Tak pernah terbayangkan sebelumnya oleh Dr. Basuki Agus Suparno, M.Si., dapat menempuh pendidikan tinggi hingga jenjang S3 kemudian menjadi dosen. Perjalanan hidupnya sejak kecil penuh dengan keprihatinan, namun hal itu tak menyurutkan cita-citanya untuk bisa kuliah mencapai hidup yang lebih baik. Tak menyangka, 8 dari 9 bersaudara ini pun menyebut profesinya menjadi dosen merupakan garis tangan yang telah ditetapkan Tuhan.
Perjuangan Hidup Dimulai Sejak Usia Sekolah Dasar
Lahir di Sragen, namun masa anak-anak, Basuki hidup bersama kedua orang tua dan kakak-kakaknya di Jakarta. Saat kelas 4 SD, Basuki telah ditinggal sang ayah untuk selama-lamanya. Ibu dan adiknya kemudian kembali ke Sragen. Basuki tinggal bersama ke-7 kakaknya menghadapi kerasnya kehidupan Ibu Kota saat itu.
Sejak kecil, Basuki memang tergolong anak yang cerdas. Terbukti saat SMP, Basuki berhasil lolos dan diterima di SMP Favorot di Jakarta. Namun, saat SMP baginya tidak ada yang bisa dibanggakan. Kesulitan ekonomi membuat Basuki hidup serba kekurangan dan minder terhadap teman-temannya yang mayoritas tergolong perekonomian orang berada.
“Saya masuk SMP favorit di Jakarta bukan bikin pede malah bikin minder. Teman-teman saya pada beli buku, saya ngga punya buku, mereka pada renang saya ngga bisa ikut, pada jajan saya ngga bisa jajan, mau belajar ngga punya buku. Akhirnya nilai saya jelek semua dapat 5. Kakak saya dipanggil guru, dan dinasehati,” tuturnya.
Tak hanya itu, untuk seragam pun Basuki juga tak bisa membelinya. Sampai akhirnya ia ingin sekali seperti teman-temannya bisa memiiki seragam pramuka yang dijahit ke penjahit. Ibunya membolehkan, meski sebenarnya ia tahu ibunya tak memiliki uang untuk membayar jahitan baju seragamnya. Benar saja, seragam pramuka itu masih tertinggal di penjahit karena tak ada uang untuk mengambil.
Hidup bersama ke 7 kakaknya yang jga masih berjuang terhadpa hidupnya masing-masing sempat membuat Basuki tidak terurus. Ia pun sempat sakit dan akhirnya tinggal bersama bulik (adik perempuan ibunya) selama 1 tahun. Tinggal bersama bulik, Basuki diajari hidup mandiri, disiplin, memasak, mencuci baju dan piring. Dari sana, Basuki pun memiliki keahlian memasak hingga saat ini.
Kelas 2 SMP pun, Basuki minta pindah sekolah ke Sragen. Ia ingin hidup bersama ibu dan adiknya di kota kelahirannya. Kemudian ia berhasil diterima di SMA 1 Sragen. Di SMA benih-benih bakat mengajar Basuki mulai muncul. Basuki yang gemar mempelajari ilmu agama Islam, membuatnya ingin selalu berbagi kepada teman-temannya. Ia pun kerap diminta untuk mengisi taklim di lingkup sekolah yang pesertanya teman dan adik-adik kelasnya.
Menyambi Loper Koran dan Jual Asongan
Ketika lulus SMA nantinya Basuki ingin sekali bisa kuliah. Ia memahami kondisi perekonomian keluarganya yang pas-pasan. Sehingga ia pun bertekad untuk bekerja apa saja asal halal untuk membiayai hidup dan kuliahnya secara mandiri. Ia pun memilih menjadi loper koran dan penjual asongan di stasiun.
“Pulang ke daerah peluangnya ya jualan Koran. Kalau tukang becak agak berat. Kalau jadi loper Koran lumayanlah bisa baca-baca dulu sebelum di loperin, saya suka baca Tempo, Intisari, Wawasan dan lainnya,” ujarnya.
