Tanggung jawab pemerintah RI atas pendidikan tinggi (Dikti) sebelumnya masih dikelola oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sejak Joko Widodo menduduki jabatan sebagai Presiden RI pada 2014, “PR” di bidang pendidikan tinggi ini dipisahkan. Lalu, dibentuklah Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) dengan M. Nasir sebagai menterinya.
Seperti satu berita dari nasional.kompas.com pada 16 September 2014, Joko Widodo mengatakan bahwa ada alasan yang mendasar mengapa ia menginginkan ada kementerian khusus yang fokus membawahi pendidikan tinggi dan riset.
“Baru kemarin saya umumkan jumlah kabinet, tapi yang berhubungan dengan Bapak, Ibu, ada Kementerian Pendidikan Tinggi dan Ristek dijadikan satu kementerian. Kenapa? Karena kita ingin ke depan, riset baik yang berhubungan dengan teknologi, riset sosial, pertanian, kemaritiman, itu betul-betul bisa diaplikasikan dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, petani, nelayan, dan usaha mikro,” kata Jokowi di depan sekitar seratus orang peneliti dalam sebuah seminar yang diselenggarakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Gedung LIPI, Jakarta, Selasa (16/9/2014) sore.
Jokowi mengatakan, selama ini, riset belum benar-benar dimanfaatkan secara maksimal. Kegiatan riset dilakukan sendiri-sendiri oleh setiap lembaga dan kementerian sehingga tidak satu padu.
“Pertanian, BPPT, Batan, Lapan, di semua kementerian ada semuanya, fokus mau ke mana ini? Jadi tidak jelas. Keluarannya apa, dipakai untuk apa, siapa yang memanfaatkan ini, tidak ditindaklanjuti dengan baik,” ujar Jokowi.
Jokowi berharap Kementerian Pendidikan Tinggi dan Riset ini dapat menjadi pusat bagi riset nasional. Dengan demikian, riset akan mendatangkan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat.
“Secara riil, riset dilihat masyarakat sebagai suatu kegiatan yang bermanfaat. Kita ingin ada tahapan dalam riset baik yang basic,apply maupun innovation yang bisa betul-betul bermanfaat,” ujarnya.
Tidak lantas disepakati begitu saja oleh semua kalangan, keputusan Joko Widodo untuk membentuk Kemenristek Dikti sempat menuai pro dan kotra.
Edy Suandi Hamid, Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) misalnya, berharap pengelolaan pendidikan dasar, menengah, dan tinggi lebih terarah dan fokus dengan adanya pemisahan itu.
“Dengan pemisahan itu diharapkan pengelolaan lebih fokus dan terarah, sehingga bisa lebih memperbaiki pendidikan di Tanah Air, baik pendidikan dasar dan menengah (dikdasmen) maupun pendidikan tinggi (dikti)”, kata Edy.
Adapun yang mengkritik pemisahan tersebut. Pengamat pendidikan dari Perguruan Taman Siswa, Darmaningtyas pernah mengatakan bahwa pemisahan tersebut bisa menimbulkan masalah kelembagaan.
Menurutnya, koordinasi antara dua lembaga yang saat itu diperkirakan akan dibentuk, yaitu Kementerian Kebudayaan, Pendidikan Dasar, dan Menengah dengan Kementerian Ristek dan Pendidikan Tinggi (Dikti) akan sulit, terutama dari aspek penyediaan guru.
“Peristiwa tahun 1959-1962 bisa terulang, yaitu ada Pendidikan Tenaga Guru (PTG) di bawah Kementerian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PPK) dan ada FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan) di bawah Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP). Jadi secara kelembagaan bukan menyelesaikan masalah, tapi malah menambah ruwet,” kata Darmaningtyas.
Namun, Kemenristek Dikti sudah aktif sampai saat ini dan terus berperan dalam pengembangan riset dan teknologi, serta meningkatkan kualitas pendidikan tinggi. Harapannya, Kemenristek Dikti bisa menjalankan perannya secara optimal. Beberapa langkah yang bisa dilakukan antara lain mendorong dosen atau civitas academica lainnya untuk melakukan penelitian dan pengembangan teknologi, baik melalui pemberian poin kredit kinerja secara terukur, beasiswa, dan dana penelitian.
Sumber: