“Kalau Passion, apapun yang dilakukan tidak akan terasa lelah dan ide-ide itu muncul, memberikan yang terbaik, yang bermanfaat untuk orang banyak”. (Dr. Adhianty Nurjanah, S.Sos., M.Si.)
Dr. Adhianty Nurjanah, S.Sos., M.Si., atau yang biasa disapa Bu Anty ini adalah dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), banyak prestasi yang ia torehkan sebagai dosen baik di lingkup kampus maupun di luar kampus. Profesinya sebagai dosen, dimulai sejak lulus S1 Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.
Meski profesi awalnya adalah dosen, namun Anty juga sempat mencicipi sejumlah pekerjaan selain dosen sebelum kembali lagi menjadi dosen. Seperti apa kisah perjalanan dosen PR tersebut? Berikut kisahnya.
Anty terlahir sebagai putri ke 5 dari 5 bersaudara, sehingga sejak kecil Anty selalu ikut kedua orang tuanya yang berpindah-pindah tugas. Tak lain, karena sang ayah H. Soetarso berprofesi sebagai Kepala Kejaksaan. Sebagai anak perempuan terakhir, Anty terbiasa dimanja dan mendapat perhatian special dari kedua orang tuanya juga ke 4 kakaknya. Namun, ketika memasuki masa menjadi mahasiswa semua berubah seketika. Anty terpisah dari keluarganya, ia harus mulai hidup mandiri dengan mengekost dan berjuang menyelesaikan kuliahnya di UNS.
Masa-masa menjadi anak kost dan mahasiswa membuat kepribadian Anty berubah 180 derajat. Putri kecil yang beranjak dewasa itu tak lagi manja, semua kebutuhan dan keperluan hidupnya coba ia atasi sendiri. Yang awalnya makan Anty sering membeli, mencuci baju pun ia melaundry semua pakaiannya. Tapi melihat teman-temannya yang masak dan mencuci baju sendiri Anty merasa malu. Pekerjaan semudah itu harusnya bisa ia kerjakan sendiri toh akan menghemat pengeluaran.
“Dulu awalnya saya itu manja, karena ada pembantu terus sok gak mau nyuci. SD saya tinggal sama eyang di Jogja ada pembantu, begitu S1 saya kost di Solo itu saya merasa oh ya saya gak boleh manja nih. Saya inget banget gak bisa masak jadi beli terus abis itu nyuci di laundry tapi lama-lama malu, temen-teman yang lain pada nyuci saya ngelaundry mendingan uang laundry buat jajan,” ungkapnya sambil tertawa.
Lulus S1 dan Menjadi Dosen
Di UNS itu pula, Anty bertemu jodohnya yang sama-sama bergelut di bidang Ilmu Komunikasi dan sama-sama asli Yogyakarta yang merantau di Solo. Hanya saja Anty lebih fokus pada bidang Public Relation (PR), sedang sang suami yang merupakan kakak tingkatnya lebih konsern pada bidang jurnalistik. Semasa kuliah, Anty begitu tertarik akan profesi dosen dan sempat menjadi asisten dosen. Tak butuh waktu lama usai meraih gelar sarjana, beberapa bulan kemudian Anty menjadi dosen di Universitas Veteran Sukoharjo (Univet Bantara Sukoharjo).
Anty merupakan tipikal orang yang ketika berproses harus ada sesuatu yang dihasilkan. Dengan komitmennya itu, tak heran dia begitu bersemangat menjalani profesinya sebagai dosen muda saat itu. Ia menjadi dosen yang sangat aktif dan produktif dalam menjalankan Tridharma Perguruan Tinggi. Tak heran baru dua tahun menjadi dosen, pada 2004 Anty berhasil memperoleh pangkat sebagai Asisten Ahli. Padahal saat itu, masih banyak dosen senior yang berpuluh tahun mengabdi belum memperoleh pangkat tersebut. Hal itu tentu sebagai sebuah prestasi yang patut diapresiasi.