Ketertarikannya memilik juruan komunikasi ketika memutuskan kuliah pun terinspirasi dari seringnya ia membaca Koran dan berteman dengan banyak wartawan. Ia juga sempat membayangkan bekerja sebagai wartawan terlihat menyenangkan.
Meski begitu, ketika ikut tes masuk Perguruan Tinggi Negeri di Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Basuki memiliki pilihan pertama kedokteran, pilihan kedua Komunikasi, dan ketiganya Pertanian.
“Pilihan pertama kedokteran masalah biaya atau apa urusan nanti bisa dicari. Padalah kakak-kakak saya tidak ada yang kuliah. Saya anak no 8 mau kuliah, padahal kaka-kakak saya sata itu semua belum mapan. Tapi saya yakin kalau sudah ada niat pasti nanti ada jalan. Itu juga yang diajarkan agama. Meski kakak-kakak saya bilang “gaya men”. Dikira kuliah itu gampang, murah po, mungkin iu juga ketakutan kalau nanti saya akan minta. Padahal saya mau cari sendiri. Meski begitu ya akhirnya kakak-kakak saya juga mendukung pilihan saya untuk kuliah,” ceritanya.
Basuki sangat berharap bisa diterima di jurusan kedokteran, kemudian usai tes pun Basuki bisa mengoreksi sendiri hasil testnya lewat salah satu media massa yang telah menerbitkan soal-soal tes masuk PTN. Ia pun bisa memperkirakan 75 persen jawabannya benar. Predikat mahasiswa kedokteran seolah sudah berada di depan matanya. Hasil pun keluar, Basuki dinyatakan diterima sebagai mahasiswa komunikasi UNS. Meski bukan pilihan utamanya, Basuki tetap mensyukurinya karena komunikasi juga menjadi pilihannya.
Masuk kuliah dengan susah payah, bukannya Basuki fokus kuliah tetapi ia tetap harus menyambi bekerja. Ya ia tetap melakoni sebagai loper Koran dan pedagang asongan di stasiun dengan menjajajakan air mineral, brem, dan lainnya. Ketika ada jadwal kuliah pagi pun tak jarang Basuki kerap telat.
“Kalau korannya telat ya otomatis saya juga telat. Saya biasa telat. Tapi saya tidak bermaksud telat, saya tetap berusaha masuk meski tinggal 10 menit saya tetap masuk dan berusaha dosen tidak tahu kalau saya telat. Hanya pak Sigit teman saya yang tahu. Teman-teman dekan saya pasti tahu saya nyambi untuk untuk transport dan biaya kuliah,” terangnya.
Lulus S1 Sukses Jadi Loper Gula Pasir
Lulus S1 Ilmu Komunikasi Massa 1996, belum ada keinginan pria kelahiran 6 Mei 1971 tersebut untuk menjadi dosen. Ia justru lebih tertarik untuk beralih dari loper Koran menjadi loper gula pasir. Door to door, dari rumah ke rumah Basuki menawarkan gula pasir dengan membawa brosur. Ia menawarkan untuk langganan dan siap mengantar setiap sebulan sekali. Satu kampung berhasil menjadi pelanggannya. Dalam sebulan bisa sampai 3 ton gula pasir Basuki antar dari rumah ke rumah dengan meraup keuntungan hingga 10% per kilogramnya.
“Modal saya waktu itu cuma 100 Kg. Saya bisa untung Rp 750 ribu. Padahal waktu menawarkan gula pasir dari rumah ke rumah itu saya belum bawa barangnya. Jadi hanya membawa brosur, dan calon pelanggan mengisi data. Mereka pun membayar ketika barang sudah diantar atau bahkan ada yang membayar di bulan berikutnya,” kenangnya.
