Alasan seseorang memutuskan menjadi dosen bisa jadi karena inspirasi dari kehadiran sosok di kehidupannya. Tak terkecuali Muhammad Nur Rizal, S.T., M.Eng., Ph.D. dosen Departemen Teknik Elektro dan Teknik Informasi (TETI), Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (FT UGM) tersebut mengaku terinspirasi oleh ayahnya yang memberi petuah untuk selalu melanjutkan tradisi sebarkan ilmu. Dan menurutnya berkarir dosen lah menjadi cara yang tepat.
Bagi Rizal, sapaan akrab Muhammad Nur Rizal, ayahnya adalah sosok penting dalam hidup, karena menanamkan filsafat hidup. Dia melanjutkan, ayahnya selalu memberi petuah padanya untuk selalu meneruskan tradisi menebar keilmuan seperti yang dilakukan oleh keluarga besarnya saat di pesantren di Madura dahulu. ”Petuah tersebut yang menguatkan keputusan saya untuk berkarir dosen,” ujar Rizal.
Rizal memulai berkarir dosen pada 2000 setelah menamatkan pendidikan sarjana di Prodi Teknik Elektro UGM. Saat itu, Rizal masih berstatus dosen kontrak di almamaternya tersebut. Selama dua tahun Rizal rela melakoninya demi merintis karir dosennya.
”Saya masih dibayar Rp 150 ribu per bulan sebelum diangkat menjadi dosen tetap pada Desember 2002,” ceritanya kepada tim duniadosen.com melalui pesan singkat, Kamis (17/1).
Dosen Perlu Bersikap Adaptif dan Mengikuti Passion
Saat menjadi dosen di UGM tersebut, Rizal ingin memperluas pengetahuannya dengan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Dia melanjutkan pendidikan master di Chulalongkorn University, Thailand dan memeroleh gelar Ph.D dari Monash University, Australia. Saat menempuh pendidikan doktoral tersebut, Rizal memboyong istri dan anaknya untuk tinggal di Australia.
Dengan berkarir dosen, laki-laki kelahiran Surabaya, Jawa Timur tersebut ingin menerapkan ilmu dan pengalaman yang ia peroleh selama studi di berbagai negara. ”Saya berharap bisa membuat perubahan sosial, khususnya memperbaiki kualitas pendidikan agar bangsa Indonesia tidak tertinggal di era disrupsi ini,” terang dosen yang lahir 19 Juni 1975 tersebut.
Semasa kuliah, Rizal tergolong mahasiswa yang aktif. Pada 1996, Rizal pernah menjabat Ketua Senat Mahasiswa UGM. Tak hanya itu, suami dari T Novi Puspita Candra yang juga dosen UGM tersebut juga pernah menjadi Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Thailand 2003 saat belajar di Chulalongkorn University. Pun, Rizal juga pernah menjadi Ketua Komunitas dan Mahasiswa Pasca Sarjana Muslim saat menempuh pendidikan doktor di Monash University pada 2010.
Menurutnya, dunia pendidikan selalu mengalami perubahan. Maka dari itu, semua pihak perlu berpikir terbuka dan adaptif terhadap perubahan, tak terkecuali dosen. Apalagi, dosen adalah pihak yang berinteraksi langsung dalam dunia pendidikan. Bagi Rizal, dua hal tersebut menjadi tantangan terbesar dosen saat ini. Tak hanya itu, Rizal menyebut ekosistem pendidikan di Indonesia masih belum maksimal dalam mendukung terciptanya kultur akademik di kampus.
”Dari faktor eksternal, tantangan pendidikan tinggi sekarang adalah ekosistem dan regulasi riset yang belum solid. Serta aspek administratif masih menjadi tolok ukur capaian yang mengakibatkan dosen enggan berinovasi tinggi,” ucap pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) tersebut.
Rizal melanjutkan, ketika sisi administrasi masih jadi fokus utama, maka akan jadi masalah jika tak ada dukungan dari lembaga. Selain itu, esensi dosen sebagai pengajar sekaligus peneliti juga akan pudar. Rizal menyebut menemukan passion dan melakukan riset berdasar passion adalah strategi menghadapi tantangan tersebut sehingga aktivitas tetap berjalan meski tak ada hibah pendanaan atau dukungan dari pihak lain.
Pendidikan di Indonesia Masih Memiliki Banyak PR
Dalam bidang pendidikan tinggi, Rizal menyebut Indonesia masih memiliki banyak sekali pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dengan baik. Rizal mengkomparasi kondisi pendidikan di Indonesia dengan pendidikan di Thailand dan Australia dimana dia pernah mengenyam pendidikan di sana.
