Menjadi dosen sebuah proses untuk berkembang dalam atmosfir akademik, begitu ujar Dr. Filosa Gita Sukmono, S.Ikom., M.A. Bagi dosen Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) tersebut, bahwa berprofesi sebagai dosen tak lekang oleh tantangan. Dan sampai kapanpun publikasi menjadi tantangan terbesar dosen. Sebab, dosen tak hanya sekadar ada untuk mahasiswa tapi juga harus bermanfaat bagi masyarakat luas.
Tantangan sebagai dosen bisa dibilang cukup berat mengingat banyaknya tuntutan akademik dan administratif yang harus dipenuhi. Belum lagi dosen harus melaksanakan tridharma perguruan tinggi. Namun, Filosa berpendapat sebagai dosen harus mampu menjawab tantangan-tantangan tersebut serta dituntut untuk bisa membagi waktu dengan baik.
”Tantangan dosen saat ini adalah bagaimana meningkatkan publikasi dalam bentuk apapun, baik itu tulisan jurnal ataupun buku. Meskipun kita punya pemikiran yang luar biasa tapi berbagai pemikiran kita tersebut tidak akan diketahui orang lain tanpa kita mempublikasikannya,” jelas Filosa.
Menurut Filosa, dosen yang belum pernah mempublikasikan tulisannya adalah dosen yang sekadar ada untuk mahasiswa, bukan sebagai dosen untuk masyarakat luas. ”Dengan kita giat untuk publikasi maka nilai manfaat kita tidak hanya untuk dunia kampus tetapi untuk masyarakat luas yang membaca tulisan yang kita publikasikan,” lanjut pemilik akun Twitter @filosaGS tersebut.
Bagi Filosa, menulis dan mempublikasikan tulisan adalah kegiatan wajib semua dosen. Salah satu kiat agar publikasi tetap bisa berjalan lancar adalah rajin melakukan penelitian. ”Meminjam kutipan Pram, ‘orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah’. Jadi meskipun nantinya kita sudah tidak ada di dunia ini maka tulisan dan berbagai publikasi kita akan selalu ada di masyarakat,” jelasnya.
Filosa sangat meyakini bahwa manusia harus memiliki kemanfaatan bagi orang lain. Pada dasarnya, menjadi dosen adalah salah satu jalan untuk menjadi manfaat. Publikasi ilmiah adalah salah satu cara untuk menyebarkan manfaat tersebut. ”Saya merasa berprestasi, ketika apa yang saya punya baik pengetahuan, keterampilan ataupun hal-hal lainnya yang bisa membantu orang lain untuk meraih kesuksesan dan mimpinya,” ucap peraih doktor dengan predikat sangat memuaskan tersebut.
Bagi Filosa, dosen adalah profesi yang ideal untuk terus belajar, berkembang, dan bermanfaat melalui proses akademik yang intens. Dari hasil tersebut outputnya bisa berupa tulisan, wawasan untuk bekal mengajar mahasiswa, inovasi, prestasi, tulisan atau karya ilmiah yang tentunya bermanfaat bagi khalayak.
Kesadaran terhadap pentingnya proses akademik yang berkualitas mulai muncul dalam benak Filosa semenjak menempuh pendidikan jenjang sarjana di studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Menurutnya, membaca, menulis, dan diskusi baru bisa ia temukan saat studi jenjang sarjana.
Pada hakikatnya, Filosa menyebut menjadi dosen sama saja dengan menjadi mahasiswa karena sama-sama berada dalam bidang yang sama, yaitu akademik. Saat menjadi dosen, Filosa masih merasa seperti mahasiswa. ”Alasan utama saya menjadi dosen adalah ingin selalu merasakan atmosfer akademik, karena setiap pekerjaan yang saya lakukan sebagai dosen adalah bagian dari atmosfir akademik.,” akunya kepada tim duniadosen.com melalui surel, Minggu (24/2).
Menjadi Dosen saat Menyelesaikan Pendidikan Master
Filosa memulai karirnya sebagai dosen di UMY sejak 2011. Setelah mendapat informasi dari rekan sekelas saat menempuh pendidikan master di studi Kajian Budaya dan Media Universitas Gadjah Mada (UGM) tentang adanya rekrutmen dosen di prodi Ilmu Komunikasi UMY, Filosa lantas mendaftar dan diterima di kampus yang terletak di Kecamatan Kasihan, Bantul tersebut.
Dalam perjalanannya, baik saat masih menjadi mahasiswa atau sekarang ketika menjadi dosen, Filosa mengaku kagum dengan dosen yang bisa konsisten menjalankan kewajiban tridharma perguruan tinggi. Yaitu pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, namun masih bisa mencapai puncak karir sebagai profesor.
Sebagai dosen, peraih gelar doktor bidang komunikasi dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung tersebut punya satu keinginan yang belum tercapai. Doktor bidang komunikasi termuda di prodi Ilmu Komunikasi UMY tersebut ingin mendapatkan gelar profesor di usia muda untuk menambah jumlah profesor muda di Indonesia.
Selain menjadi dosen, laki-laki yang sempat bercita-cita sebagai pemain sepak bola profesional tersebut memiliki kesibukan lain. Beberapa diantaranya adalah mengisi berbagai seminar, menulis buku, dan juga mengelola Jurnal Komunikator. ”Meskipun masih berhubungan dengan dunia dosen ya,” katanya sembari tertawa. Tahun lalu, Filosa yang menjabat sebagai editor in chief berhasil membawa Jurnal Komunikator mendapat akreditasi nasional.