Basuki begitu enjoy melakoni profesinya sebagai loper gula pasir. Hingga ia pun terus melakukan penawaran ke kampung sebelah, untuk meraih pelanggan lebih banyak lagi. Tak sia-sia ia berhasil mendapat pelanggan baru. Di tengah perjalanannya membangun bisnis gula pasir, tiba-tiba saja Basuki bertemu teman lamanya sewaktu menempuh S1, Sigit.
Menjadi Dosen di UPNV Yogyakarta
Sigit yang merupakan dosen di UPNV Yogyakarta itu memberikan informasi kepada sahabat lamanya itu tentang adanya lowongan dosen komunikasi di UPNV Yogyakarta. Sigit berharap Basuki tertarik untuk melamarnya. Basuki pun menanyakan berapa gajinya, yang ternyata jauh lebih rendah dari penghasilannya menjadi loper gula pasir. Niat tidak niat, atas permintaan sahabatnya akhirnya Basuki mengiyakan permintaan sahabatnya.
“Piye iki? Loper gula pasir sebulan dapat Rp 750ribu jadi dosen digaji pertama Rp 250ribu. Pak Sigit tetap bilang, “wis kancani wae aku ning Jogja dadi Dosen”. Gulaku piye? Wis pasrahke karo kancamu wae. Ya saya tetap belum membuat lamaran saya tetap sibuk jualan gula. Akhirnya yang membuat lamaran pak Sigit dan beliau yang meminta berkas-berkas yang lain. Saya terima jadi, hanya tandatangan saja. Beliau yang kirim lamaran tersebut,” katanya.
Basuki menceritakan, dulu belum ada syarat ketentuan dosen harus S2. Kemudian formasi yang dibutuhkan hanya satu orang. Kebetulan yang mendaftar ada dua orang, satu dari Undip dan satunya lagi dari UNS yaitu Basuki. Tak lama, Basuki mendapat panggilan untuk tes dan interview.
“Dapat panggilan dari UPN, pak Sigit saya telepon. Terus saya suruh datang saja dan mengikuti tahapan seleksinya. Interview, saya jawab semau saya. Ketua jurusan bilang ke pak Sigit, iki koncomu ra mutu tenan (ini temanmu tidak bermutu), pak Sigit bilang kae pinter lho (dia pandai lho). Yo pinter tapi ra mutu (ya pandai tapi tidak bermutu). Ya sudah saya jalani saja, saya juga tidak ingin sekali diterima. Saya lost ngga kepikiran apa-apa. Pak Sigit sudah tidak berharap,” jelasnya santai.
Berbulan-bulan kemudiaan, Basuki kembali mendapat panggilan untuk tes ke-2. Di tahap pertama test saat itu, ia ditanya tentang latar belakang akademik, keilmuan komunikasi, somasi. Basuki sempat bingung, katanya tidak bermutu tetapi ia dipanggil kembali untuk tes ke-2. Basuki kembali menelepon sahabatnya Sigit, Sigit sempat heran dan tetap memintanya hadir.
Di tes ke-2, Basuki mengaku sama sekali tidak menemui soal-soal yang berat. Ia malah menceritakan tentang bisnis gula pasirnya. Dan ketika Basuki diterima menjadi dosen, ia akan mendelegasikan bisnis gula pasir kepada temannya. Di tes ke-2 tersebut Basuku banyak bercerita, dan di soal ke dua ia diminta untuk berpendapat tentang waduk Kedung Ombo. Ia pun bisa menjawab pertanyaan dan membuat tim penguji merasa puas. Kemudian, Basuki dinyatakan diterima menjadi dosen komunikasi di UPNV Yogyakarta.
“Ya sudah keterima, ya menurut saya itu takdir yang sudah Allah SWT. tentukan,” ujarnya.
Basuki menceritakan awal mula pengalamannya menjadi dosen. Mulai dikirim ke kopertis untuk mengikuti kegiatan akademik dan pelatihan penulisan. Ia memiliki potensi untuk menulis dan presentasi, Basuki pun banyak belajar hingga mampu menulis jurnal dan banyak dimuat.
Mengetahui kemampuan Basuki dalam menulis jurnal, kemudian ia diminta untuk mendampingi dosen UGM saat mengajar. Sebaga dosen baru, Basuki mempelajari cara para dosen UGM itu mengajar. Basuki berujar, saat itu cara dosen UGM dalam mengajar beragam, ada yang hanya menjelaskan, memberikan bahan, bahkan ketika diberikan waktu untuk bertanya sama sekali tidak ada yang bertanya, hingga kelas hening selama 30 menit.
“Ini ngajar model apa? Habis itu ditutup, kalau tidak ada pertanyaan berarti menganggap mahasiswa sudah paham. Ada lagi yang cuma disuruh baca selama kelas berlangsung. Sampai suatu ketika saya tidak mau lagi mendampingi. Tapi ada salah satu kesempatan saya mendampingi pak Oke dari KR. Saya diberikan kesempatan untuk mengajar, nah saya seneng akhirnya benar-benar latihan jadi dosen,” kenangnya.
Beasiswa S2 dari tempatnya mengajar
Cukup lama mengajar, akhirnya Basuki mendapat kesempatan S2 yang dibeasiswai tempatnya mengajar. Ia pun memilih UNS untuk menempuh pendidikan S2 nya. Di jenjang inilah akhirnya Basuki benar-benar bisa merasakan fokus kuliah, tanpa harus memikirkan bagaimana biayanya, tanpa harus berkejar-kejaran waktu, tanpa harus sebagai loper Koran dan pedagang asongan. Sehingga waktunya hanya fokus untuk menuntut ilmu.
Dan di sanalah, Basuki bertemu dosen dengan nama-nama yang menurutnya “wah”. Dosen itu diantaranya, Prof. Alwi Dahlan, Prof. Sasa Duarsa Senjaya, Harsono Suwardi, Dedi Nur Hidayat, yang merupakan nama-nama besar di bidang Komunikasi dari Universitas Indonesia (UI). Beruntung, Basuki bertemu di UNS, karena saat itu UNS bekerjasama dengan UI.
“Saya merasa mendapatkan sesuatu langsung dari pakarnya. Dari situ saya belajar banyak hal. Keilmuan itu begitu. Baru di situ tergugah untuk lebih mendalami, Little John saya baca dalami seriusi. Saya ketemu Prof. Andres Harjana juga jadi ketemu orang-orang yang memang ahlinya,” ujarnya.
Di saat itulah Basuki mulai berkembang, ia merasa sangat senang dan beruntung bertemu dengan dosen yang juga merupakan tokoh-tokoh bidang ilmu komunikasi. Basuki pun terbuka wawasannya yang bermanfaat dalam bidang ilmu komunikasi. Di jenjang S2 itu pula akhirnya ia bisa lulus dengan predikat Cumlaud tidak seperti saat S1.
Lulus S3 benar-benar merasakan sebagai dosen
Lulus S2 tahun 2003, Basuki kembali mengajar di UPNV Yk dengan nuansa baru. Dua tahun mengajar, kembali ia mendapat usulan untuk melanjutkan S3. Meski sebenarnya Basuki merupakan kandidat cadangan, namun yang diajukan mengundurkan diri. Sehingga kesempatan itu sampai pada Basuki.
Dalam masa penawaran lanjut S3 tersebut, Basuki mengaku belum siap karena saat itu ia masih proses membangun rumah dan baru saja dikaruniai seorang anak. Kemudian Basuki meminta pertimbangan kepada sang istri Erni Indriastuti. Saat itu sang istri yang tengah kerepotan merawat bayi seorang diri, merasa berat melepas sang suami melanjutkan S3 nya. Apalagi saat itu pilihan S3 nya hanya ada 2 Perguruan Tinggi yaitu di Malaysia atau di UI Jakarta.
