Informasi

Begini Perjuangan Para Peneliti ITB Ciptakan BBM Berbahan Dasar Sawit

Indonesia memproduksi sekitar 46 juta ton sawit setiap tahun. Tapi, baru 25 persen yang terserap untuk berbagai kebutuhan. Karena itu, riset dan pengembangan bahan bakar minyak (BBM) dari sawit terus digalakkan.

Bandung – Institut Teknologi Bandung (ITB) menyiapkan teknologi untuk mengkonversi tanaman kelapa sawit menjadi bahan bakar. Bahan bakar ini nantinya tergolong dalam bahan bakar nabati. Industri Katalis Pendidikan yang dimiliki di Laboratorium Teknik Reaksi Kimia dan Katalisis (TRKK) Fakultas Teknologi Industri (FTI), Institut Teknologi Bandung (ITB) menghasilkan produk-produk inovasi di bidang katalis. Dan seperti apa perjuangan para peneliti ITB ciptakan BBM berbahan dasar sawit menggunakan katalis sebagai pengumpan?

Benda berwarna putih berbentuk bubuk yang bergumpal jadi ulir-ulir kecil ini disebut katalis. Bagi keluarga besar FTI, khususnya program studi teknik kimia, gumpalan-gumpalan putih kecil tersebut adalah tiket menuju kemandirian energi Indonesia.

Sesuai namanya, katalis adalah pemicu alias katalisator untuk berbagai bahan mentah pengumpan yang akan disuling menjadi aneka BBM sesuai kebutuhan.

Katalis itu adalah buah kerja keras para peneliti kimia ITB sejak 1982 untuk menemukan energi terbarukan menggantikan energi fosil. Mereka menamainya “Katalis Merah Putih”.

Kini pengembangan katalis difokuskan untuk mengolah beragam jenis minyak olahan sawit menjadi BBM. Upaya itu didukung Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman serta Kementerian Riset, Teknologi, dan Perguruan Tinggi (Kemenristekdikti).

Penelitian pengembangan katalis ini sebenarnya sudah dirintis sejak 35 tahun lalu oleh Guru Besar Teknik Industri ITB Prof. Dr. Ir. Subagjo dan para peneliti di Teknik Kimia bersama sejumlah mahasiswa program studi Teknik Kimia S1, S2, dan S3 di ITB. Keberadaan laboratorium tersebut menjadi bukti bahwa produk penelitian Indonesia mampu menjawab tantangan kemandirian bangsa.

Peneliti ITB melakukaan pengembangan formula, karakterisasi dan uji kinerja katalis dalam skala lab dilakukan di TRKK ITB, sedangkan pengujian skala pilot dan juga skala industri dilakukan di Industri. Untuk itu Prof Subagjo menegaskan bahwa kerjasama dengan industri sangat penting. “Kerjasama dengan industri sangat diperlukan terutama untuk pengujian skala pilot dan juga skala industri. PT. Pupuk Iskandar Muda dan Pertamina (Persero) adalah mitra-mitra industri pertama yang memberi kesempatan pengujian hasil pengembangan laboratorium di reaktor skala industri,” ujarnya dilansir itb.ac.id.

Lab TRKK bekerjasama dengan Research Technology Center (RTC) Pertamina  telah menghasilkan berbagai katalis hydrotreating. Sejak 2011 hingga saat ini tidak kurang dari 140 ton katalis hydrotreating telah diproduksi dan digunakan di 8 reaktor di 5 kilang Pertamina.

Lebih lanjut ia mengatakan kebutuhan katalis di Indonesia saat ini cukup besar, diperkirakan mencapai 500 juta USD dan hampir seluruhnya diimpor dari luar negeri. Hanya sebagian kecil saja yang dapat diproduksi di Indonesia dengan membawa lisensi dari luar negeri. Menurut Prof. Subagjo, pemerintah harus berani mengambil keputusan dalam produksi katalis nasional, karena katalis memegang peran kunci dalam pengembangan dan penyelenggaran industri kimia.