Banyak rekan dosen senior yang mengatakan padanya, menjadi dosen minimal bisa meraih jabatan Asisten Ahli, ketika belum ada kepangkatan maka akan dipertanyakan profesinya sebagai dosen. Karena di Asisten Ahli dosen dianggap telah melakukan tridharma yang berupa pengabdian dan pengajaran yang tak lain hasilnya berupa penelitian dan tulisan. Oleh sebab itulah, kecintaannya pada profesi dosen Anty berusaha keras memenuhi apa yang menjadi tugas dosen. Di tahun yang sama itu pula, Anty berhasil menembus dan memperoleh dana penelitian dari Ristekdikti.
Usai memperoleh Asisten Ahli, sebagai dosen Anty pun merasa untuk harus mengupgrade keilmuannya. Ia pun berencana untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S2 dengan biaya sendiri, tanpa meninggalkan kewajiban mengajarnya di Univet. Namun, keinginannya tersebut terbentur oleh kebijakan kampus yang tidak memperbolehkannya. Ia diminta satu tahun lagi mengabdi kemudian baru diperbolehkan melanjutkan pendidikan.
Hal itu tentu tidak menguntungkan bagi Anty. Karena pertimbangannya adalah Anty yang telah menjadi istri dan ibu dari satu anak yang saat itu masih kelas 1 SD, suaminya Anton Wahyu Prihartono yang saat itu menjabat sebagai Wakil Pemimpin Redaksi Harian Jogja pun mendukung penuh keinginan Anty untuk melanjutkan S2 di UNS.
“Suami saya bilang mumpung saya masih muda, si kecil masih kelas 1. Kalau kamu mau jadi dosen ya harus S2. Tapi waktu itu saya diminta untuk mengabdi selama 3 tahun dulu baru boleh sekolah padahal ya, saya kuliah itu tidak mengganggu jadwal mengajar karena sore hari Jumat dan Sabtu, terus waktu itu saya diminta untuk memilih mau sekolah atau mau di situ. Saya bilang ya sudah saya keluar saja,” sesalnya.
Memang Anty merasa dipersulit atas keinginannya itu, dia pun dianggap masih terlalu muda ketika turut memberikan masukan untuk perbaikan kampus. Anty pun bertemu dengan rektor dan memintanya bertahan satu tahun lagi. Anty tetap menolak dan mengundurkan diri, ia lebih memilih untuk melanjutkan S2 nya. Namun, ketika Anty telah mengundurkan diri tak sedikit rekan dosen yang lain merasa sedih. Mereka ingat ketika Anty turut berkontribusi dibangunnya Laboratorium Radio dan keterlibatan Anty dalam banyak hal ketika di kampus.
Usai lulus S2, Anty kembali dihubungi pihak Univet memintanya kembali mengajar dan menjadi bagian Univet, tetapi Anty menolak. Banyak faktor yang menjadi pertimbangan Anty untuk tidak kembali ke tempat kerjanya terdahulu, meski di sana ia berprofesi sebagai dosen. Profesi yang ia idam-idamkan. Namun, ia melihat bahwa di tempat itu tidak bisa membuatnya leluasa dalam mengembangkan diri. Anty meyakini itu bukan tempatnya.
Bekerja di LSM
Kemudian Anty memutuskan untuk kembali bekerja namun bukan di dunia dosen. Dia bekerja disebuah LSM yang juga memiliki sekolah bisnis di Solo. Di sana Anty diminta menjadi manager marketing sekaligus mengajar akademik. Kebetulan sekolah tersebut masih baru, sehingga Anty dan tim sekolah bekerja dengan effort yang lebih.
Anty yang memiliki pengalaman mengajar dan menjadi dosen, menggunakan kemampuannya membuat kurikulum, sebagai manager marketing dia juga menyusun target market. Di sana Anty banyak dilibatkan tenaga dan pikirannya, serta ada bagian pekerjaan yang membuatnya bisa sedkit lebih lama disana. Anty senang dan cocok dengan bidangnya.