Menurutnya, pembagian waktu yang baik turut memengaruhi keberhasilan setiap aktivitas yang ia lakukan. Dalam pembagian waktu, Filosa punya satu kiat yang ia sebut ‘sistem alarm’ yang ia terapkan dalam hidup.
”Saya menerapkan ‘sistem alarm’ kepada diri sendiri jika waktu dan pikiran terlalu banyak tersita untuk dunia akademik. Kemudian, “alarm” tersebut membangunkan saya untuk merangkai program dan rencana-rencana untuk keluarga. Bisa jalan-jalan bersama atau sekadar mendampingi anak-anak bermain di rumah,” ungkap Filosa.
Selama menjadi dosen, Filosa masih ingat pertama kali bertatap muka dengan para mahasiswa di dalam kelas. Bagi Filosa, pengalaman pertama kali mengajar mahasiswa tersebut menjadi pengalaman yang paling berkesan sekaligus haru. ”Perasaannya tak bisa saya ungkapkan dengan kata-kata,” akunya.
Raih Predikat Best Paper dalam AICCON
Sebagai dosen, Filosa beberapa kali mendapat penghargaan dari berbagai lembaga. Salah satu yang paling baru adalah ketika dirinya bersama satu rekan dosen dari UMY mendapat penghargaan Best Paper dalam Aspikom International Communication Conference (AICCON) pertama tahun 2018.
AICCON adalah konferensi internasional yang diselenggarakan oleh Asosiasi Perguruan Tinggi Ilmu Komunikasi (Aspikom). Tahun lalu adalah perhelatan pertama konferensi tersebut. Sebagai salah satu peraih penghargaan yang menyisihkan lebih dari 100 paper dari peneliti di Asia Tenggara, Filosa merasa bangga.
”Tulisan (yang mendapat penghargaan-red) tersebut merupakan hasil riset dengan salah satu kolega saya. Sebenarnya kami tidak menyangka mendapatkan penghargaan tersebut, tetapi ternyata salah satu reviewer AICCON merekomendasikan tulisan kami sebagai yang terbaik dalam konferensi internasional tersebut,” akunya bangga.
Riset Filosa dan Fajar Junaedi, rekannya adalah penelitian yang difasilitasi oleh Lembaga Penelitian, Publikasi, dan Pengabdian Masyarakat (LP3M) UMY. Penelitian tersebut mengambil tema manajemen dan tata kelola media baru Muhammadiyah di Jawa Timur.
Penghargaan memiliki makna tersendiri bagi Filosa. Menurutnya, penghargaan adalah suntikan energi baru yang bisa memacunya untuk terus berkarya dan berprestasi karena pada dasarnya, manusia tak boleh berhenti untuk mengembangkan diri.
Lalu, apakah saat ini Filosa sudah merasa sukses? Menurutnya, sukses adalah ketika dirinya berhasil melewati setiap tantangan yang datang. Ia enggan menyebut dirinya sudah sukses karena jika merasa sukses, maka produktivitas dan kreatifitas cenderung akan menurun seoalah sudah memiliki segalanya.
Menurut Filosa, bermimpi besar untuk sukses perlu dilakukan. Meski begitu, mimpi besar harus dibarengi dengan usaha untuk mencapai mimpi tersebut. ”Ayah saya selalu mengajarkan saya untuk berani bermimpi besar dan merangkai tindakan untuk meraih mimpi tersebut. Ayah adalah orang yang menjadi inspirasi saya,” kenang Filosa.
Rencana Menulis Buku dan Kritik Terhadap Pendidikan
Filosa pernah menulis beberapa buku yang sudah bisa dinikmati di pasaran. Beberapa bukunya adalah Komunikasi Multikultur: Melihat Multikulturalisme dalam Genggaman Media (2014), Jurnalisme Sensitif Bencana (2017), dan Komunikasi Kesehatan (2018) yang ia tulis bersama Fajar Junaedi yang juga dosen UMY.
Tak ingin berhenti, Filosa ingin kembali menulis buku. Dalam waktu dekat, Filosa mengaku akan menulis buku tentang film, kajian media, multikulturalisme, dan informasi kebencanaan.
Tak hanya itu, Filosa juga cukup rajin menulis publikasi ilmiah. Beberapa diantaranya adalah Rivalitas Aremania dan Bonekmania (Mengurai Konflik Suporter melalui ‘Sisi Gelap’ Komunikasi Antarbudaya) (2015), Representasi Islam dalam Film Nasional (2015), dan Dinamika Wacana Multikultur dalam Film Indonesia (2016).
Terkait pendidikan di Indonesia, Filosa berpendapat bahwa masih ada tekanan dan tuntutan tinggi pada siswa-siswa di Indonesia, mulai jenjang dasar sampai menengah. Akibatnya, banyak sekali anak berprestasi semasa SD sampai SMA yang kemudian ‘hilang ditelan bumi’ saat kuliah.
Padahal, lanjut Filosa, keterampilan dan pemikiran pelajar akan terbentuk saat menjalani studi di perguruan tinggi. ”Saya berpendapat hal ini terjadi karena mereka selama sekolah pada tingkat dasar merasa tertekan, sehingga tidak bisa menemukan passion dalam hidupnya,” ujar Filosa.
Saat ini, Filosa mengaku masih menikmati kegiatannya sebagai dosen di UMY. Ke depannya, ia ingin tetap mengembangkan diri dalam dunia dosen dan mempertahankan setiap langkah untuk tetap berada di jalur akademik. “Untuk saat ini saya tidak tergoda untuk melangka ke jalur lain,” pungkasnya. (duniadosen.com/az)