Sebesar 20% dari APBN dialokasikan negara ke sektor pendidikan. Hal ini bertujuan meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia sehingga mampu menghasilkan sumberdaya manusia yang berkualitas dan mampu bersaing secara nasional maupun internasional.
Dilihat dari sisi ketaatan terhadap pajak, sumberdaya manusia yang berkualitas diharapkan mampu memiliki kesadaran dan kepatuhan untuk membayar pajak. Sayangnya, realisasi pajak masih jauh dari target yang diharapkan.
Berdasarkan Nota Keuangan dan APBNP 2015 dan Nota Keuangan dan APBN 2016, hanya 0,3% atau sebanyak 1,5 juta orang yang membayar pajak dan 4,11% atau sebanyak 11,25 juta orang yang lapor pajak.
Sementara itu, hanya ada sebanyak 11,09% atau 27,63 juta orang menjadi wajib pajak di Indonesia. Kemudian hanya 1.061 dari 11.677,4 trilyun rupiah saja pajak yang terrealisasi terhitung dari keseluruhan GDP.
Dengan melihat data tersebut, dapat dikatakan bahwa realisasi pajak yang tidak mencapai target salah satunya disebabkan oleh rendahnya tingkat kesadaran dan kepatuhan masyarakat terhadap pajak.
Alokasi APBN untuk pendidikan pada dasarnya diharapkan mampu meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Dengan begitu, akan terbentuk masyarakat yang berbudaya, khususnya berbudaya dalam membayar pajak.
Jika masyarakat telah memiliki kesadaran membayar pajak, kesejahteraan rakyat dan kemandirian bangsa akan tercapai. Hal ini nantinya menjadi dasar bagi efektivitas pelaksanaan Self Assessment System (SAS), yang dapat diartikan sbeagai sistem kepercayaan kepada wajib pajak untuk memenuhi kewajiban pajaknya secara mandiri.
Sistem itu mengajarkan bahwa wajib pajak nantinya akan mendaftar, menghitung, membayar, dan melaporkan pajaknya sendiri. Efektivitas sistem tersebut dapat tercapai apabila pengetahuan dan kesadaran yang cukup baik telah dimiliki masyarakat dalam melaksanakan kewajiban pajaknya.
Untuk meningkatkan efektivitas SAS, perlu adanya peningkatan kesadaran masyarakat, terutama di kalangan pendidikan, mengingat sektor ini memperoleh bagian yang cukup besar dari pajak.
Upaya peningkatan kesadaran akan pajak kemudian dilakukan sejak dini, mulai dari pendidikan dasar dan menengah hingga pendidikan tinggi. Dalam praktiknya, perlu adanya edukasi terstruktur agar masyarakat yang taat dan sadar pajak dapat terbentuk.
Berdasarkan MoU Kementerian Keuangan dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yakni MoU-21/MK.03/2014, 13/X/NK/2014 tanggal 17 Oktober 2014 telah disepakati kerjasama untuk meningkatkan kesadaran pajak melalui pendidikan dan meningkatkan kualitas pengajaran perpajakan dalam kurikulum pendidikan.
Ruang lingkup kesepakatan tersebut adalah peningkatan kesadaran pajak melalui pendidikan formal dan nonformal, tenaga pendidik, serta penelitian dan pengembangan. Tenaga pendidik sebagai bagian dari ruang lingkup akan diedukasi dalam rangka meningkatkan kualitas penyampaian materi perpajakan.
Terfokus pada lingkungan pendidikan tinggi, Direktorat Jenderal Pajak selanjutnya juga bekerja sama dengan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) menginisiasi kegiatan Inklusi Dikti. Terdapat berbagai kegiatan Inklusi Dikti sebagai aplikasi pelaksanaan peningkatan kesadaran pajak di lingkungan perguruan tinggi.
Sejak Februari lalu, tetal dilaksanakan penandatanganan MoU, Kick Off dan Workshop Inklusi, Penyiapan Materi Inklusi, dan Workshop e-learning. Bulan ini (Maret) kegiatan yang dilaksanakan meliputi Regulasi Dikti dan Sosialisasi Kopertis.
Hal ini sudah dapat dilihat dari berbagai berita di website Kopertis atau perguruan tinggi bahwa sosialisasi telah dilaksanakan melalui serangkaian acara workshop. Publikasi pun turut dilakukan sejak bulani ini hingga 3 bulan ke depan.
Baca juga: Ini Pentingnya KKNI di Era Pasar Bebas
Selanjutnya, pada Juli 2016 akan diadakan lomba dan monev. Kegiatan Inklusi Dikti ini akan ditutup dengan pemberian penghargaan pada Desember nanti.
Di samping menyelenggarakan kegiatan Inklusi Dikti, kementerian dan Ditjen Pajak juga menghimbau agar materi perpajakan dimasukkan dalam kurikulum peguruan tinggi. Hal ini didukung pula oleh program Inklusi perbukuan, yang menyiapkan referensi dan bahan ajar untuk membantu jalannya pembelajaran mengenai pajak dalam perkuliahan.
Sementara ini, Kemenristek Dikti dan Ditjen Pajak telah menyusun draft Materi Terbuka Kesadaran Pajak dalam Pendidikan Tinggi, yang nantinya bisa digunakan sebagai bahan pembelajaran pajak dalam perkuliahan.
Setelah materi yang ditulis Tim Edukasi Perpajakan tersebut selesai, dosen selaku tenaga pendidik bisa menyisipkannya saat proses belajar-mengajar berlangsung. Materi mengenai kesadaran perpajakan bisa disisipkan ke dalam beberapa mata kuliah, seperti Pendidikan Pancasila, Kewarganegaraan, Agama, dan Bahasa Indonesia.
Dalam beberapa mata kuliah tersebut, dosen sebagai tenaga pendidik bisa memberikan pemahaman mengenai pentingnya pajak, di samping mengajarkan ilmu sosial, budaya, dan kewirausahaan. Dari pembelajaran seperti di atas, mahasiswa diharapkan memiliki kesadaran pajak yang diterapkan dalam berbagai kompetensi.
Mahasiswa akan mempelajari pentingnya pajak dalam pembangunan, nilai pajak dalam konteks sejarah Indonesia, pengelolaan pajak, kewajiban warga negara membayar pajak, dan penerapan prosedur pemenuhan kewajiban perpajakan.
Selain itu, mereka juga dapat memahami pentingnya pajak dalam penegakan hukum dan kewajiban membayar pajak sebagai wujud bela negara.
Referensi:
- Booklet Inklusi Kesadaran Pajak dalam Pendidikan, Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Kuangan Republik Indonesia.
- Tim Edukasi Perpajakan, Materi Terbuka Kesadaran Pajak dalam Perguruan Tinggi (draft).