Dosen program studi (prodi) Ilmu Komunikasi, Universitas Katolik Indonesia (Unika) Atma Jaya Jakarta, Andina Dwifatma, S.I.Kom., M.Si., sama sekali tak memiliki bayangan bagaimana mengajar mahasiswa di kelas saat masih belia. Profesi dosen tak pernah terlintas di benak Andin, sapaan karib Andina Dwifatma, sebagai pekerjaan yang ia tekuni di kemudian hari. Sejak kecil, Andin ingin menjadi wartawan. Dan bagaimana perjalanan karir Andin dari kuli tinta dan beralih profesi menjadi dosen muda? Simak wawancara duniadosen.com berikut.
Sejak kecil, Andin gemar membaca dan menulis. Berawal dari kesukaannya membaca komik Tintin, keinginan untuk menjadi wartawan makin membuncah. Untuk mengakomodasi keinginannya tersebut, pada 2004 Andin mengambil jurusan Ilmu Komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Jawa Tengah.
Semasa kuliah, dosen muda ini rutin menulis artikel di rubrik kajian budaya di harian Suara Merdeka setiap dua minggu sekali. Dia menulis ulasan terkait tayangan televisi, film, sinetron, dan acara realitas menggunakan teori-teori kajian media yang ia dapatkan di kelas perkuliahan. Kegiatan tersebut dia tekuni sampai lulus dari Undip Semarang pada tahun 2009.
Menjadi wartawan, bagi Andin adalah kegiatan yang menyenangkan karena dia bisa melihat kehidupan secara lebih luas. ”Saat itu, beberapa dosen yang dekat dengan saya sudah menyarankan agar saya mengajar saja. Tapi, saya nggak mau karena ya itu tadi, maunya jadi wartawan biar bisa lihat dunia,” ujar perempuan kelahiran 15 September 1986 di Jakarta tersebut.
Setelah lulus dari Undip Semarang, Andin kembali ke rumah orang tuanya di Jakarta. Sempat bekerja di sebuah agensi hubungan masyarakat multinasional selama dua bulan, Andin kemudian melamar posisi wartawan di Kompas Gramedia Majalah. ”Saat diterima, saya ditempatkan sebagai wartawan ekonomi bisnis untuk majalah Fortune Indonesia,” cerita dosen muda tersebut.
Andin bekerja di majalah Fortune Indonesia sejak tahun 2010. Pada 2012, sambil tetap bekerja, Andin memutuskan untuk melanjutkan pendidikan master di Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia (UI). Awalnya, Andin mengaku ragu untuk mendaftar S2 karena meski suka membaca, Andin tidak suka sekolah, apalagi harus berlama-lama di dalam kelas.
Andin mengakui keputusannya untuk melanjutkan pendidikan tinggi berkat dorongan dari suaminya. ”Suami saya, dengan setengah memaksa, meminta saya ambil kuliah S2 karena menurut dia saya punya kemampuan di bidang akademik,” ceritanya. Andin mengambil kelas pagi sedangkan siang sampai menjelang malam digunakan untuk bekerja.
Andin menganggap keputusannya untuk melanjutkan pendidikan S2 sebagai momentum untuk menaklukkan diri sendiri. ”Saya belajar untuk tidak alergi pada struktur, tidak malas mengikuti jadwal, tidak anti pada rutinitas. Pada akhirnya saya merasakan bahwa aturan dibuat bukan hanya untuk membatasi, tapi bisa juga memberdayakan. Saya bahkan jadi punya keinginan untuk sekolah sampai ke jenjang yang setinggi-tingginya,” akunya.
Karirnya sebagai dosen diawali oleh kejadian unik ketika masih bekerja sebagai wartawan. Tak disangka, profesi dosen yang saat ini dia ampu berawal dari tawaran seorang narasumber yang juga dosen di Unika Atma Jaya Jakarta saat Andin melaksanakan pekerjaannya sebagai wartawan.
”Suatu hari, saya harus mewawancarai salah satu narasumber, ekonom Unika Atma Jaya, Agustinus Prasetyantoko. Dari situ, Pak Pras tahu saya sedang kuliah S2. Beliau langsung bersemangat karena Prodi Ilmu Komunikasi ternyata sedang membutuhkan banyak dosen. Saya lalu melamar dan diterima,” cerita Andin. Tahun 2014, Andin memutuskan untuk mengundurkan diri dari Kompas Gramedia dan bergabung menjadi dosen di Unika Atma Jaya Jakarta sampai sekarang.