Dua tahun bekerja, kembali Anty memikirkan cita-citanya untuk sebagai dosen di universitas. Sedang tempatnya bekerja saat itu merupakan sekolah bisnis yang merekrut lulusan SMK untuk memudahkan mereka mendapat pekerjaan. Dirasa cukup, Anty pun mengundurkan diri.
Selanjutnya, Anty masuk di NGO di Yayasan Insan Sejahtera, Solo. Selama dua tahun pula Anty bekerja sebagai pengajar yang masuk dalam divisi konsultasi dan penelitian. Kegiatannya ternyata tak berbeda jauh dari dosen, yang juga melakukan riset dan mengajar.
NGO pada LSM tersebut juga banyak melakukan kerjasama dengan NGO luar negeri, dan pada saat Anty bekerja disana tengah bekerja sama dengan UNESCO. Di situ pula Anty mengajar WVI yang intinya mengajar dengan memberikan penguatan-penguatan kapasitas building, dan Anty diminta menjadi fasilitatornya.
“Kemudian saya bikin modul, terus kemudian melalukan Monev, hampir sama dengan kegiatan dosen. Jadi saya happy aja karena sesuai dengan passion saya,” jelasnya.
Anty sangat menikmati pekerjaannya saat itu. Hanya saja, yang membuatnya kembali berpikir dan sedih adalah dia seorang ibu yang baru melahirkan putri ke duanya. Di usia 5 bulan, Anty harus meninggalkan bayinya jauh hingga ke Pekanbaru. Usai dari Pekanbaru, kemudian Anty diberi tanggung jawab memberikan fasilitator mengajar tentang peningkatan kompetensi Kepala Sekolah se-Kabupaten Kuantan Singingi, Riau selama dua bulan bersama UNESCO.
“Setelah 2 pekan pulang, di rumah dua hari terus kita berangkat lagi. Kantor di Solo, tapi tugasnya sering luar kota, ninggal baby. Biasanya kan seminggu, itu sampai 1 bulan, jadi dua minggu saya di sana, pulang lagi selama Sabtu Minggu di rumah, balik lagi, karena dulu kan program kita panjang, sampai akhirnya anak saya gak mau asi,” tuturnya.
Tentunya kejadian itu membuat perasaan seorang ibu teriris, sang suami pun memberikan masukan dan membuat Anty kembali memikirkan akan pekerjaannya dan tanggung jawabnya sebagai ibu dari dua putri. Sebelumnya juga Anty sempat dikirim ke Soe, Kupang, NTT dan sejumlah kota lain yang membuatnya kerap meninggalkan anak-anak dalam waktu lama.
Bisa dibayangkan betapa repot dan hetic-nya kegiatan sehari-hari seorang Anty, begitulah pengorbanannya membangun karirnya. Meski ada yang dikorbankan, yaitu waktu bersama anak-anak dan suaminya. Yah urusan domestic itulah yang membuat ibu dua anak ini akhirnya memutuskan resign dari pekerjaannya sebagai fasilitator.
Menjadi Dosen UMY
Pada 2010 seorang teman memberi tahu Anty bahwa UMY tengah membuka lowongan untuk dosen komunikasi, kemudian ia pun mengecek di website universitas dan salah satu media dan mengapply lamaran dengan posisi dosen komunikasi. Meski sudah resign, tetapi Anty harus menyelesaikan proyek sebelumnya, ketika dihubungi pihak UMY untuk datang psikotes Anty tidak menyanggupinya karena tengah berada di luar kota bersama UNESCO. Bekerja dengan pihak asing, membuat Anty tak bisa berkutik dia harus menyelesaikan pekerjaannya dengan baik.
