Hal yang menakutkan bagi negara berkembang adalah terjadinya brain drain. Brain Drain (human capital flight) merupakan fenomena perginya kaum intelektual, periset, ilmuwan, atau peneliti dari negerinya sendiri ke negara-negara yang lebih maju.
Perginya aset intelektual disebabkan akibat minimnya peluang dan keterbatasan negara memberikan wadah, kesempatan dan peluang. Rata-rata pelaku brain drain adalah peneliti muda yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Mulai dari insinyur, akademisi, ahli teknologi informasi, ahli komputer hingga ahli astronomi.
Negara asal akan mendapatkan banyak kerugian adannya brain drain. Karena semua penemuan yang ditemukan oleh warga negara kita, dipatenkan di negara lain. Ironisnya, negara sendiri harus membayar royalti hasil dari publikasi yang ditemukan anaknya sendiri.
Upaya mencegah terjadinya hal tersebut, LIPI di tahun 2016 meningkatkan jiwa peneliti bagi peneliti muda Indonesia, dan menargetkan doktor dan profesor lebih banyak di tahun sebelumnya.
DPP KNPI bersama PB HMI dan PPI pada tahun 2009 membentuk Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional, di Den Haag. Harapannya, agar para anak sendiri terkover dan tetap memperoleh perlindungan dari dalam negeri, sekaligus memberikan kontribusi positif juga untuk pembangunan di Indonesia.
Secara tidak langsung memperbaiki kondisi negara asal, sekaligus memperkuat networking terhadap pengusaha lokal, yang ada di luar negeri. Adapun keuntungan lain, misalnya membantu mengetahui pangsa pasar di sana, unsur sosial kebudayaan, dan memberikan informasi tentang aspek legal pengembangan usaha di negara sana.
Dampak brain drain sangat dirasakan oleh negara-negara berkembang. Di India, brain drain terjadi 30 tahun lamannya. Banyak ilmuwan dan tenaga muda yang berkualitas pergi ke negara maju. Kejadian ini tepatnya terjadi di tahun 1960-an. Banyak lulusan dari Indian Institute of Technology (IITS) pergi ke Silicon Valley, Amerika Serikat, Inggris, dan Kanada.
Puncaknya, di tahun 90-an, Amerika menerima peneliti dan kaum intelektual dari India dua kali lipat. Dampaknya apa? Profesional India setidaknya telah menguasai kurang lebih 8.000 perusahaan di bidang teknologi komunikasi di Amerika. Amerika memperoleh keuntungan, berupa pemasukan mencapai US$ 4 Miliar. Sedangkan India yang merupakan negara asal mereka waktu itu kurang mendapatkan perhatian.
Hal ini juga dialami oleh negara-negara berkembang lainnya. Banyak yang ke luar negeri dengan banyak alasan. Salah satunya di Indonesia. Habibie misalnya, justru diasingkan ke Jerman karena di negeri sendiri kurang mendapatkan apresiasi dari pemerintah. Negara tidak bisa memfasilitasi.
Awalnya, keberadaan bran drain dilakukan bertujuan agar negara asal memperoleh lulusan yang berwawasan dan berintelektual tinggi. Negara asal rela mengeluarkan uang biaya puluhan juta untuk meluluskan satu profesor saja.
Harapan pemerintah usai lulus dari sana, pulang ke negeri asal, dan membantu pemerintah menyelesaikan problematika yang terjadi. Apa yang diharapkan? Ternyata jauh dari kenyataan. Banyak peneliti yang justru bertahan di sana dan tidak pulang ke negeri asal karena banyak faktor.
Hal ini juga dialami oleh Indonesia. Indonesia memang sudah merdeka sejak tahun 1945. Namun, secara pendidikan tidak sepenuhnya merdeka. Banyak kaum intelektual asal Indonesia yang nyaman tinggal di negara maju dan turut mengembangkan negara itu.
Baca juga: Aturan Publikasi Karya Ilmiah Menuai Kontroversi
Dalam hitungan tahun, India mampu mengubah brain drain yang merugikan menjadi menguntungkan. Salah satunya dengan menanamkan jiwa nasionalisme. Nasionalisme yang ditekankan India kunci keberhasilan India membangun perekonomian di negarannya, yang pernah terpuruk.
Di Indonesia, figur ilmuwan yang memiliki jiwa nasionalisme tinggi adalah B.J. Habibie. Meskipun pernah diasingkan ke Jerman, ia memutuskan pulang ke Indonesia, tidak menerima tawaran yang menggiurkan.
Beliau seorang intelektual yang peduli terhadap perekembangan Indonesia. Bahkan, Ia juga mewakafkan tanah di sana untuk tempat tinggal pelajar dari Indonesia. Tidak hanya itu, Habibie juga membangun sebuah rumah sakit di Indonesia yang terbuka kepada masyarakat yang tidak mampu membayar, dan akan tetap dilayani. Bayangkan, jika ada 100 orang seperti BJ Habibie, Indonesia akan lebih maju dibandingkan India. Mungkin.
Permasalahan brain drain yang meresahkan negara-negara berkembang dipengaruhi oleh faktor penarik-pendorong. Faktor tersebut bisa berupa kebijakan yang lemah dari negara asal, dan bisa juga disebabkan adannya motif personal. Sedangkan kebijakan dari negara tujuan biasannya lebih memiliki kebijakan dan sistem yang lebih kuat.
Kedua faktor penyebab brain drain sebenarnya sering kita temui. Namun sedikit orang yang menyadarinya. Berikut adalah tabel kedua faktor yang mempengaruhi terjadinya brain drain.
Apapun itu, semoga tahun ke tahun, Indonesia lebih baik dan tidak terjadi brain drain. Sekian, semoga ulasan ini bermanfaat.
Referensi :
Foto: Designed by Freepik
Pada saat menyusun karya tulis ilmiah, apapun jenisnya, dijamin karya ini diharapkan bebas dari kesalahan.…
Pada saat melakukan penelitian, maka biasanya akan menyusun proposal penelitian terlebih dahulu. Salah satu bagian…
Dosen yang sudah berstatus sebagai dosen tetap, maka memiliki homebase. Jika hendak pindah homebase dosen,…
Pada saat memilih jurnal untuk keperluan publikasi ilmiah, Anda perlu memperhatikan scope jurnal tersebut untuk…
Memahami cara melihat DOI jurnal pada riwayat publikasi ilmiah yang dilakukan tentu penting. Terutama bagi…
Dosen di Indonesia diketahui memiliki kewajiban untuk melakukan publikasi ilmiah, termasuk publikasi di jurnal nasional…