Tak kehabisan cara, Basuki pun mencoba menyodorkan kesempatan S3 tersebut ke bapak ibu mertuanya. Keduanya mengizinkan menantunya melanjutkan pendidikannya.”Bapak ibu mertua bilang berangkat, mumpung anaknya masih bayi. Tapi tidak usah ke Malaysia. Saya daftarlah di UI, Jakarta. Istri juga berdoanya semoga tidak diterima. Tapi kebetulan tidak manjur. Saya juga minta restu kepada ibu saya dan mengizinkan,” ungkap Basuki.
Kemudian, Basuki mengikuti serangkaian test di UI dengan menghadapi 8 Guru Besar termasuk Guru Besar dari UNS yang juga di sana. Basuki pun sempat diuji mentalnya saat Prof Alwi menjadi ketua pengujinya. Basuki menirukan kata-kata Prof Alwi, “Anda kok berani-beraninya mendaftar UI? Apa tidak tau UI itu sulit dan berat, Anda kan yang kuliah Jumat dan Sabtu, apa Anda mampu?”.
“Saya ga kepikiran apa-apa lagi, saya jawab saja lho saya kuiah di UNS Jumat Sabtu itu kan bapak-bapak juga yang mengajar saya. Dosen-dosen yang tidak mengajar di UNS heran, ini kok anak berani sekali,” katanya.
Menempuh S3 di UI, Basuki semakin berkembang. Di sana ia banyak jejaring, Basuki pun di percaya untuk mengajar S2 Teori Perspektif, Teori Komunikasi, serta menguji disertasi di UI sejak tahun 2010-2018. Ia pun diminta mengajar S2 dan S3 UNS sampai saat ini. Jadi karena itulah kemudian dipercaya, akan pemikiran-pemikiran yang kemudian dijelaskan pemahamannya. Akhirnya Basuki dianggap sebagai dosen sebenarnya. “Jadi dosen sesungguhnya, setelah S3 itu mungkin ya,” celetuknya.
Menemukan pemikiran-pemikiran baru
Lulusan S3 UI 2010 ini kemudian mampu melihat banyak persoalan, pemikirannya pun turut mewarnai diskusi akademis di lingkup UPNV Yk. Ia pun memiliki temuan tentang Teori Fantasi. Banyak yang menanyakan tentang hasil pemikirannya tersebut. Basuki pun menjelaskan.
“Tentang teori fantasi, yang tadinya fantasi itu apa?. Di bidang komunikasi itu ada persoalan komunikasi tentang fantasi. Jadi visi dan misi itu persolan komunikasi dan itu fantasi harus disampaikan. Tapi sabagai teori ada, visi misi perusahaan itu fantasi. Orang hadir dalam MLM, fantasi yang dibangun. Bahkan teorinya ada. Nah itu belum ada cerita begitu di sini. Postrut. Tentang fakta kebenaran itu sudah tidak penting, bagaimana buat orang percaya, semua itu bulshit karena semua bisa dibuat bagaimana orang bisa percaya,” terangnya.
Basuki melanjutkan, ia juga menjelaskan tentang era disruption yang merupakan cerita lama. Pemikiran-pemikiran tersebut bermunculan ketika Basuki banyak membaca buku-buku yang diperoleh dari para dosen di UI. Setelah selesai ia baca-baca pun ia tak pelit berbagi ilmu dengan teman-teman sesama dosen. Banyaknya koleksi buku di rumahnya, ia pun turut menyupply buku untuk rekan dosennya.
Menurutnya, yang membuatnya akhirnya menyenangi profesinya sebagai dosen adalah ia dapat selalu menuangkan ide gagasannya. Terlebih ketika berada di kelas, ia bisa bicara apa saja, bercerita tentang ilmu komunikasi kepada mahasiswanya. Bahkan Basuki kerap mengajak berdiskusi dengan para mahasiswa membahas tentang komunikator selama berjam-jam.
Dengan mengajak mahasiswa berdiskusi, Basuki mencegah mahasiswa mengantuk dan bosan selama mengikuti kelas. “Jadi imaginasinya dimainkan, jadi ga pada tidur. Saya ngajar ga jarang pakai slide, lebih suka spidol, bikin alur bareng. Misalnya, saya tanya mana yang lebih penting dihargai intelektuality atau karakter?. Karena dalam komunkator itu ada intelektuality, karakter, dan goodwill. Itu saja kita diskusi panjang sama mahasiswa,” paparnya.
