fbpx

Terbitkan buku lebih cepat HANYA 1 BULAN? Dapatkan fasilitas VIP ini secara GRATIS! Klik di sini

Basuki Agus Suparno: Bukan Rangking, yang Penting Kontribusi untuk Negara

basuki agus suparno
Dr. Basuki Agus Suparno, M.Si., dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UPN Veteran Yogyakarta saat ditemui di ruang kerjanya, di kampus UPNV Yogyakarta, Babarsari. (dok. duniadosen.com/ta)

Yogyakarta – Masih hangatnya pihak akademisi membahas tentang rencana pemerintah hadirkan dosen asing. Beragam pro dan kontra dari para akademisi pun menyuara. Mereka pun memiliki alasan tersendiri tentang yang pro maupun kontra terhadap kehadiran dosen dan rektor asing. Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UPN Veteran Yogyakarta, Dr. Basuki Agus Suparno, M.Si., pun mengungkapkan pendapatnya.

Basuki mengatakan, dosen asing yang datang ke Indonesia sah-sah saja, asal telah memiliki izin dan memiliki keahlian yang diperlukan. Tapi menurutnya, untuk menghadapi orang Indonesia apalagi mengajar itu bukan suatu hal yang mudah.

“Misal pun rektor asing memimpin UPN juga akan pusing sendiri. Mayoritas kita orang Jawa, budaya saja berbeda, tidak pernah berhasil,” katanya saat ditemui duniadosen.com di ruang kerjanya, Gedung UPNV Yogyakarta, Babarsari.

Ristekdikti Ingin Rangking Perguruan Tinggi Indonesia Meningkat

Rencana Kemenristekdikti dalam mendatangkan dosen dan rektor asing ke Indonesia salah satu tujuannya adalah menaikkan rangking Perguruan Tinggi di Indonesia di mata dunia. Menanggapi pernyataan tersebut, Basuki mengaku kurang sepakat.

Dosen Komunikasi yang sempat mengajar S2 dan S3 Komunikasi UI tersebut mengatakan, ilmu itu azasnya adalah manfaat bukan untuk memperoleh rangking. Dosen melakukan penelitian, kemudian hasil penelitiannya dijadikan tulisan dan dimasukkan di jurnal internasional.

Basuki menceritakan, misalnya melakukan penelitian di Sangiran, warga Sangiran tidak tahu atau bahkan tidak mengerti hasil penelitian yang dilakukan oleh para peneliti atau dosen itu untuk apa. Mestinya, penelitian yang berbasis pada masyarakat itu hasil penelitiannya disampaikan kepada masyarakat. Supaya masyarakat berbenah, melakukan perbaikan, kemudian mengembangkan hal-hal yang mereka miliki. Itu jauh lebih bermanfaat.

Dampaknya, Penelitian Hanya untuk Jurnal

Basuki melanjutkan, kalau tujuan penelitian hanya untuk sampai di jurnal kemudian bisa menaikkan rangking itu tidak tepat. Menghilangkan esensi dari penelitian itu sendiri.

Karena untuk bisa di jurnal internasional itu membayar Rp 2juta sampai Rp 5juta. Satu tulisan saja bisa Rp2juta-Rp3juta. Kemudian yang menulis mendapat insentif yang nilainya fantastis, bahkan ada yang sampai Rp50jt kalau Q1. “Uang sebanyak itu ya bisa beli tanah,” celetuknya.

“Kalau tujuannya mendatangkan dosen atau rektor asing hanya untuk menaikkan rangking perguruan tinggi di peringkat dunia, saya kurang sepakat. Bagi saya, ilmu itu azasnya manfaat bukan dapat rangking,” tegasnya.

Kalau diarahkan ke sana (penelitian untuk masuk jurnal saja, red.), akhirnya dosen berpikir penelitian itu bukan berbasis pada kebermanfaatan lagi. Mereka akan selalu disibukkan tentang bagaimana cara tulisannya bisa masuk ke jurnal. Karena saat tulisannya masuk di jurnal mendapat insentif yang nominalnya sangat menggiurkan.