Bagi Andin, ada hal-hal yang hanya bisa dilakukan ketika dirinya menjadi dosen. ”Saya ingin jadi pakar di bidang tertentu, syukur-syukur kepakaran saya bisa menyumbangkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat. Maka dari itu, saya harus pintar dulu, sekolah setinggi-tingginya dan berupaya membagikan ilmu sebanyak-banyaknya. Hal seperti itu hanya bisa saya capai dengan menerjunkan diri di bidang akademik,” ujar perempuan yang bertempat tinggal di Tangerang Selatan tersebut.
Andin masih ingat perkataan seniornya ketika masih menjadi wartawan di majalah Fortune Indonesia. ”Dia mengatakan bahwa wartawan tahu sedikit tentang banyak hal, sedangkan akademisi tahu banyak tentang sedikit hal. Saya terus memikirkan ucapan itu dan menyadari yang ingin saya lakukan adalah memperdalam ilmu saya,” tegas Andin.
Saat ini, Andin berusia 32, terbilang usia yang cukup muda. Menurutnya, usia muda memiliki beberapa keuntungan, terutama kaitannya dengan interaksi kepada mahasiswa. ”Saya merasa lebih mudah mendekati mahasiswa. Saya tahu istilah-istilah gaul dan hal yang sedang nge-tren di kalangan mereka. Ini menjadi senjata saya dalam mengajar. Dengan menganggap saya menarik dan tidak kaku, mahasiswa jadi lebih rileks dan lebih mudah menerima pengetahuan baru,” katanya.
Pun, dosen muda juga memiliki kesempatan lebih luas untuk belajar banyak hal baru. ”Saya ‘diperbolehkan’ untuk terus merasa kurang. Maksudnya begini, dosen itu kan identik dengan kepandaian dan kebijaksanaan, dan ini biasanya dimiliki oleh orang-orang yang sudah matang. Nah, berhubung saya masih muda, saya masih mengejar kedua hal itu,” lanjut perempuan yang memeroleh gelar master pada 2014 tersebut.
Andin merasa lebih terpacu untuk belajar banyak hal ketika dirinya merasa ‘kurang’. Andin mengakui, empat tahun menjadi dosen tak membuatnya merasa cukup, tapi dia merasa semakin banyak yang belum dia ketahui. ”Saya merasakan paradoks: semakin banyak hal yang saya pelajari, semakin saya merasa pengetahuan saya sedikit sekali. Saya jadi makin terpacu untuk belajar terus. Perasaan seperti ini mungkin tidak saya dapatkan kalau saya jadi dosen ketika sudah tua,” ujarnya.
Bagi Andin, dosen muda harus meningkatkan kemampuan diri selaras dengan perkembangan keilmuan yang ada. Andin menyebut sangat mudah bagi dosen untuk cepat merasa puas karena dihormati dan dianggap orang yang pintar. Padahal, lanjut Andin, ketika dosen tidak meningkatkan diri melalui proses membaca dan menulis, tak akan ada kemajuan bagi dosen tersebut.
Menjadi dosen muda adalah tentang menjadi sosok progresif. ”Sekadar muda jika tidak progresif ya buat apa? Sebaliknya, banyak kok dosen-dosen senior yang sampai tua tetap progresif,” ujarnya.
Bagi Andin, dosen yang progresif adalah mereka yang banyak membaca, banyak menulis, dan selalu punya mental pembelajar. “Kalau rasa ingin tahu kita sudah habis, berarti karier kita akan stagnan,” imbuhnya.
Sebagai dosen, Andin selalu ingin meningkatkan kualitas keilmuannya. Kedepan, dia ingin melanjutkan pendidikan doktoral. ”Saya punya target untuk menjadi doktor sebelum umur 40 tahun,” ujar perempuan yang ingin mengambil program doktoral di Melbourne, Australia tersebut.
Tak hanya itu, Andin tak mau menjadi dosen yang biasa saja. Dia ingin membuat karya-karya yang bisa diterima oleh masyarakat secara luas. ”Saya kagum dengan sosok-sosok akademisi yang karyanya bisa dinikmati secara populer, bahkan memicu diskusi publik. Menurut saya, itulah setinggi-tingginya prestasi seorang akademisi. Karyanya tidak hanya dimuat di jurnal-jurnal ilmiah dan dibaca oleh sesama akademisi, tapi juga didiskusikan dan mencerahkan bagi kalangan di luar kampus,” ungkapnya.
Dalam proses pengajaran sehari-hari di kelas, Andin selalu mendapat pengalaman berkesan. Menurutnya, interaksi dengan mahasiswa adalah hal yang sangat menyenangkan. ”Bertemu mahasiswa itu selalu menyenangkan, apalagi kalau bisa membangkitkan rasa ingin tahu mereka,” ujar Andin.