Di salah satu sudut lab kimia, salah satu peneliti ITB yang juga sebagai doktor bidang kimia dan peneliti energi terbarukan ITB I Gusti Bagus Ngurah Makertihartha membuka kaitan sebuah tabung reaktor. Mengungkap sebuah slang kecil yang diapit semacam gabus besar. “Katalis ini diletakkan di sini. Ya, jadi cuma dilewati saja oleh bahan mentahnya,” jelasnya kepada awak media seperti dikutip jawapos.com.

I Gusti Bagus Ngurah Makertihartha doktor bidang kimia dan peneliti energi terbarukan ITB. (Sumber Foto: itb.ac.id)

Awalnya, minyak sawit dipompa ke dalam tabung reaksi, bertemu dengan katalis dengan kode BIPN 308-1T. Campuran itu akan memicu reaksi kimia perengkahan (cracking). Output yang dihasilkan adalah biogasoline alias bensin nabati yang memiliki kandungan oktan (research octane number: RON) hingga 110. “Ketika ini dicampurkan bensin kelas premium, derajatnya akan naik menjadi pertamax turbo,” jelas Makertihartha bersemangat.

Tentu saja tidak ada gunanya menjual bensin dengan RON 110. Selain pasti jauh lebih mahal daripada bensin biasa, sebagian besar mesin kendaraan memang diciptakan untuk memproses kadar oktan paling tinggi 90 hingga 95. Lebih dari itu, mesin akan kehilangan efisiensi bahan bakarnya.

Syukurlah, kata Makertihartha, biogasoline itu termasuk kategori bahan bakar yang sudah drop in. Alias siap dicampur dengan bahan bakar apa pun. Bahkan dengan minyak konsentrat alias bensin berkualitas rendah. “Mencampurnya tidak perlu tabung reaksi. Campur saja kayak mencampur kopi dan gula,” jelasnya.

Bahkan, kata Makertihartha, proses dari katalisasi minyak sawit menjadi biogasoline menghasilkan gas yang komponennya sama dengan Liquefied Petroleum Gas (LPG). Namun, skala produksi yang ada saat ini masih setingkat pilot project. Dibutuhkan skala produksi yang lebih besar lagi untuk mendapatkan output tekanan gas yang sesuai kebutuhan.

Meski namanya Katalis Merah Putih, warnanya tak selalu merah dan putih. Ada banyak katalis yang dikembangkan ITB untuk berbagai keperluan. Ada yang hijau sampai cokelat. Bahkan, mereka mengklaim salah satu katalis bisa digunakan untuk memproses minyak mentah (crude oil) menjadi BBM.

Katalis diproduksi di ruangan khusus di kompleks lab reaksi kimia ITB. Walaupun direndam atau dipasang di aliran bahan bakar pengumpan, bentuk katalis tak akan berubah sehingga bisa digunakan lagi. Hanya, setelah beberapa ratus kali penggunaan, sejumput katalis akan kehilangan daya picu.

Setelah jadi, katalis dipindahkan ke ruangan lain untuk dimasukkan ke tabung reaktor dan dicampur dengan bahan bakar pengumpan. Output-nya adalah aneka BBM. Salah satu tabung reaktor, kata peneliti lab reaksi kimia ITB Melia Laniwati, diberikan oleh Pertamina sebagai sarana uji katalis dalam memproses minyak mentah (crude oil).

Katalis yang diciptakan lab reaksi kimia ITB itu, kata Melia, sudah digunakan di beberapa kilang minyak Pertamina. Mulai Refinery Unit (RU) II Dumai, RU IV Balongan, hingga RU V Balikpapan. Laboratorium itu juga berhasil menggunakan katalis dengan kode PIDO 130-1,3T untuk mengonversi minyak sawit (IPO) menjadi diesel nabati melalui proses hidrodeoksigenasi (HDO). Lalu, katalis dengan kode PIDO 130-1,3 T berhasil mengonversi minyak inti sawit (IKO) menjadi bensin pesawat alias avtur.