Basuki melanjutkan, ada orang bodoh tapi jujur, ada yang cerdas tapi dusta. Idealnya cerdas dan jujur, tapi ada orang bodoh tapi jujur, orang cerdas tapi pendusta. Tapi kalau orang cerdas salah bukannya dia tidak tahu tapi karena karakter. Pilih mana? Salah itu karena intelektual atau karakter? Lebih mudah mengubah orang bodoh jadi cerdas, dari pada mengubah orang cerdas tapi tidak jujur.
Tantangan
Menurut ayah dua anak ini tentang tantangan dosen saat ini yang menjadi substansi itu membuat persoalan keilmuan yang sulit itu menjadi mudah dipahami mahasiswa. Artinya menjadi dosen itu, bisa membawa mahasiswa itu menjadi lebih sadar, menyadari keberadaan dirinya, mengerti tujuan hidup, tidak kaitannya hanya dengan ilmu.
“Yang dibangun imajinasinya. Jangan hanya setelah lulus nanti itu akan menjadi entrepreneur kaya, punya perusahaan. Saya enggak gitu. Buat apa,” tegasnya.
Basuki mengajari mahasiswanya tentang menyadari persoalan, memahami masalah hidup. Ada koridor-koridornya. Kalau persoalan kaya miskin semuanya itu ujian. Basuki menjelaskan, cara ia mengajar tidak ingin membangun mimpi mahasiswa dengan tujuan materi, kaya dan hebat. Tidak, baginya masalah materi adalah urusan mahasiswa sendiri.
Tugasnya sebagai dosen adalah menunjukkan dan memastikan diri mahasiswa berada di “shiratal mustakim” di jalan yang lurus, ilmu yang harus bermanfaat, pengetahuan tersebut yang terus diberikan agar menjadi pencerahan, keterampilan yang memberikan manfaat. Tidak perlu muluk-muluk.
Menjadi dosen yang baik, bagi Basuki adalah bisa menjadi suri tauladan yang baik. Ia mengakui dirinya belum bisa menjadi dosen yang baik. Karena datang juga masih telat. Karena harus menempuh perjalanan yang jauh. Tapi hal itu ia terima dan mengikhlaskan keadaan.
Prestasi tertinggi dalam hidup
Ketika ditanya tentang prestasi tertinggi dalam hidupnya, Basuki pun berujar, ketika kelak dirinya diwafatkan dalam keadaan husnul khatimah.
“Mau ngapain? Mobil 8 kolam renang 7, punya uang milyaran rupiah, mati ngga husnul khotimah mau ngapain. Klo sukses menjadi orang yang bermanfaat, kalau saat ini masih berusaha. Berusaha bermanfaat sebanyak-banyaknya. Terkadang saya merasa tidak bermanfaat sama istri saya, semisal nyebelin. Jadi ya selalu berusaha benar-benar bermanfaat,” tuturnya.
Banyak Karya Buku
Basuki mengaku memiliki hobi menulis sejak SMP dan menghasilkan satu novel yang ia tulis di buku tulis menggunakan ballpoint. Novel tersebut pun digemari teman-temannya, sampai akhirnya buku itu hilang.
Karya-karya ilmiahnya dapat dicari dari berbagai buku, jurnal, dan publikasi. Hobi membaca dan menulis membuat Basuki menghasilkan karya-karya luar biasa, diantaranya; terlibat dalam penyusunan buku untuk mengenang jasa Prof. M. Alwi Dahlan, PhD. Tersusun dalam sebuah buku. Manusia Komunikasi, Komunikasi Manusia – Penerbit Kompas, 2008.
