Sudah menjadi hal yang lumrah, ketika anak rewel, sementara ibunya ‘sok’ sibuk karena sedang asyik bersosialita, memberikan gadget kepada anak untuk menghentikan ‘rengekan’ sehingga tidak mengganggu keasyikan ibu dalam bermedsos. Gadget seolah menjadi baby sitter bagi anak.
Langkah super praktis tersebut tentu, hanya menguntungkan ibu sesaat, dan sangat merugikan anak, baik dari sisi intelegensi, emosi, bahasa, kemampuan sosialisasi, keterampilan gerak, dan aspek edukasi lainnya.
Laksana bertanam padi, rerumputan pasti tumbuh. Begitu juga setiap membuka gadget pada hal-hal yang positif, berbagai iklan, gambar pengganggu, dan konten yang tidak dikehendaki pun akan bermunculan dengan sendirinya. Ketika anak lebih tertarik pada rumputnya dari pada padinya tentu akan menjadi masalah.
Golden age anak yang seharusnya diisi dengan berbagai ragam pembelajaran bahasa, gerak, nilai-nilai, etika, sosialisasi dan aspek psikologi lainnya menjadi terlewatkan, karena anak sudah terlanjur lebih asyik dengan gadget.
Ketika anak sudah terpapar teknologi tersebut, ia akan terhambat perkembangan otak, fisik dan psikisnya. Ia menjadi malas bersosialisasi, malas bermain di alam bebas, malas berkomunikasi secara verbal, dan malas mempelajari hal lain yang bersifat keterampilan motorik.
Anak juga menjadi malas bergerak, kurang tidur, obesitas, agresif, dan cenderung menyerang orang lain. Radiasi cahaya dari gadget juga memicu kerusakan penglihatan jangka panjang, dan radiasi emisi yang dikeluarkan oleh gadget juga akan menyebabkan gangguan kesehatan fisik anak.
Kebebasan akses internet yang tanpa batas juga berpeluang mengakses jejaring yang berbahaya dan tidak pantas, atau terpapar situs web dewasa, atau ancaman pemangsa pedofil.
Akibatnya, ketika anak memasuki usia sekolah, tingkat kecerdasannya menjadi menurun. Psikologi anak sudah dikacaukan oleh berbagai konten yang bisa meningkatkan kecemasan, depresi, autisme, bipolar, sekaligus dapat menurunkan kemampuan atensi dan konsentrasi. Anak sulit fokus pada hal yang dipelajari karena memiliki attention span yang pendek, dan sulit mengingat dalam jangka panjang. Otak anak tidak terasah dengan berfikir kritis, inovatif, dan edukatif.
Anak lebih senang main gadget yang mempunyai konten menarik dibandingkan harus belajar berfikir logika, matematika, dan Bahasa. Ia menganggap belajar bukan sebagai hal yang asyik karena melelahkan, membosankan, dan memeras pikiran. Sementara dunia virtual lebih menawarkan berbagai permainan, gambar hidup (you tube), dan blok-blok fresh lainnya yang penuh dengan tata warna dan cahaya yang mayoritas tidak ada dalam dunia nyata.
Ketika anak sudah kecanduan, dia akan marah ketika gadget itu diambil meskipun oleh orang tua mereka yang mempunyai kewenangan atas itu. Ketika anak sudah berani marah kepada orang tua, mereka tidak lagi mau mengikuti arahan dan kehendak orang tua. Ketika dipanggil pun, anak hanya akan mengatakan iya, sebentar, tanggung, atau jawaban lain yang membuat telinga pemanggil merah.
Di saat WFH inilah, orang tua hendaknya sadar dengan mengarahkan aktivitas anak dari sedikit demi sedikit pada pembelajaran bahasa, gerak, sosialisasi, nilai-nilai, sopan santun, kasih sayang, religi, budi pekerti, pengendalian emosi, dan edukasi lainnya.
Setelah WFH berakhir, anak menjadi lebih rajin belajar, patuh terhadap orang tua, mempunyai kemampuan cognitive, affective, dan psycho motoric yang lebih tinggi dibandingkan saat kecanduan gawai.
Anak mempunyai banyak waktu untuk belajar materi sekolah, agama, dan nilai-nilai lainnya. Mereka mau menghormati orang lain, menyayangi sesama, melakukan berbagai aktivitas produktif, dan pandai bergaul.
Dampak negatif yan begitu serius seperti kebiasaan menyendiri, tertawa sendiri, marah sendiri, tidak mau diganggu, malas dalam berbagai hal akan berubah ke arah positif.
Gadget yang dimiliki tidak lagi bersandi rahasia, tetapi bisa dibuka oleh kedua orang tuanya. Anak hanya memegang gadget ketika tugas belajar dan ibadah benar-benar sudah tuntas. Lama waktu memegang gadget tidak lebih dari 30-60 menit. Bermain game dan membuka berbagai konten lainnya mau dibarengi oleh orang tua dan kakaknya.
Gadget hanya sebagai wahana pembuang suntuk belajar dan berkomunikasi edukatif dengan teman dan group sekolahnya. Gadget bukan lagi sebagai satu-satunya teman bermain dalam seluruh waktunya.
Kepedulian inilah yang perlu dibangun oleh orang tua, ketika mengingkan anaknya kembali menjadi anak yang cerdas, pandai dalam segala hal, mempunyai nilai-nilai luhur, kesopanan, budi pekerti, tata krama, dan religious yang tinggi.
Apakah orang tua rela dan tega, ketika anaknya menjadi anak yang angkuh, individulistik, egois, pemarah, tidak peduli dengan sesama, anti agama, nihil nilai-nilai, dan perilaku negatif lainnya? Jawabnya tentu tidak bukan.
Oleh karena itu, gantilah gadget yang selama ini menjadi baby sister dengan kegiatan eduktif, produktif, dan aspiratif bagi anak sebagai genarasi penerus yang dapat membanggakan kedua orang tua, bangsa, negara dan agama. Semoga.
Oleh: DR.(soc) DR.(eco) Basrowi, Mahasiswa PPs UIN Raden Intan Lampung
Dosen di Indonesia diketahui memiliki kewajiban untuk melakukan publikasi ilmiah, termasuk publikasi di jurnal nasional…
Pada saat memulai kegiatan perkuliahan, mahasiswa biasanya menerima dokumen bertajuk kontrak perkuliahan. Dokumen ini disusun…
Secara garis besar, kegiatan akademik dosen yang bersifat wajib ada tiga dan mengacu pada tri…
Mempertimbangkan penggunaan AI untuk membuat pertanyaan tentu menarik untuk dilakukan. Sebab, pada saat membuat pertanyaan…
Memahami apa saja isian data publikasi untuk kenaikan jabatan fungsional di SISTER tentu penting karena…
Sesuai dengan Kepmendikbud Nomor 500 Tahun 2024, salah satu indikator kinerja dosen adalah dosen menjadi…