Madura – Royyan Julian (30) lebih dulu `mencintai` esai sebelum akhirnya jatuh cinta pada sastra. Di tengah kesibukannya sebagai Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra di Universitas Madura (Unira), Royyan masih produktif menulis terutama sastra. Beberapa judul buku sastra telah dilahirkannya.
Ia mengaku mulai gemar menulis sejak di masa putih abu-abu. “Saya menulis puisi karena jatuh cinta,” ujarnya saat ditemui Jawa Pos Radar Madura di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unira.
Kepada Jawa Pos Radar Madura, ia membagikan perjalanannya menekuni dunia literasi ini, Rabu (3/7). Membaca dan menulis menjadi aktivitasnya sehari-hari sejak saat itu. Pada tahun 2011, ia mengikuti sayembara penulisan cerpen dan berhasil menjadi juara.
Kumpulan karya fiksinya dicetak menjadi buku oleh penyelenggaran sayembara. Bukunya berjudul Sepotong Rindu dari Langit Pleiades. Kemudian tahun 2015 Dewan Kesenian Jawa Timur, ia mengikuti sayembara sastra dan namanya keluar sebagai juara. Karyanya diterbitkan menjadi buku berjudul Tandak. Lantas di tahun 2016, ia dinobatkan sebagai penulis peraih Emerging Ubud Writers and Readers Festival.
Ia mengungkapkan, menjadi penulis harus terbuka terhadap peristiwa di sekitarnya, Selasa (2/7), dikutip dari madura.tribunnews.com. Usaha untuk memperkaya ide salah satunya dengan meningkatkan kepeduliaan dan kepekaan terhadap masyarakat. Ia menerangkan jika menulis adalah satu dari sekian upaya untuk menyatakan diri melalui tindakan kreatif. Melalui tulisan kreatif, seseorang penulis akan belajar menyatakan pikiran dan tulisan. Untuk itu, menulis dalam bentuk apa pun adalah kemampuan untuk mengembangkan kreatifitas.
Di tengah-tengah profesinya sebagai dosen di Unira, Royyan yang pernah menempuh pendidikan Magister Ilmu Sastra di Universitas Gadjah Mada tersebut mengaku tetap produktif menelurkan karya. Buku lain yang ditulisnya adalah Metafora Ricoeurian dalam Sastra, yang mengulas kritik sastra. Sementara Buku berjudul Tanjung Kemarau dan Biografi Tubuh Nabi merupakan buku krtitik ekologi. Menekankan pada kerusakan lingkungan, perubahan iklim, hingga empati terhadap binatang dan pohon.
“Saya menganggap menulis adalah profesi utama,” ungkap alumni Jurusan Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang tersebut. Menurutnya, berprofesi sebagai penulis itu tidak hanya menulis tetapi juga membaca. Membaca juga kebutuhan dan bagian dari profesi.
Royyan berharap generasi muda terus membaca sebab dengan banyak membaca, wawasan akan bertambah. Pengetahuan pun lebih baik. Wawasan dan pengetahuan seseorang tidak ditentukan usia. Ia juga berharap adanya ruang kebudayaan untuk menambah wawasan masyarakat. Salah satunya adalah bioskop yang dinilai banyak memberikan dampak positif terhadap wawasan dan pengetahuan.
Redaksi