Seorang dosen baru saja menyelesaikan ceramahnya di suatu ruangan kuliah. Kemudian ia bertanya kepada seluruh mahasiswa di ruangan itu, “Apakah ada pertanyaan?” Kemudian, suasana hening. Tidak ada satu pun mahasiswa yang mengajukan pertanyaan.
Di kelas yang lain, ada seorang dosen yang juga baru saja menyelesaikan ceramah. Dosen kedua ini mengajukan pertanyaan yang sama kepada mahasiswa-mahasiswanya, “Apakah ada pertanyaan?”
Masih lebih baik dari kasus di kelas pertama, ada tiga mahasiswa yang mau memberikan pertanyaan terkait materi yang baru saja disampaikan dosen kedua.Itupun tiga orang mahasiswa yang memang sejak dulu aktif di dalam perkuliahan. Label “Yang aktif itu-itu saja” disematkan pada mahasiswa-mahasiswa tersebut.
Memahami Kompetensi Pedagogik
Entah, seberapa sering hal-hal seperti di atas kita jumpai sebagai mahasiswa atau dosen. Itu membuat kita bertanya-tanya, “Siapakah yang salah? Apakah mahasiswa yang malu bertanya? Apakah mahasiswa tidak berani berargumen? Atau apakah jangan-jangan dosen itu sendiri yang memiliki kompetensi pedagogik yang kurang karena tidak mampu memberikan “rangsangan” yang efektif?
Untuk pertanyaan pertama dan kedua, sering ditemukan pendapat bahwa belajar satu arah lah yang menyebabkan mahasiswa malas bertanya atau berpendapat. Menurut pendapat-pendapat tersebut, mahasiswa telah terbiasa dengan proses pendidikan satu arah yang dialami sejak berada di jenjang SD. Dalam proses seperti itu, guru lebih berperan secara aktif daripada murid. Seolah, murid diharuskan membenarkan semua perkataan guru.
Meski begitu, seharusnya di lingkungan perguruan tinggi mahasiswa harus semakin diberi stimulus agar berpikir kritis. Adalah Pete Boghossian, yang menceritakan pengalamannya bagaimana cara menstimulus agar mahasiswanya berpikir kritis. Bukan hanya supaya berpikir kritis, tetapi juga berpikir sistematis.
Dalam jurnalnya yang berjudul How Socratic Pedagogy Works, ia mengatakan bahwa metode pedagogi Socratic mampu merangsang pola pikir kritis dan sistematis seorang murid atau peserta didik. Dalam metode Socratic ini ada istilah elenchus. Elenchus adalah metode dengan memberikan pertanyaan seseorang untuk menguji bagaimana ia menggunakan daya meyakinkan, konsistensi, dan kredibilitas atas apa yang ia katakan. Richard Robinson (dalam Plato’s Earlier Dialectic, 1966) berkata bahwa tujuan elenchus adlaah membangunkan orang untuk bangkit dari gangguan dogmatis menjadi keingintahuan intelektual.
Boghossian mencontohkan metode ini saat mengajar di kelasnya. Ia berkata kepada mahasiswa-mahasiswa bahwa pornografi anak-anak mampu menjauhkan orang-orang dari perilaku seks yang nyata terhadap anak-anak. Ia juga berkata bahwa adanya lokalisasi legal di suatu negara mengurangi angka pemerkosaan. Ada mahasiwa yang menolak perkataan Boghossian.
Jelasnya, mahasiswa itu menolak perkataan itu karena mempertimbangkan bahwa pornografi bertentangan dengan nilai sosial dan bisa jadi memengarui penikmatnya untuk melakukannya secara nyata. Akan tetapi, mahasiswa itu hanya berkata apa adanya. Ia menyanggah hanya karena pornografi anak bertentangan dengan nilainya, tanpa memberikan sanggahan dengan bukti-bukti atau data-data yang bisa ia pertanggung jawabkan.
Dari perdebatan dosen-mahasiswa itu, sampailah ketika mahasiswa ingin mempelajari isu pornografi anak dan akan mengerjakan paper tentang itu. Sampai di situ, Boghossian berpikir bahwa ia berhasil memengaruhi mahasiswa untuk berpikir kritis. Mahasiswa juga “bangun” dari pola pikir dogmatisnya. Bisa saja setelah itu, mahasiswa melakukan berbagai riset yang mungkin bisa untuk mendukung sanggahannya terhadap Boghossian.
Kiranya, metode seperti itu perlu diterapkan oleh dosen-dosen. Cara ini mampu memengaruhi kualitas kompetensi pedagogik dosen. Dengan kompetensi pedagogik ini, mahasiswa Indonesia diharapkan bisa lebih berpikir kritis dan sistematis dan mengesampingkan pemikiran-pemikiran dogmatis terlebih dahulu.
Sumber:
Boghossian, Pete. “How Socratic Pedagogy Works”
http://grammar.about.com/od/e/g/elenchusterm.htm
(Beniardi Nurdiansyah)