Pada 16 Januari 2020, Universitas Sebelas Maret (UNS) mengukuhkan guru besar di bidang hukum. Pujiyono merupakan dosen Fakultas Hukum UNS. Ia disebut-sebut sebagai profesor termuda di UNS. Usianya baru menginjak 40 tahun dan telah mengantongi jabatan guru besar. Sehari sebelumnya, Universitas Negeri Jember (UNEJ) mengukuhkan seorang profesor di bidang Hakim Agung. Ia adalah Prof. Dr. HM Hary Djatmiko, S.H., M.S.
Berkaitan dengan guru besar, terdapat permasalahan terkait pemahaman jabatan ini. Sebagian besar khalayak umum menyebut guru besar yang disandang oleh Pujiyono dan Hary Djatmiko tersebut sebagai gelar. Dalam kolom opini news.detik.com, Hasanudin Abdurakhman menuliskan tentang salah kaprah pemaknaan guru besar atau profesor di kalangan akademisi maupun media. Guru Besar atau profesor adalah jabatan, bukan gelar seperti yang dipahami oleh kebanyakan orang selama ini.
Dalam kasus Amien Rais dan Universitas Gadjah Mada tahun lalu, Ketua Dewan Guru Besar Besar Universitas Gajah Mada (UGM), Prof. Koentjoro menjelaskan Dewan Guru Besar UGM tidak berhak mencabut jabatan profesor atau guru besar. Jabatan guru besar atau profesor bisa hilang apabila seseorang pensiun atau mengundurkan diri termasuk salah satunya adalah keikutsertaan dalam partai politik.
“Jadi, istilah pencabutan jabatan guru besar itu tidak ada, adanya penghentian. Misalnya yang bersangkutan pensiun dan tidak diperpanjang, tapi kalau pensiun lalu diperpanjang sebutannya guru besar emiritus,” ujar Koentjoro melalui republika.co.id.
Hal tersebut didukung oleh Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 1 butir 3 yang menyebutkan guru besar atau profesor adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi. Syarat menjadi profesor dijelaskan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No 92 Tahun 2014 tentang petunjuk teknis pelaksanaan penilaian angka kredit jabatan fungsional dosen.
Syarat dari Lektor Kepala menuju Profesor haru memenuhi tujuh syarat yakni memiliki pengalaman kerja sebagai dosen tetap paling singkat 10 tahun. Kemudian berpendidikan doktor (S3), paling singkat 3 tahun setelah memperoleh ijazah doktor (S3), paling singkat 2 tahun menduduki jabatan Lektor Kepala, telah memenuhi angka kredit, memiliki karya ilmiah yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah internasional bereputasi sebagai penulis pertama dan memiliki kinerja, integritas, etika tata krama, serta tanggung jawab.
Beberapa penyebab diberhentikan dari jabatan guru besar atau profesor adalah pensiun, meninggal, sakit lebih dari 12 bulan, tidak mengajar selama 1 bulan, dan melakukan tindak pidana.
Hasanudin menegaskan, guru besar sebagai jabatan maka tidak ada istilah pencopotan. Dalam kasus dosen yang memiliki jabatan profesor misalnya. Jika dosen tersebut bukan lagi guru besar di sebuah univeritas, maka istilahnya adalah pensiun, bukan dicopot gelarnya.
“Masalahnya, banyak orang Indonesia salah kaprah. Kolega saya Terry Mart dari UI sudah sejak belasan tahun lalu berulang-ulang menjelaskan soal ini. Profesor itu jabatan, bukan gelar. Jabatan itu sama seperti jabatan rektor, dekan, direktur, manajer, dan sebagainya. Kalau seseorang sudah tidak menduduki jabatan itu, maka ia tidak lagi boleh dipanggil dengan jabatan itu. Misalnya, yang sudah tidak lagi menjabat sebagai rektor tak boleh lagi dipanggil “Pak Rektor”. Yang bukan lagi direktur, tak boleh lagi dipanggil “Pak Direktur”. Sama halnya, yang bukan lagi presiden tak lagi dipanggil `Pak Presiden`,” tulis Hasanudin dalam opini yang berjudul Profesor itu Jabatan, Bukan Gelar yang tayang pada tanggal 27 Mei 2019.
Demikian pula yang disampaikan oleh Rektor Universitas Jember Moh Hasan. Dikutip republika.co.id, Hasan menjelaskan profesor adalah jabatan fungsional tertinggi bagi seorang dosen. Menurutnya, untuk mencapai gelar tersebut perlu usaha kuat. Ia berharap profesor dapat memainkan peran sebagai pengembang ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan menjadi inovator yang membimbing para koleganya.
Seseorang yang menjabat sebagai profesor memiliki kewajiban yakni mengajar, meneliti, membuat karya ilmiah, membimbing mahasiswa terutama doktoral, dan melakukan pengabdian masyarakat. Dengan adanya kewajiban ini, Hasanudin menekankan profesor adalah jabatan yang tentunya disertai konsekuensi yakni adanya kewajiban yang harus dipenuhi.
Sehingga perlu ada pemaknaan ulang dalam setiap individu agar tidak terjadi kesalahan dalam mendefiniskan jabatan guru besar atau profesor ini. Setidaknya tidak ada lagi menyebut profesor sebagai gelar. Dalam akhir tulisannya, Hasanudin menyebut salah kaprah yang dilakukan wartawan hanya berakibat pada kesalahan penyebutan. Salah kaprah profesor berakibat pada kesalahan pada pelaksanaan tugas.
Sehingga jabatan profesor harus benar-benar dipahami oleh kalangan akademisi sendiri, juga wartawan atau khalayak umum. Kesalahan pemahaman di kalangan akademisi berakibat pada tugas dan kewajiban yang diemban seorang profesor tidak terlaksana. Padahal jabatan ini memerlukan tanggung jawab besar, bukan suatu kehormatan sering dipikirkan kebanyakan orang.