Namun, di sisi lain jurnal tersebut juga sebagai penunjang maupun syarat dosen untuk mengajukan kenaikan jabatan. Misalnya untuk professor. Menurutnya, hal tersebut bukan menjadi pertimbangan atau satu-satunya syarat. Penilaian professor juga bisa dilihat berdasarkan ide, pemikirannya, karakternya, intelektualnya yang sinkron terhadap perilaku dan akhlaknya.

“Jadi kalau saya ditanya teman, Pak Bas nggak jadi professor? Ya diikuti saja jalannya. Tapi bukan sesuatu yang wah dan harus,” jawabnya.

Basuki menceritakan, ia banyak bertemu dengan professor banyak pula yang benar-benar mumpumi, tapi banyak pula professor yang tidak jelas. Dan ketika dirinya diminta untuk menjadi Guru Besar, Basuki hanya minta didoakan yang terbaik untuknya. Menjadi professor bukanlah cita-cita atau tujuannya, sehingga bukan suatu keharusan dalam hidupnya.

Basuki hanya menjalani profesi sebagai dosen dengan sebaik-baiknya. Ia pun ingat apa yang dikatakan seorang teman kepadanya, “siapa yang berjalan maka dia akan sampai”. Yang bermakna, ketika memang mengusahakan akan sampai pada saatnya.

Kehadiran Dosen Asing Tak Jadi Momok

Bagi Basuki, kehadiran dosen asing tidaklah menjadi momok dalam dirinya. Ia justru yakin, dosen asing tidak betah dan akan kembali ke negara asalnya.

Menurutnya, cara berpikir orang Indonesia sangat kompleks dan cerdas. Hanya saja ada faktor-faktor yang membuatnya tidak maju, hal itu tidak hanya berfaktor pada masalah personal untuk memajukan sebuah perguruan tinggi, tetapi juga sistem yang mengaturnya.

“Nah sistem yang bikin susah siapa? Ya kadang-kadang lembaganya sendiri. karena kementerian pendidikan kan ada kaitannya sendiri. Misalnya, Kemenristekdikti, Kementerian Keuangan, ada BKN yang saling terkait. Nah, aturan satu dan lainnya tidak membuat perguruan tiggi mempunyai fleksibilitas yang tinggi dalam merumuskan keilmuannya,” terangnya.

Ia melanjutkan, apalagi sekarang orientasinya bukan lagi pada persoalan ilmu untuk kemaslahatan, tapi ilmu untuk pencitraan. Basuki memaparkan, ilmu untuk kemaslahatan bahkan “Science is not for science” ilmu itu bukan untuk ilmu itu sendiri, tetapi untuk kemanfaatan masyarakat, baik dalam bidang teknologi, sosial, dan budaya, dan sebagainya.

Basuki menyimpulkan, cara berpikir dosen di Indonesia sebenarnya sangat kompleks. Terkadang muncul persoalan adalah soal bahasa, baik Bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya. Para dosen di Indonesia memang dianggap kurang dalam hal tersebut, sehingga saat presentasi di kalangan internasonal tidak terungkap dengan baik ide dan gagasannya.

“Ngomongnya gimana ya? Bingung. Padahal gagasannya luar biasa, lebih lengkap dari apa yang disampaikan dibanding orang-orang luar. Akhirnya kita nggak percaya diri,” katanya.

Kini, uang banyak sekali digunakan untuk mengejar tulisan, membayar tulisan. Berapa juta harus digelontorkan hanya untuk sebuah tulisan agar masuk pada jurnal internasional. Meski memang itu bukan uang yang berasal dari dosen, hal tersebut didanai pihak kampus yang nantinya akan diganti oleh pemerintah.

“Gak usah ngejar rangking lah kalau saya. Kejarlah azas kemanfaatan bagi bangsamu sendiri. Misal, UI di peringkat 200 dunia, rangking tersebut apa artinya? Terus ditanya apa kontribusinya untuk bangsa dan negara? Kalau saya nggak khawatir dan  biasa saja kalau dosen asing mengajar di sini,” imbuhnya. (duniadosen.com/ta)