Meski begitu, ada satu pengalaman berkesan yang tak bisa ia lupakan. ”Pengalaman paling berkesan mungkin pas pertama kali mengajar. Saking gugupnya saya hampir nggak bisa ngomong!,” lanjutnya seraya tertawa.
Menurut Andin, dari banyaknya tantangan yang dihadapi oleh dosen, ada dua hal yang menjadi fokusnya, yaitu peningkatan kemampuan berpikir kritis dan mendorong minat baca mahasiswa. ”Mahasiswa kadang segan mengemukakan pendapat karena takut salah. Karena itu, di kelas saya selalu bilang nggak ada opini yang jelek. Nggak ada pertanyaan yang konyol. Semuanya sahih, sejauh hasil pemikiran sendiri,” katanya tegas.
Andin menilai praktik hafalan yang diterapkan sejak jenjang pendidikan dasar membuat mahasiswa menjadi gagap ketika diminta menganalisis masalah. Bagi Andin, kenyataan tersebut adalah sebuah masalah besar karena mustahil mengharapkan solusi pemecahan masalah dari mahasiswa jika mereka tak mampu berpikir kritis.
Ihwal minat baca, Andin tak mau menyebut mahasiswa memiliki minat baca yang rendah. Hanya saja, mahasiswa perlu memperhatikan kebutuhan bacaan yang dia baca. ”Sebenarnya kalau kita dengar cerita kawan-kawan penggiat pustaka di pelosok Indonesia, minat baca rendah itu nggak benar. Anak-anak itu mau baca, tapi enggak ada sumbernya. Buku hanya sedikit,” ceritanya.
Dalam proses pengajaran di kelas, Andin mengaku cukup sulit mendorong mahasiswa untuk membaca buku teks, jurnal, dan laporan yang seharusnya menjadi santapan wajib. Meski begitu, Andin punya kiat khusus untuk mengatasi kesulitan tersebut.
”Solusinya, saya yang mengalah. Saya sering mengawali kelas dengan baca berita bareng di LINE Today. Atau mengajak mereka belajar dengan nonton video atau film. Kadang saya minta mereka menganalisis artikel-artikel populer yang relevan dengan topik. Pokoknya saya ikutin saja apa yang mereka suka. Pelan-pelan saya arahkan ke tema-tema yang menurut saya penting dan relevan,” jelas pendiri panajournal.com tersebut.
Tak hanya itu, memasuki era revolusi industri 4.0, dosen juga menghadapi proses digitalisasi yang mau tak mau kudu diterapkan dalam proses kegiatan akademik. Andin berusaha untuk selalu menyesuaikan materi ajar dengan perkembangan teknologi. Pun, Andin juga sebisa mungkin mengekspos mahasiswa kepada industri.
”Tapi, yang paling penting adalah mempersiapkan mereka dengan skill berpikir kritis atau critical thinking. Kalau mahasiswa punya sense tersebut, mereka tidak perlu hanya dididik jadi lulusan siap kerja, tapi siap dilatih kembali. Ini penting karena perkembangan industri itu pesat sekali,” ujar dosen yang juga seorang penulis novel tersebut.
Perempuan yang memiliki keinginan untuk menjadi pimpinan usaha lahan parkir tersebut tak hanya memiliki kegiatan di kampus dan dunia sastra, namun Andin juga harus meluangkan waktu untuk keluarga. Bagaimana kiatnya membagi waktu? Menurutnya, suami sangat suportif dalam urusan mengurus keluarga. Dia bersama suami berkolaborasi untuk melakukan berbagai kegiatan sebaik mungkin. ”Peran dalam keluarga dikerjakan bersama. Hal tersebut yang membuat saya bisa membagi waktu di sela kesibukan,” tutupnya. (duniadosen.com/az)
Mengecek dan menyiapkan sumber pendanaan untuk kebutuhan biaya kuliah S3 tentu perlu dilakukan jauh-jauh hari…
Dosen yang mau melanjutkan studi pascasarjana tetapi sudah berkeluarga pasti akan diselimuti kebimbangan antara apakah…
Mengacu pada aturan terbaru, proses sampai persyaratan kenaikan jabatan Asisten Ahli ke Lektor mengalami beberapa…
Dosen di Indonesia tentunya perlu memahami prosedur dan ketentuan dalam perubahan status aktif dosen di…
Kejahatan phishing data tentunya perlu diwaspadai oleh siapa saja, termasuk juga kalangan akademisi. Terutama kalangan…
Sudahkah para dosen mengetahui bagaimana cara menambahkan buku ke Google Scholar? Hal ini tentu penting…