Sebagai fasilitator pengajar, Anty diminta laporan dan progress setiap hari dari hasil kegiatannya. Sedang yang diajar Anty adalah para kepala sekolah yang sudah memasuki usia 50 tahun-an. Namun itulah tantangan Anty, tapi di sanalah ia belajar hidup bahwa harus bekerja keras, hidup mandiri jauh dari anak, suami dan keluarga, dan dituntut untuk tetap fighting. Sehingga ia pun menikmatinya.
“Saya ditelepon sama bagian BSDM UMY disuruh datang psikotes. Terus saya mohon maaf, Pak saya gak bisa saya ada di luar kota masih mengisi pelatihan, menjadi trainer terus akhirnya saya cerita. Oh yaudah bu gak apa-apa. Saya pikir oh ya sudah bukan rejeki saya kan, gak mungkin nungguin, kan pastinya banyak juga yang daftar di UMY kan, udah. Tapi dihubungin lagi berarti kan ini rejeki saya. Saya ikut tahapan test sesuai prosedural. Ya udah 2010 saya masuk di sini sebagai dosen,” terangnya.
UMY dengan perkembangannya yang luar biasa membuat Anty memberikan banyak warna dalam karirnya sebagai dosen. Meski harus ia lakoni dengan pulang pergi Solo-Jogja. Perjalanannya dimulai dari menjadi dosen biasa dan bertemu mahasiswa ia nikmati setiap prosesnya. Dua tahun mengabdi, Anty pun diberikan kesempatan untuk melanjutkan S3. Kembali Anty memilih UNS, karena ia bisa dekat dengan kedua putri dan suaminya. Tapi ternyata, setahun kemudian suaminya dipindah tugas di Yogyakarta dengan menjadi Pemimpin Redaksi (Pemred) Harian Jogja.
Meski sama-sama tempat bekerjanya di Yogyakarta, suami dan Anty tak pernah berangkat kerja bersama. Karena waktu bekerja yang berbeda itulah mereka hanya bisa bertemu di rumah Solo ketika larut malam. “Okelah gak apa-apa dia yang ngelaju. Dia naik kendaraan pribadi saya naik kereta. Kan beda soalnya, dia kan wartawan waktu kerjanya beda, dia berangkat siang, kita pagi. Pukul 12 malam dia baru pulang,” ujarnya.
S3 Cumlaude, Terbaik dan Tercepat
Sebelumnya, Anty sempat berkeinginan mendaftar S3 tidak di UNS, karena saat itu jurusan yang linier dengan keilmuannya hanya ada di UI Jakarta dan Unpad Bandung yang belum ada di UNS. Anty sempat memilih Unpad dan diizinkan suaminya. Meski telah mengantongi izin suami, tetapi ada sedikit keraguan Anty apakah pilihannya sudah tepat.
Benar saja, Tuhan kemudian memberikan jalannya. Anty merasa disadarkan ketika putri keduanya yang berusia 3,5 tahun sakit panas tinggi hingga kejang. Saat itu Anty berada di luar kota. Sehingga yang mengurus anaknya membawa ke rumah sakit adalah asisten rumah tangga, satpam perumahan dan tetangganya. Anty pun bergegas ke Solo.
Sang suami tak bisa berkutik dan pamit pulang, karena tengah bertugas dalam acara pernikahan salah satu putri Sultan Hamengkubowono Yogyakarta. Anty yang tengah bersiap meeting dengan kolega pun harus berlarian mencari jalan pulang, berharap segera sampai dan bertemu sang putri.
Anty mendatangi putrinya yang belum sadarkan diri, terpasang infus diri di ruangan. Melihat itu, Anty lemas. Ia merasa tertohok dan berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak egois. Dimana anak sedang sakit ibunya tak bisa membersamainya, dan di sampingnya. Itulah yang menyadarkan Anty dan mantap memilih UNS untuk S3-nya.
Pikirnya, untuk apa S3 meraih gelar doktor namun jika anak-anak dan urusan domestic tak terurus. Sampai ia pun ditanya rektor UMY kenapa akhirnya memutuskan Solo. Anty pun mengatakan bahwa ia tak hanya ingin bermanfaat untuk orang lain, tetapi keluarga baginya adalah hal yang utama. Apalagi seorang ibu adalah madrasah yang utama bagi buah hatinya.
