Semarang – Sejak tahun 2018, wacana tentang mendatangkan dosen asing ke Indonesia mencuat. Dilansir tirto.id dalam artikel berjudul `Kemenristekdikti Bantah Datangkan Dosen Asing ke Indonesia` tertanggal 24 April 2019, Kemenrsitekdikti menegaskan tidak mendatangkan dosen asing tapi mendatangkan profesor kelas dunia termasuk orang Indonesia yang mengajar di luar negeri. Hal ini disampaikan oleh Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek dan Dikti Kemristekdikti, Ali Ghufron Mukti.
Namun wacana tersebut kembali menguat saat Muhamad Nasir selaku Menristekdikti mengatakan akan mencabut aturan-aturan penghambat kebijakan mendatangkan dosen luar negeri. Dalam pandangannya, dosen asing ini akan menaikkan daya saing perguruan tinggi di kancah internasional. Ia berencana merealisasikan rencana tersebut tahun 2020 mendatang.
“Saya akan mapping dulu. Lalu saya akan cabut beberapa peraturan yang menghambat dan peraturan pemerintah (PP) akan disederhanakan, supaya memberikan kesempatan kompetisi buat orang asing yang akan jadi rektor,” terang Nasir, dikutip dari merdeka.com.
Sebelumnya kebijakan ini telah diprotes para rektor di tahun 2016. Namun Nasir berpendapat bahwa di sisi lain banyak negara yang sukses menaikkan daya saing kampusnya setelah mendatangkan para dosen asing. Ia mencontohkan negara-negara seperti Singapura, Taiwan, Tiongkok, dan Arab Saudi.
“Di 2016 saya di-bully sama rektor-rektor. Padahal Singapura bisa maju sampai sekarang karena rektor kampusnya dari luar negeri. Taiwan, Tiongkok juga sama. Perguruan tinggi di Arab Saudi malahan tidak pernah masuk peringkat 800 dunia. Begitu 40 persen dosennya didatangkan dari Amerika dan Eropa, peringkatnya langsung melesat di angka 87 Ini akan jadi tantangan kita ke depannya,” lanjut Nasir.
Terkait pendanaan, Nasir mengatakan tidak perlu khawatir karena nanti akan meminta bantuan Kementrian Keuangan (Kemenkeu) untuk menganggarkan pengadaan dosen asing. Jadi pendanaannya dari peemrintah pusat bukan dari anggaran perguruan tinggi. Sejauh ini, anggaran untuk dosen asing masih kecil sekitar 150 miliar. Sehingga kebijakan ini belum berjalan.
“Kalau tidak bisa mengundang dosen asing ya jalan satu-satunya dengan mendatangkan profesor asing untuk kolaborasi dengan kita di bidang penelitian. Seperti yang sudah dilakukan antara Indonesia dengan Inggris. Atau ketika 2018 kemarin, saat kita kolaborasi melakukan penelitian ilmiah dengan Amerika dalam forum MTI Research International (META),” ujar Nasir.
Kebijakan ini masih menuai beragam tanggapan dari kalangan pendidik di Indonesia. Permasalahan yang dikhawatirkan muncul adalah kebijakan ini dinilai akan membuang-buang anggaran dan mengesampingkan kemampuan tenaga pendidik dalam negeri yang tak kalah berkompeten. Kekhawatiran ini wajar sebab dalam Perpres 20/2018 pasal 4 yang berbunyi: Setiap Pemberi Kerja TKA wajib mengutamakan penggunaan tenaga kerja Indonesia pada semua jenis jabatan yang tersedia.
Meskipun dalam artikel berjudul `Soal Dosen Asing Gaji 52 Juta, Dirjen: Dosen Indonesia Bisa Daftar` yang dipublikasikan tirto.id tanggal 21 April 2018, Ali Gufron menjelaskan dosen asing yang akan didatangkan ke tanah air bertaraf internasional dan bisa diikuti profesor di Indonesia yang bertaraf internasional. Namun Koordinator Pendidikan Pengurus Pusat Asosiasi Dosen Indonesia, Sylviana Murni telah mewanti-wanti pemerintah untuk berhati-hati dengan rencana mendatangkan dosen asing ini. Perlu adanya pengkajian yang matang.
Dilansir tirto.id, ia meminta dosen asing yang didatangkan ke Indonesia harus sesuai dengan kebutuhan keilmuan di tanah air bukan yang bisa diajarkan dosen lokal. Ia juga meminta pemerintah menyetarakan gaji para dosen lokal bertaraf internasional dengan dosen asing. Menurutnya profesor dan guru besar Indonesia tak kalah dengan dosen asing sebab muncul kabar gaji dosen asing jauh lebih banyak dibanding dengan dosen lokal.
Redaksi