Puluhan tahun sudah berlalu, hamparan gunung kaya akan emas sekarang menjadi sebuah cekungan yang tak berpuncak. Ratusan hektar tanah papua yang disewa oleh asing telah beralih fungsi menjadi ladang eksplorasi tambang emas, yaitu Freeport. Siapa saja yang datang ke Timika dari arah barat dan utara di malam hari akan disambut gemerlap lampu perusahaan tambang emas Freeport. Ratusan ton hasil tambang diproduksi setiap harinya oleh perusahaan asing dari Amerika.
Ketika menyimak tanggapan-tanggapan petinggi negara, baik di pusat maupun di daerah, eksploitasi tambang emas Freeport tentu akan membawa kesejahteraan warga di sekitarnya. Besar harapan bagi mereka bisa mendapatkan langsung untung mega proyek tambang emas ini. Menikmati berkah tambang emas dan tambang-tambang lainnya di seantero tanah air tentu saja menjadi harapan warga negara Indonesia. Konstitusi telah mengamanatkan bahwa semua kekayaan alam dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Terlebih bagi mereka yang tinggal di sekitar tambang.
Tentu menjadi harapan warga sekitar tambang untuk dilibatkan secara langsung dalam industri tambang. Menjadi tenaga kerja di sektor tambang untuk menggantikan tanah yang lahannya sudah dibeli untuk keperluan eksploitasi. Namun bukankah pertambangan adalah industri padat modal, bukan padat karya yang bisa menyerap tenaga kerja dari semua latar belakang pendidikan? Padahal angka partisipasi pendidikan warga Timika di level menengah masih sangat rendah (50.25 persen pada tahun 2009). Permasalahannya adalah tingkat kesejahteraan ekonomi yang belum mampu mengakses pendidikan menengah, khususnya SMA sederajat.
Berefleksi dari realitas itu, mungkin terbesit di benak kita bahwa keuntungan bagi hasil industri tambang antara perusahaan asing, pemerintah pusat, dan pemerintah daerah akan turut mengangkat jaminan pendidikan dari negara. Namun, yang terjadi selama ini keuntungan industri tambang emas Freeport lebih banyak dibawa ke negara asal perusahaan. Bagaimana bagian untuk daerah? Sudah sedikit, dinikmati pula oleh segelintir elit ekonomi-politik lokal. Saya rasa sudah menjadi wacana umum bagaimana otonomi daerah menciptakan raja-raja kecil. Jadi, jangan membayangkan bahwa jutaan dolar AS hasil eksploitasi tambang emas Freeport banyak digunakan untuk program-program peningkatan pendidikan.
Harapan tentu muncul dalam benak warga setempat seperti yang kini masih duduk di bangku sekolah dasar dan menengah juga ingin sekali bisa bekerja di pertambangan. Sayangnya, harapan itu tidak diimbangi dengan fasilitas dan kualitas pendidikan yang memadai. Sudah begitu, budaya semangat belajar masih jauh dari perkotaan. Bukan salah mereka, tapi soal pemerataan di bangsa ini masih saja menjadi komoditas isu ketimpangan yang tak ada habisnya. Kondisi ini tentu tak akan terjadi ketika kesadaran pendidikan sudah tertanam sejak dini. Pendidikan yang tak sekadar belajar di sekolah, tapi kedewasaan menyikapi kondisi hidup di lingkungan yang sudah berubah.
Mengharapkan peran negara dalam kondisi ini sudah tidak terbayang lagi di benak saya. Kesadaran harus dimulai dari diri sendiri. Beruntung jika ada beberapa warga sekitar tambang yang mempunyai kedewasaan berpikir tidak mau diam merasakan kondisi ini. Sudah saatnya warga Timika di Papua bangun dari mimpi mereka dan merealisasikannya tanpa harus bergantung pada korporasi tersebut.
Salah satu celah yang bisa dilakukan adalah mengoptimalkan dana sosial khususnya dana zakat. Menyadari persoalan mendasar warga adalah pendidikan, tepat rasanya memanfaatkan lembaga filantropi zakat untuk membantu program-program pendidikan. Sebuah peluang yang luar biasa mengingat potensi zakat di Indonesia sangat besar dengan mayoritas masyarakat muslim di Indonesia. Dana ini pun sejalan dan tepat guna untuk mengadakan kampanye membaca dalam rangka memberantas buta huruf dan meningkatkan kualitas pendidikan.
Permasalahan mendasar pendidikan di bangsa ini adalah rendahnya minat baca. Minimnya fasilitas dan ketersediaan bahan bacaan menjadi faktor utamanya. Meskipun akses informasi yang bisa dinikmati lewat ponsel sudah bisa didapatkan oleh mayoritas generasi muda di desa, kesadaran literasi mereka masih rendah. Tanpa kesadaran literasi yang memadai, internet hanya akan menenggelamkan mereka ke dalam lautan informasi. Di sini, buku sebagai sumber bacaan utama tetap menjadi barang langka.
Menolak sudah tidak mungkin dilakukan. Kalaupun dilakukan, akan sia-sia belaka. Berharap bisa dipekerjakan juga butuh persiapan kualitas SDM. Membaca menjadi pilihan paling rasional untuk melawan gemerlap tambang. Bukan melawan secara frontal, tapi melalui investasi pendidikan. Dengan membaca diharapkan warga di sekitar tambang emas Freeport menjadi lebih cerdas, tidak hanya mau membaca buku di sekolah, tapi juga membaca kondisinya sendiri yang tidak lepas dari penjajahan. Dengan begitu, mental mereka tidak menjadi inlander lagi. Tapi menjadi Indonesia yang sadar membaca. Sehingga, berkah tambang emas tidak akan menjadi mimpi indah di siang bolong warga sekitar Timika, Papua. Tanpa kesadaran membaca, warga sekitar Timika hanya menjadi penonton gemerlap panggung tambang di samping rumahnya.
Posting Artikel ini di tulis oleh : Punto Jatmiko
Mengecek dan menyiapkan sumber pendanaan untuk kebutuhan biaya kuliah S3 tentu perlu dilakukan jauh-jauh hari…
Dosen yang mau melanjutkan studi pascasarjana tetapi sudah berkeluarga pasti akan diselimuti kebimbangan antara apakah…
Mengacu pada aturan terbaru, proses sampai persyaratan kenaikan jabatan Asisten Ahli ke Lektor mengalami beberapa…
Dosen di Indonesia tentunya perlu memahami prosedur dan ketentuan dalam perubahan status aktif dosen di…
Kejahatan phishing data tentunya perlu diwaspadai oleh siapa saja, termasuk juga kalangan akademisi. Terutama kalangan…
Sudahkah para dosen mengetahui bagaimana cara menambahkan buku ke Google Scholar? Hal ini tentu penting…