fbpx

Terbitkan buku lebih cepat HANYA 1 BULAN? Dapatkan fasilitas VIP ini secara GRATIS! Klik di sini

Kantongi 19 Paten Baru, UGM Memiliki Ratusan Kekayaan Intelektual

HAK PATEN
Univeritas Gadjah Mada (UGM) telah memiliki 603 kekayaan intelektual setelah menerima 19 paten baru pada hari Selasa (10/3) lalu. (dok. ugm.ac.id)

Yogyakarta – Kini Univeritas Gadjah Mada (UGM) telah memiliki 603 kekayaan intelektual. Setelah menerima 19 paten baru pada hari Selasa (10/3/2020) lalu, jumlah paten yang dimiliki UGM bertambah. Hasil inovasi tersebut merupakan buah kerja keras tim peneliti UGM usai menciptakan temuan pengembangan inovasi tent jantung, alat bantu pebuatan implant tulang dan pemanfaatan glukomanan dari umbi porang.

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menyerahkan sertifikat paten kepada Dirjen Kekayaan Intelektual Kemenkumham RI. Penyerahan tersebut dilaksanakan di Grha Sabha Pramana. Sebagai Wakil Rektor Bidang Pendidikan, Penjaran, dan Kemahasiswaan, Prof. Dr. Ir. Djagal Wiseso Marseno, M.Agr memberikan ucapan selamat tim peneliti.

“Kita mendorong dosen dan mahasiswa untuk melakukan pendaftaran perlindungan karya inovasi,” tekan Djadal atas komitmen UGM dalam perlindungan karya.

Selain penyerahan sertifikat paten ke peneliti UGM, Dirjen Kekayaan Intelektual juga melaksanakan penandatanganan nota kesepahaman bersama dengan 10 perguruan tinggi di Derah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Pemerintah Daerah DIY.

Kerja sama di bidang perlindungan dan pemanfaatan kekayaan intelektual dengan kesepuluh perguruan tinggi ini meliputi UGM, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Atmajaya, UPN Veteran, UMY, Universitas Proklamasi, Universitas Alma Ata, Universitas Janabadra, Universitas Amikom, dan Institut Teknologi Nasional.

Dalam artikel berjudul `Paten Penting Bagi Sebuah Karya` pada tahun 2013 silam yang dipublikasikan its.ac.id, paten merupakan salah satu  bentuk hak kekayaan industri. Selama ini Hak Kekayaan Intelektual (HKI) tergolong menjadi hak cipta dan hak kekayaan industri.

Nah, hak kekayaan industri meliputi tata letak sirkuit terpadu, merek, rahasia dagang, perlindungan varietas tanaman, desain industri, dan paten. Paten digolongkan kekayaan industri karena paten adalah penemuan dalam bidang teknologi.

Paten sangat penting bagi peneliti, termasuk dosen yang meneliti. Paten menjadi bukti hak cipta seseorang atas teknologi yang dihasilkan. Dampak buruk jika sebuah karya tidak dipatenkan adalah tidak mampu bersaing dalam ranah global dan rentan pelanggaran HKI.

Seorang dosen yang memiliki paten juga mendapatkan beberapa keuntungan. Selain menambah pendapatan karena paten bisa dikomersialisasikan. Ir. Suyitno menambahkan paten bisa menjadi efektif untuk meningkatkan nilai ekonomis hasil penelitian. Sehingga dukungan terhadap kegiatan penelitian dapat meningkat. Hal ini diungkapkan Suyitno kepada fbs.uny.ac.id.

“Syarat penelitian ini adalah kekinian, jadi kita akan terdorong untuk mengidentifikasi permasalahan yang up-to-date,”lanjut Suyitno.

Menurutnya, penelitian ini juga bisa membina jaringan karena publikasi karya bisa membuka pintu kerja sama dengan investor, industri, komunitas, maupun instansi tertentu.

Di sisi lain, paten mempunyai poin tersendiri dalam penilaian angka kredit dosen. Berdasarkan dokumen Pedoman Penilaian Angka Kredit tahun 2019, pembuatan rancangan dan karya teknologi yang dipatenkan atau seni yang terdaftar HaKI (HKI) nasional maupun internasional mengandung nilai tertentu.

kekayaan intelektual
Tabel nilai HaKI dalam Pedoman Penilaian Angka Kredit Dosen 2019 (dok. kelembagaan.ristekdikti.go.id)

Yang perlu diperhatikan adalah sebuah karya agar bisa dipatenkan harus memenugi persyaratan yang telah ditentukan. Dilansir its.ac.id, beberapa persyaratan yaitu bersifat inovatif, bisa diterapkan dalam industri, dan karya tersebut harus baru.

Djagal menekankan hasil temuan dipatenkan apabila tidak dikomersialisasikan akan menjadi sia-sia. Untuk itu semua hasil inovasi UGM akan segera dipublikasikan dan dikerjasamakan. Hal ini senada dengan ucapan Dirjen Kekayaan Intelektual, Kemenkumham RI, Dr. Freddy Harris.

Ia mengatakan banyak peneliti yang tidak mendaftarkan paten terhadap hasil temuannya. Bahkan, ada yang menganggap proses pengurusan paten sangat lama. Padahal menurutnya proses tersebut tidak lama. Selama ini yang terpikirkan sebatas akademik dan mendapatkan honorarium. Sedikitnya jumlah paten yang dikomersialisasikan menyebabkan 80% paten yang dikelola selama ini justru dari pihak asing.

Freddy menambahkan Kemenkumham tidak ingin anggaran yang disediakan hanya untuk mengurus paten dari pihk asing. Untuk itu ia ingin anggaran dialokasikan untuk paten karya bangsa Indonesia. Ia berharap para inovator dari perguruan tinggi mendaftarkan paten untuk mendapat perlindungan hak kekayaan intelektual.

Ia berpendapat, minimnya jumlah paten ini karena belum terbangunnya semangat inovasi dari insan akademik. Selain itu, peran universitas masih kurang sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan riset. Setiap paten yang didapat sebaiknya langsung dikomersialisasikan oleh pihak universitas sebab kekayaan intelektual tanpa nilai ekonomi maka hanya akan menjadi hak sosial semata.