Selain pimpinan, suami pun menyakan hal senada. Sang suami mengkhawatirkan istrinya bagaimana nanti ilmunya tak lagi linier. Namun Anty meyakinkan, dirinya mampu. Keilmuan harus linier itu adalah aturan dari pemerintah, ketika kemudian pemerintahan berganti akan berganti pula aturannya. Sehingga itu pula yang membuat Anty tak masalah. Nyatanya sekarang tidak ada linieritas, karena Anty yakin ilmu itu cair bisa berkaitan ilmu satu dengan ilmu yang lain. Apalagi seorang dosen tentunya harus bisa melihat dari berbagai aspek dan itu didukung dengan mempelajari berbagai hal.
Kuliah S3 di UNS dan bekerja di Yogyakarta, belum lagi ia juga masih harus memperhatikan anak-anak. Anty pun membagi waktunya dengan penuh disiplin. Ketika tiba jadwal mengajarnya, Anty harus bangun lebih awal. Sebab pukul 05.00 wib ia sudah harus naik kereta dari Solo menuju Jogja. Selama dia melaju menggunakan kereta perjalanan Solo-Jogja, Anty tak pernah terlambat masuk kerja, belum lagi ia masih aktif di sejumlah kegiatan pendidikan. Itu pula yang membuat rekan sejawatnya terinspirasi sosoknya. Sosok yang energik, semangat, murah senyum, berprestasi, inovatif, tetap tampil modis dan cantik, padahal dengan segudang aktifitasnya sehari-hari.
“Jadi saya masuk ke pascasarjana dan konsentrasi saya di CSR dengan pembangunan kalau di Komunikasi kan ada, jadi saya masuk ke konsentrasi CSR itu. Alhamdulillah S3 saya cumlaude, terbaik dan tercepat IP saya 3,99 saya bersyukur sekali,” ucapnya haru.
Prestasi
Bangun lebih awal pukul 5 pagi dan telah sampai stasiun dan bersiap melaju menuju kota Pelajar bertemu dengan ratusan bahkan ribuan mahasiswa dilakoni Anty selama hampir 10 tahun. Di saat yang lain masih bersiap, Anty lebih dulu berjalan bahkan berlari. Jerih payah menimba ilmu, mengamalkannya kembali dengan sebuah pengabdian, hal itu pun perlahan terbayarkan ketika prestasi mampu Anty torehkan.
Anty termasuk dosen yang cepat kenaikan jabatannya. Usai Asisten Ahli, kemudian lector. Dan masih banyak prestasi lainnya. Tahun 2018 dan 2019 Anty berhasil berturut-turut lolos hibah penelitian dan pengabdian dari Kemenristekdikti/BRIN. Selain itu, pasca kelulusan S3-nya Anty pun dipercaya menjadi asesor, reviewer akreditasi, hingga ditunjuk rektor langsung menjadi Kepala Divisi LP3M tingkat Universitas (UMY).
Sebelumnya, di jajaran prodi Anty menjadi GKM (Gugus Kendali Mutu) Fakultas. Kemudian dari sana ia diangkat menjadi Kadiv menggantikan Kadiv sebelumnya yang baru satu tahun menjabat. Dalam LP3M, Anty banyak sekali melihat yang seharusnya dikelola dan dikembangkan lebih optimal lagi, ia menyayangkan adanya dana yang besar tetapi tidak digunakan maksimal. Anty mulai membuat program dan membuat perubahan banyak hal dalam LP3M, yaitu dari membuat proses managerial menjadi mirip apa yang diterapkan di Dikti, membuat perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
Apa yang dilakukan Anty, akhirnya memberikan dampak luar biasa pada LP3M Universitas dimata nasional. LP3M UMY langsung melesat naik dua peringkat sekaligus setara dengan UGM dan di atas UI. Pencapaian tersebut, Anty menerima banyak pujian dan apresiasi terutama Rektor UMY yang memberinya acungan dua jempol. Membanggakan. Semenjak dipimpin Anty, LP3M banyak perubahan dan memiliki prestasi dengan Universitas ternama lainnya.
“Dan saya selalu bilang, kalau kita passion apa yang kita lakukan pasti gak akan ada capeknya. Dan ide-ide itu selalu muncul karena kita passion disitu. Kita bisa memberikan yang terbaik, saya selalu bilang saya gak mau ketika ada saya disitu terus gak ada apa-apanya, saya gak mau. Harus menghasilkan sesuatu. Makanya sampai kami masuk kategori klaster unggul, itu menurut saya sebuah pencapaianluar biasa, itu tim ya. Tapi mereka juga tahu itu kinerja saya. Jadi sekarang saya makin bayak terlibat disitu,” paparnya.
Cara Mengajar
Tak hanya pandai menyampaikan materi perkuliahan, tetapi Anty sebagai dosen juga kerap memberikan kisah motivasi dan inspirasi kepada mahasiswa. Ia bangun rasa percaya diri mahasiswanya untuk selalu optimistis menghadapi masa depan. Hal itu pula yang membuat para mahasiswa betah untuk mengikuti kelasnya.
Anty juga memberikan tips kepada mahasiswanya cara mengatasi rasa malas ketika mengerjakan tugas kuliah atau bahkan skripsi. Bahwa apa yang tengah dihadapinya adalah proses dari kehidupan, Anty pun meminta mahasiswa dapat menikmatinya karena semuanya dari Allah SWT. apapun yang diperoleh pasti datangnya dari Allah. Jadi anggaplah itu sebuah proses Tuhan yang harus hambanya lalui dan bernilai ibadah. Kesulitan-kesulitan itu anggap saja bernilai ibadah, kalau sudah berpasrah sama Tuhan pasti akan diberikan jalan.
Anty menegaskan tidak ada yang sulit, kesulitan itu datangnya dari diri sendiri. dan pastikan itu bukan kesulitan, melainkan adalah proses. Jadi nikmati saja tahapannya, jangan pernah berhenti, meskipun berjalan pelan, jangan berhenti.
“Mereka itu seneng kalau saya bilang begtu, mereka tambah semangat. Itu sampai dapat thropi kayak gitu (pengahragaan dosen favorit, pembimbing terbaik). Saya bilang saya tuh juga menasehati diri saya ya kan namanya orang up down, saya juga inget masa kuliah ada masa males banget di coret-coret disuruh kembali ke lapangan lagi. Balik lagi, kan capek ya. Bersyukur bisa kuliah, karena banyak orang di luar sana ingin kuliah tapi gak bisa. Bersyukurlah atas hidup kamu,” tutur Anty yang usai menunaikan ibadah haji tahun ini.
Suka Duka Jadi Dosen
Anty mengaku banyak suka ketika menjalani profesi sebagai dosen. Menjalani profesi dengan passion memang mampu mendorong memberikan yang terbaik dan memberikan dampak yang baik. Kedekatan Anty dengan mahasiswanya, membuat mahasiswa merasa terinspirasi dengan hal-hal baik yang Anty miliki dan tularkan. Sebagai dosen, tentunya Anty pun sangat bahagia dan bangga ketika mahasiswanya lebih sukses di luar sana dan kembali menghubunginya. Menceritakan kesuksesannya.
Namun, adapun kesulitan yang terkadang dialami dosen bagi Anty adalah dosen Indonesia dituntut untuk jurnalnya terindeks Scopus. Masuk scopus harus berbayar yang tidak murah. Padahal tidak semua orang bisa mengakses, ketika ingin mengakses pun harus berbayar. Anty merasa, ketika diharuskan Scopus memberatkan juga menyulitkan dan hasil inovasi peneliti dan dosen tidak bisa diketahui banyak orang.