Bahkan, bioavtur yang dihasilkan tersebut termasuk yang paling siap untuk tahap komersialisasi. Fadhli, dosen ITB peneliti di lab reaksi kimia, mengungkapkan bahwa bioavtur mereka telah dikembangkan dengan dua proses. Ketika hanya menggunakan HDO, avtur tidak tahan suhu dingin sehingga cepat membeku. “Jadi, titik beku maksimalnya sekitar minus 20 hingga 30 derajat Celsius. Sedangkan standar aviasi harus minimal minus 50 derajat Celsius,” jelasnya.

Avtur dengan ketahanan beku rendah otomatis tak bisa digunakan pesawat yang terbang tinggi dengan udara tipis dan suhu beku. “Tapi, dengan proses kedua, yakni hidroisomerisasi, ketahanan titik bekunya meningkat ke -70 derajat Celsius,” jelasnya. Uji coba terhadap bioavtur itu sudah berlangsung kurang lebih setahun. Tentu saja, kata Fadhli, uji coba langsung dengan mesin-mesin jet adalah eksperimen yang tidak murah.

Pada kurun waktu 5 tahun terakhir ini Laboratorium TRKK-ITB bersama RTC Pertamina sedang mengembangkan katalis untuk konversi minyak sawit menjadi BBN. (Sumber Foto: itb.ac.id)

Prof Subagio, ketua tim peneliti mengungkapkan bahwa saat ini Indonesia mengimpor 360.000 barel minyak mentah per hari. Atau setara 41 persen kapasitas kilang minyak Pertamina. Juga, 400.000 ribu BBM atau sekitar 30 persen kebutuhan nasional. “Ini menjadi sumber defisit anggaran yang terbesar. Padahal, kita bisa memanfaatkan sawit dan kita adalah penghasil sawit terbesar di dunia,” kata peneliti ITB tersebut.

Output beberapa katalis dan produk BBM memang saat ini masih dalam skala pilot alias eksperimental bersama industri-industri mitra. Namun, jika terus dikembangkan, Katalis Merah Putih bisa jadi solusi energi nasional.

Subagio mengatakan, saat ini ITB sedang bergerak untuk membangun pabrik katalis melalui dana penguatan inovasi yang diberikan Kemenristekdikti. Dengan kapasitas produksi hingga 3 ton per hari. Bekerja sama dengan PT Pupuk Kujang. Pabrik akan berlokasi di dekat kompleks Pupuk Kujang di Cikampek dan akan menjadi pabrik katalis pertama di Indonesia.

Subagio enggan menyebut seberapa banyak penghematan atau keuntungan bisnis yang akan didapatkan dengan penggunaan aneka BBM sawit itu. Namun, menurut dia, penggunaan katalis lebih baik daripada terus mengimpor minyak mentah dari luar negeri. “Ini bukan soal harga. Tapi, tidak impor saja sudah sangat bagus,” tegasnya.

Redaksi

Redaksi

Recent Posts

Biaya Kuliah S3 di Dalam dan Luar Negeri

Mengecek dan menyiapkan sumber pendanaan untuk kebutuhan biaya kuliah S3 tentu perlu dilakukan jauh-jauh hari…

2 days ago

5 Tips S3 ke Luar Negeri dengan Membawa Keluarga

Dosen yang mau melanjutkan studi pascasarjana tetapi sudah berkeluarga pasti akan diselimuti kebimbangan antara apakah…

2 days ago

Syarat dan Prosedur Kenaikan Jabatan Asisten Ahli ke Lektor

Mengacu pada aturan terbaru, proses sampai persyaratan kenaikan jabatan Asisten Ahli ke Lektor mengalami beberapa…

2 days ago

Perubahan Status Aktif Dosen Perlu Segera Dilakukan

Dosen di Indonesia tentunya perlu memahami prosedur dan ketentuan dalam perubahan status aktif dosen di…

2 days ago

7 Jenis Kejahatan Phishing Data yang Bisa Menimpa Dosen

Kejahatan phishing data tentunya perlu diwaspadai oleh siapa saja, termasuk juga kalangan akademisi. Terutama kalangan…

2 days ago

Cara Menambahkan Buku ke Google Scholar Secara Manual

Sudahkah para dosen mengetahui bagaimana cara menambahkan buku ke Google Scholar? Hal ini tentu penting…

2 days ago