Ditjen Dikti ini tidak terpenuhi, buku monograf yang disusun dianggap tidak memenuhi standar dan tidak diakui.
Jadi, daripada harus melakukan penelitian ulang atau menulis naskah buku monograf dari nol kembali. Perlu dipastikan sejak awal, sumbernya murni dari hasil penelitian yang sudah dilakukan sehingga diakui sebagai luaran dalam penelitian tersebut.
Hal ketiga yang harus diperhatikan adalah bisa tidaknya buku monograf yang ditulis terbit dengan ISBN. Sesuai ketentuan, buku monograf sebagai luaran penelitian wajib terbit ber-ISBN.
Jadi, pastikan naskah buku yang disusun memenuhi syarat untuk mendapat ISBN yang diterbitkan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas RI). Syaratnya mudah, yakni diterbitkan lewat penerbit resmi dan anggota IKAPI.
Hal ini tentu memberi informasi bahwa para dosen tidak bisa sembarangan memilih penerbit. Pastikan dari awal bisa membantu menerbitkan buku dengan ISBN sehingga salah satu standar Ditjen Dikti terpenuhi. Salah satu penerbit yang kami rekomendasikan adalah Penerbit Deepublish.
Hal keempat yang harus diperhatikan adalah terkait jumlah halaman. Seperti yang diketahui, Ditjen Dikti juga mengatur batas minimal jumlah halaman untuk buku monograf. Hal ini juga berlaku untuk buku ilmiah lain seperti buku referensi yang ditulis dosen.
Jadi, pastikan memahami standar atau ketentuan ini sehingga dari awal bisa memastikan sudah memenuhi batas minimal jumlah halaman. Jika kurang, diusahakan untuk segera ditambah dan tidak buru-buru diterbitkan.
Akan sangat disayangkan jika sudah susah-susah menulis naskah buku monograf. Kemudian sudah keluar biaya untuk penerbitannya. Pada akhirnya malah tidak diakui DItjen Dikti. Jadi, penting juga untuk memahami semua standar agar tidak keliru.
Hal berikutnya yang harus diperhatikan saat memilih buku monograf sebagai luaran hasil penelitian adalah pihak yang menerbitkannya. Sesuai penjelasan sebelumnya, buku monograf wajib ber-ISBN.
Anda perlu teliti memilih penerbit dan memastikan penerbit tersebut resmi. Sehingga bisa mengajukan ISBN ke Perpusnas dan buku monograf memenuhi standar Ditjen Dikti. Salah satu ciri penerbit resmi adalah sudah berbadan hukum. Selain itu, juga menjadi anggota IKAPI.
Tak hanya itu, penting juga untuk memilih penerbit yang sudah sering menerbitkan buku ilmiah karya dosen. Sehingga ikut paham standar Ditjen Dikti. Jika ada yang belum sesuai, pihak penerbit bisa konfirmasi ke dosen dan dilakukan perbaikan. Jadi, meminimalkan resiko terbit tidak sesuai standar Ditjen Dikti.
Poin berikutnya yang sangat harus diperhatikan adalah isi naskah buku monograf tidak menyimpang dari Pancasila maupun UUD 1945. Jadi, penting untuk memastikan si naskah tidak menyalahi dasar negara dan dasar hukum Indonesia tersebut.
Hal ini juga menjadi standar Ditjen Dikti. Jika sudah terbit dan dilaporkan dalam BKD, kemudian ada penyimpangan. Maka tent selain tidak diakui, dosen yang menulisnya bisa mendapat sanksi tambahan. Jadi, pastikan isinya tidak menyalahi isi Pancasila dan UUD 1945.
Poin terakhir yang wajib diperhatikan adalah buku monograf sudah bebas dari segala bentuk pelanggaran etika. Misalnya plagiarisme. Dosen yang diketahui melakukan plagiat pada publikasi ilmiahnya, tentu akan dikenakan sanksi.
Sanksi ini bisa sanksi ringan, misalnya diberi teguran tertulis maupun teguran secara lisan. Sampai saksi berat, misalnya diberhentikan sebagai dosen dan menanggung konsekuensi hukum.
Jadi, menerbitkan buku monograf sebagai luaran hasil penelitian memang punya urgensi tinggi. Namun, bukan berarti disusun dengan cara plagiat agar cepat selesai. Sebab bisa membuat dosen tersandung kasus hukum dan karir akademiknya runtuh.
Selain perlu memperhatikan beberapa hal penting di atas. Dosen juga wajib mengatur waktu dengan baik. Sehingga memiliki waktu yang cukup untuk mengerjakan naskah buku monograf. Semakin cepat dikerjakan, semakin cepat bisa diterbitkan.
Apalagi jika dosen mendapat hibah penelitian, tentu akan ada deadline untuk mencapai luaran penelitian. Jadi, berikut beberapa tips agar naskah buku monograf tidak terbengkalai:
Anda masih bingung menulis buku monograf dari hasil penelitian? Tak perlu khawatir karena ada teknik khusus untuk melakukannya, yaitu parafrase. Namun, parafrase tidak bisa dilakukan sembarangan karena ada standar buku monograf yang wajib dipenuhi agar diakui Dikti.
Belum terlalu paham dan tidak percaya diri dengan tulisan sendiri untuk dipublikasikan jadi buku? Tenang, Anda bisa menerbitkan buku monograf hasil penelitian dengan menggunakan Layanan Konversi KTI di Penerbit Deepublish.
Tim bersertifikat Deepublish akan membantu Anda mengubah artikel/naskah ilmiah hasil penelitian menjadi naskah dengan format buku yang siap untuk diterbitkan, salah satunya menjadi buku monograf ini. Berminat? Anda bisa baca pelajari dulu di halaman Layanan Konversi KTI, lalu gunakan layanan tersebut segera karena Kami sangat merekomendasikannya sebagai strategi untuk mempercepat jenjang karir Anda!
Baca lebih lanjut buku hasil penelitian, seperti buku monograf, berikut:
Mencari informasi terkait regulasi AI untuk penelitian ilmiah tentu penting. Sebab dalam kegiatan penelitian tentu…
Sudahkah mulai mengecek atau mencari tahu tren publikasi akademik atau publikasi ilmiah? Termasuk juga prediksi…
Salah satu strategi meraih hibah penelitian Kemdiktisaintek adalah menghindari kesalahan dalam menulis proposal usulan. Tahap…
Mencari informasi dan mempelajari tata cara menulis kerangka proposal yang berpeluang lolos hibah, tentu menjadi…
Meraih hibah penelitian bisa dimulai dengan mencari dan mempelajari contoh proposal hibah penelitian. Yakni proposal…
Sejalan dengan pengumuman hasil klasterisasi perguruan tinggi pada Oktober 2025 lalu, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains,…