Anty berharap menteri yang baru membawa harapan baru. Ketika kemarin harus menggunakan scopus, semoga di tahun mendatang tidak lagi. “Kita harus scopus kita harus linier ilmunya, sekarang kan mulai beda, regulasi ini juga berdampa sedang dosen harus melaksanakan tridharma. Dosen juga harus publikasi, tapi tidak harus scopus juga, pendidikan itu dikomersilkan, masuk scoupus itu bayar, padahal gak dibaca bayak orang, kalau berbayar orang tertentu saja yang membaca, karena akses terbatas, tapi apa-apa scopus. Seperti dewa, padahal sebenarnya ada jurnal nasional yang terakreditasi, dari tempat kita juga bisa dimanfaatkan, kebaruan bisa langsung dimanfaatkan. Gak lansung ke sana juga, meski saya juga sudah scopus, dan itu menguntungkan scopus,” bebernya.
Motivasi dan Inspirasi
Anty mengaku dirinya bukanlah seorang ustadzah, setiap nasehat yang keluar dari dirinya itu juga untuk dirinya sendiri, sebagai pengingat diri. Motivasi dalam hidupnya adalah ingin menjadi seorang yang bermanfaat dan semua yang dilakukan diniatkan sebagai ibadah.
“Semua kalau kita niatkan ibadah pasti akan lancar lho. Kalau mahasiswa pada ngeluh gitu, saya bilang niatkan ibadah pasti beda rasnya. Malam-malam lembur, sakit, dimarahin dosen anggap aja kamu sedang menjalankan ibadah. Dapat pahala. Gak dapat nilai capek tapi nilai ibadah,” terangnya.
Anty pun tak pernah tahu, suatu saat dia juga akan pergi dari tempat bekerjanya sekarang. Setidaknya ada sesuatu yang dia lakukan untuk universitas, yang diharap sebagai tabungan amalnya. Termotivasi menjadi seorang yang lebih baik, mendorong Anty selalu haus ilmu dan selalu ingin belajar lebih banyak.
Adapun sosok yang menginspirasi Anty adalah sosok ayahnya H. Soetarso. Anty kagum akan sosok ayah yang memiliki semangat luar biasa dalam menjalani kehidupannya. Sang ayah yang berprofesi sebagai kepala kejaksaan pun sempat mendapat penghargaan menjadi Kepala Terbaik. Ayahnyalah yang selalu memotivasi Anty ketika Anty mulai mengeluh tidak bisa.
“Jadi zaman, ketika saaya merasa gak mampu, bapak bilang kamu tuh bisa kamu tuh mampu. Saya selalu digituin. Kamu bisa Anty. Semua itu bisa dipelajari itu yang selalu saya inget, Bapak bilang gini, gak ada di dunia ini yang gak bisa dipelajari, ilmu itu kelihatan semua. Itu yang jadi semangat saya. Makanya bapak saya itu luar biasa. Terkadang saat down gt, dalam hati bilang masak sih gak bisa? Gak ada yang gak bisa. Saya ingat kata-kata bapak,” tegasnya.
Anty melanjutkan, apalagi zaman sekarang semua serba mudah dan praktis untuk bisa mengakses apa yang tidak tahu. Dengan kemajuan teknologi memudahkan orang yang tidak tahu menjadi banyak tahu. “Dulu kan saya gak bisa masak banget lho tapi sekarang bisa aja lho, buka aja google atau youtube. Meskipun semua orang harus bekerja keras untuk supaya bisa. Untuk bisa menjadi bisa,” imbuhnya.
Peran Sebagai Ibu
Meski disibukkan dengan segudang aktifitasnya sebagai dosen dan kegiatan lain di luar kampus, wanita kelahiran Aceh ini selalu menyempatkan waktu untuk kedua putrinya Shafira Alifa yang tahun ini baru saja masuk SMA 8 Yogyakarta dan Sania Arifa Erualia yang masih duduk dibangku sekolah dasar.