”Kita masih punya banyak PR (pekerjaan rumah), terutama penciptaan ekosistem pembelajaran dan riset inovatif sekaligus adaptif terhadap perubahan dunia yang sangat cepat dan tak menentu ini. Selain itu, regulasi riset harus dibuat lebih fleksibel dan outcome oriented, bukan hanya untuk memenuhi persyaratan administratif saja,” tegas Rizal.
Rizal juga menyoroti kemampuan pelajar dan mahasiswa Indonesia yang masih kurang digali secara maksimal. Padahal, mereka memiliki potensi. Ia melanjutkan, pembelajaran harus lebih diarahkan untuk membangun kemampuan metakognisi pelajar. ”Yakni mengajarkan mahasiswa bagaimana cara berpikir, bukan apa yang dipikirkan sehingga akan lahir keterampilan berpikir kritis, komunikatif, kolaboratif, kreatif, dan pemecahan masalah,” lanjutnya.
Ia berpendapat, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang memanusiakan manusia. Tak cukup sampai di situ, pendidikan juga harus memerdekakan pikiran dan mendorong seseorang untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat yang mandiri, bertanggung jawab, dan bahagia.
”Caranya dengan membangun ekosistem sekolah yang menyenangkan serta melakukan advokasi untuk memperbarui regulasi yang kuno dan tidak sesuai perubahan zaman. Sekarang kita memasuki era disrupsi, dimana tuntutan industri sudah tidak lagi pada pengetahuan ansih. Maka paradigma pendidikan kita harus diubah dari standardisasi menuju personalisasi yang memungkinkan talenta, bakat, keterampilan hidup, dan passion mereka terbangun optimal,” lanjut Rizal
Tentang Pengalaman Berkesan dan Definisi Sukses bagi Rizal
Selama berkarir dosen, Rizal memiliki beberapa pengalaman berkesan. Namun, pengalaman saat akan menuntut ilmu ke luar negeri adalah yang paling berkesan menurut Rizal. Saat itu, Rizal sempat berkeinginan untuk tak jadi melanjutkan pendidikan ke luar negeri karena tak mau meninggalkan keluarga di Indonesia.
”Namun karena rasa tanggung jawab untuk meluaskan wawasan, pengetahuan, jejaring akademik hingga pengalaman kehidupan berbeda yang bisa saya bagikan ke mahasiswa mengalahkan demotivasi tersebut. Pun, sebagai muslim, saya ingin menjadi pribadi yang memberikan manfaat bagi orang lain,” terang dosen yang pernah menjadi nominasi Alumni of the year 2017 dari Australian Global Alumni of the Government of Australia tersebut.
Saat belajar di Australia, Rizal pernah menjadi penjual koran sampai pembersih toilet. ”Tuntutan hidup di Australia besar. Beasiswa selama sebulan hanya cukup untuk sewa rumah dan bills. Padahal saya membawa seorang istri dan tiga putri sehingga kebutuhan sehari-hari harus diperoleh dengan bekerja paruh waktu,” kenang dosen yang peraih Beasiswa Australia Awards tersebut.
Keputusan tersebut tak sia-sia. Saat itu, bisa dibilang cita-cita Rizal untuk meneruskan tradisi keluarga untuk selalu menebar ilmu serta membantu masyarakat terpinggirkan bisa dicapai berkat perannya sebagai dosen dan keterlibatannya di GSM serta berbagai kegiatan pendidikan lainnya.
Bagi Rizal, sukses tak bisa dilihat dari materi. Sukses hanya bisa dirasakan oleh orang yang bersangkutan. ”Sukses adalah ketika seseorang memiliki harapan dan tujuan dalam hidupnya, mampu menemukan cara untuk mencapainya, dan tujuannya memberikan manfaat bagi seluas-luasnya manusia dan alam semesta,” ungkap pengagum Soekarno tersebut.
Sebagai dosen yang harus melaksanakan kewajiban tridharma perguruan tinggi meliputi pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat serta disibukkan dengan kegiatan mengelola GSM dan menjadi kepala rumah tangga, Rizal perlu membagi waktu dengan baik agar semuanya berjalan baik. Bagaimana kiatnya? ”Saya selalu mengisi waktu luang bersama keluarga. Biasanya, setiap liburan kami pergi ke tempat wisata, tempat bersejarah, dan menonton bersama,” katanya.
Dalam perjalanan karirnya, terutama bersama gerakan yang dia inisasi, Rizal menerbitkan beberapa buku, salah satunya adalah buku; ‘Sekolah Itu Asyik’ dan ‘Sekolah Nirkekerasan’. Dalam waktu dekat, Rizal ingin menerbitkan buku tentang pengalaman batin dalam menginisiasikan GSM yang sudah tersebar di berbagai daerah di Indonesia. ”Sedang dalam tahap penulisan,” pungkas dosen yang pernah menjadi Direktur Eksekutif Inheren UGM tersebut. (duniadosen.com/az)