Basuki juga sebagai penyusun naskah Cerita Pendek: Penyombong Kelas Satu – Dian Rakyat 2008, Penulis Buku: Disinformasi Berita Politik – Penerbit Bigraf Publishing 2010. Melakukan pengeditan terhadap buku biografi Ki Tony Agus Ardie: Melampaui Panggilan Tugas – Yayasan Hatta 2010, sebagai penulis buku: Reformasi dan Jatuhnya Soeharto – Penerbit Kompas 2012, penulis buku biografi Pujono Memecah Batas Kemiskinan – Total Media 2012. Penulis Monograf: Gerakan Keagamaan, Negara, dan Media Komunikasi – Bigraf Publishing 2011, dan sebagai penulis Budiono Rahmadi Entrepreneur Muda Sang Penggagas yang iterbitkan Lingkar Media 2013.
Setiap Hari PP Jogja – Sragen
Selama menjadi dosen di UPNV Yk, Basuki menempuh perjalanan pulang pergi Sragen – Yogyakarta yang ia tempuh dengan menggunakan transportasi bus umum. Tak terasa sudah berpuluh-puluh tahun ia lakoni.
“Kalau di bus waktu buat tidur. Berangkat 7.20 wib sampai sini 10.30 wib. Hampir 3 jam naik bus. Perjalanan hidup saya ritmenya ya dari sini jalan ke Janti sambil nunggu ngobrol dulu sama pedagang akngkringan, beli teh anget. Dari Janti naik bus ke Giwangan nanti dari Giwangan naik bus Surabaya. Sampai solo berhenti masih ngantuk, mampir dulu di Hik, ngobrol, itu titipan motor saya ngga usah motorku mas, saya datang itu sudah kulo pendetke pak,” ceritanya.
Ketika jenuh atau capek, seperti saat berbincang Basuki tengah batuk dan menganggap itu hal yang biasa. Ia memaknai sakitnya dengan penuh rasa syukur, karena ketika diberi sakit berarti dosa-dosanya tengah digugurkan. Ia begitu menikmati hidupnya penuh dengan rasa nyaman. Menyinkronkan antara sisi kanan dan kiri, kalau perjalanan Jogja-Sragen tidak berdamai dengan hati yang senang, maka cepat selesai.
“Kenapa itu bisa bertahan karena pikiran hati itu sinkron. Jalan dinikmati, bertemu di sepanjang jalan siapa saja ya disapa, tukang tambal ban disapa, kan katanya jadikan lelahmu jd lillah. Itu kan cocok, jadi enteng kabeh,” tukas bapak yang juga hobi memasak ini.
Proyek penelitian yang sdg dikerjakan:
Saat ini Basuki tengah melakukan penelitian di Sangiran bersama rekan dosennya. Menurutnya, budaya komunikasi masyarakat Sangiran perlu upaya melestarikan situs arkeologi di Sangiran. Dana dari internal LPPM kampus. Ia juga memberikan saran kepada rekan dosennya, bahwa pusat budaya sangiran itu bagus, dan dibuat penelitiannya. Basuki hanya mengedit proposal dan lolos. Pihaknya mengajukan dana Rp 25 juta tetapi diberikan Rp 30 juta.
Rencanya, hasil penelitian tersebut dipresentasikan di Hongkong akhir September 2019. Karena sudah di submit dan diterima.
20 tahun lebih menjadi dosen, banyak pengalaman mengajar yang Basuki peroleh. Pengalaman mengajar yang pernah dijalaninya antara lain, di Universitas Mercu Buana Jakarta, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Sekolah Tinggi Multi Media Training Center Yogyakarta, Universitas Respati Yogyakarta, dan mengajar pada Program Pascasarjana Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia. Selebihnya, selama beberapa periode pernah diminta untuk menjadi panelis penguji skripsi di London School Public Relations Jakarta.
Aktivis ilmiahnya mengikuti seminar dalam dan luar negeri, menjadi pembicara dan melakukan penelitian terhadap kebijakan-kebijakan strategis yang terkait dengan isu disinformasi, radikalisasi agama, gerakan politik mahasiswa; revolusi konflik, media sosial dan komunikasi publik. (duniadosen.com/ta)