Belum lama ini Anty dan keluarga pindah rumah di Yogyakarta di Perum UMY Mentari Elok 2 Gamping Sleman, sehingga Anty tak perlu lagi bergelut dengan waktu menghabiskan waktu di perjalanan untuk menuju kampus. Ia pun bisa lebih sering membersamai anak-anak dan suami.
Tak jarang ketika weekend Anty dan kedua putrinya menghabiskan waktu nonton film dan makan bersama. Belum lagi ketika liburan panjang tiba, Anty dan suami serta kedua putrinya pastinya telah bersiap menyiapkan waktu liburan yang diisi dengan menjelajah berbagai kota dan wisatanya.
Meski dahulu kedua putri Anty kerap ditinggal bekerja oleh kedua orang tuanya hingga ke luar kota selama berhari-hari, namun hal itu justru membuat kedua putrinya tumbuh menjadi putri yang cerdas dan mandiri. Keduanya pun tak enggan mengerjakan pekerjaan rumah, meminta sang mama untuk tidak lagi menggunakan jasa asisten rumah tangga seharian penuh.
Karena hal-hal ringan bisa dikerjakan kedua putrinya sendiri. Belum lagi prestasi di sekolah kedua putrinya juga sangat membanggakan. Ibunda Anty pun mengacungi dua jempol akan hasil didikan Anty dan suami. Mereka bisa mendidik kedua buah hati dengan baik, menghasilkan pola asuh yang baik meski dalam kesibukan bekerja. Anty mengaku, hal itu juga tak terlepas dari doa-doa yang setiap hari Anty panjatkan baik ketika salat malam maupun beraktifitas. Ia selalu mendoakan suami dan kedua putri kesayangannya.
Kedua putrinya pun mengaku kelak ingin seperti sang mama. Yang berpendidikan tinggi, berprestasi, dan memiliki karir yang cemerlang, tetap cantik dan anggun. Memang Anty sebagai seorang orang tua tak kerap menyuruh anak-anaknya untuk berbuat sesuatu. Tetapi perannya sebagai ibu, ia hanya mencotohkan bagaimana bersikap, berperilaku, dan memiliki manner baik. Anty tanamkan kedua putrinya, bahwa perempuan tidak hanya cantik tapi harus cerdas, berkepribadian, dan ber-manner yang baik. Kalau tidak memiliki itu, kecantikan itu tidak akan ada artinya.
“Perempuan itu kodratnya gak bisa gak di rumah. Tapi kalau saya di rumah ya udah ga jadi yang kayak sekarang (dosen), saya sudah pakai daster, pegang kemoceng, masak, ngepel, itu biasa aja. Tapi saya emang gak mau kalo perempuan itu di domestik aja, karena kita mampu kok di publik, jadi kita bukannya menuntut kesamaan, bukan. Ya kalau menurut saya perempuan harus bermanfaat buat banyak orang artinya dia gak hanya bermanfaat di rumah saja, tapi untuk banyak orang. Otomatis ya kita harus di publik. Keluar tapi gak harus lupain rumah,” tutup Anty yang juga bercita-cita menjadi profesor ini. (duniadosen.com/ titisayuw)
Mengecek dan menyiapkan sumber pendanaan untuk kebutuhan biaya kuliah S3 tentu perlu dilakukan jauh-jauh hari…
Dosen yang mau melanjutkan studi pascasarjana tetapi sudah berkeluarga pasti akan diselimuti kebimbangan antara apakah…
Mengacu pada aturan terbaru, proses sampai persyaratan kenaikan jabatan Asisten Ahli ke Lektor mengalami beberapa…
Dosen di Indonesia tentunya perlu memahami prosedur dan ketentuan dalam perubahan status aktif dosen di…
Kejahatan phishing data tentunya perlu diwaspadai oleh siapa saja, termasuk juga kalangan akademisi. Terutama kalangan…
Sudahkah para dosen mengetahui bagaimana cara menambahkan buku ke Google Scholar? Hal ini tentu penting…