Menempuh pendidikan tinggi memang bukan sebuah perkara mudah apalagi murah. Ragam jerih payah terkadang harus tercurah demi menuntut keilmuan agar hidup semakin terarah. Begitulah sekelumit gambaran kisah Supadiyanto S.Sos.I., M.I.Kom atau yang akrab disapa Espede dalam menggapai karirnya, yang dimulai dengan modal tulisan hasil karyanya yang ia kirimkan ke sejumlah media massa.
Sekitar tahun 2000-an, Espede mendapat beasiswa dari Djarum dan Supersemar untuk berkuliah di Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN Suka) Yogyakarta. Beasiswa yang diperoleh ternyata tidak penuh, hanya beberapa semester saja. Sehingga Espede harus memutar otak mencari uang untuk biaya melanjutkan kuliah dan memenuhi kebutuhan hidupnya.
”Untuk melanjutkannya saya harus biaya sendiri. Saya tidak mau membebani keluarga, Ayah dan Ibu saya hanya buruh tani yang tidak lulus SD. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saya ber modal tulisan. Yaitu dengan mengirim artikel atau opini ke berbagai media massa,” ungkapnya saat ditemui duniadosen.com di STIKOM Yogyakarta beberapa waktu lalu.
Dari Modal Tulisan Hingga Kerja Serabutan untuk Membiayai Kuliah
Tak hanya menulis, Espede pun melakoni ragam pekerjaan lainnya demi mencukupi biaya kuliah dan hidupnya. Di antaranya, menjadi pelayan di warung pecel lele, penjaga wartel, pembantu rumah tangga, dan berjualan keripik. Di sela-sela pekerjaan paruh waktunya itu, Espede menyempatkan menulis.
”Karena tidak punya komputer atau laptop, saat istirahat bekerja saya menulis di kertas atau buku tulis. Setelah selesai bekerja atau keesokannya saya ke rental komputer untuk mengetik dan mengirimkannya lewat email ke sejumlah surat kabar atau media massa,” katanya.
Hobi menulisnya terus terasah sejak memasuki dunia perkuliahan. Banyak artikel maupun opini yang ditulis Espede itu berhasil diterbitkan di berbagai media cetak maupun online. Di antaranya, Jawa Pos, Solo Pos, Kedaulatan Rakyat, Bernas, dan lainnya yang honornya sangat lumayan.
”Dulu satu artikel opini honornya mulai Rp 75 ribu hingga ratusan ribu. Lumayan untuk menambah biaya kuliah. Belum lagi saya kuliah di dua kampus, UNY jurusan pendidikan matematika dan UIN jurusan komunikasi. Kedua kampus tersebut memiliki kebijakan yang sama. Setiap mahasiswa yang tulisannya rutin terbit di media massa mendapat apresiasi berupa uang pembinaan dari kampus,” aku dosen berusia 37 tahun itu sambil tertawa.
Ia sadar betul, bahwa kedua orang tuanya yang tak lulus SD secara matematis, tidak bisa membiayai pendidikan yang lebih tinggi lagi. Mengingat Espede adalah putra terakhir dari 7 bersaudara. ”Saya berniat untuk berjuang sekuat tenaga untuk meningkatkan kualitas diri saya. Jadi ketika ada kesempatan kuliah itu saya tidak mau menyia-nyiakannya,” jelas alumni SMAN 1 Minggir, Sleman tersebut.
Setelah lulus jenjang sarjana dari UIN Suka Yogyakarta tahun 2008, Espede beberapa kali menjadi jurnalis di media massa di Yogyakarta. Ia sempat menjadi Wartawan Magang Jawa Pos Radar Solo, Dewan Redaksi Koran Online Pewarta Indonesia pada 2008, dan Wakil Pimpinan Redaksi Buletin KPID (2014-2017).
Berbagai pengalaman menulis dan profesinya sebagai wartawan saat itu, tak jarang Espede diminta untuk mengajar sebagai dosen tamu di sejumlah perguruan tinggi. Tak terkecuali almamaternya, UIN Suka. ”2012 mulai mengajar sebagai dosen tamu di UIN dan AKRB (Akademi Komunikasi Radia Binatama) Yogyakarta,” ujar pria kelahiran Sleman, 14 Agustus 1981 itu.
Lulus S2 dengan Predikat Tercepat dan Cumlaude
Pada 2012 pula, Espede memutuskan melanjutkan pendidikan masternya di S2 Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah. Dia harus membagi waktu antara pendidikan dengan profesinya sebagai dosen yang ia jalani hingga tahun 2017. ”Pagi kuliah S2, sore atau malamnya mengajar di UIN Suka atau di AKRB. Jadi, pulang pergi Jogja-Semarang sekitar 3,5 jam perjalanan naik motor setiap hari,” kenangnya.
Baginya, membagi waktu antara kuliah dan bekerja di dua kota berbeda membuatnya letih luar biasa. Meski begitu, motivasinya untuk maju menjadikannya tetap kuat menghadapi semua tantangan. ”Sangat melelahkan, namun saya punya motivasi. Saya pengen mencari sesuatu yang lebih dari teman-teman saya yang lain. Jadi menikmati saja, karena masih punya banyak mimpi yang perlu diwujudkan,” terang Espede.
Perjuangannya berbuah manis. Ayah dua putra tersebut lulus S2 dengan predikat mahasiswa terbaik dan tercepat. Yaitu dengan IPK 4,00 yang lulus hanya dalam waktu 1 tahun 5 bulan.
Baginya, menjadi dosen adalah profesi yang berat. Espede menganggap pekerjaan dosen memiliki sedikit peminat, namun adalah sosok yang luar biasa. ”Orang yang mau jadi dosen itu sedikit. Karena tuntutannya berat, ditambah beban kerja di bidang administrasi bagi beberapa jabatan tertentu yang luar biasa banyak,” ujar pria yang pernah menjabat sebagai Ketua Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) DIY dan sekarang menjabat sebagai Sekretaris I Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) Pusat Periode 2017-2022.
Pada awalnya, Espede mengaku tak tertarik untuk menjadi dosen. Dia lebih tertarik untuk menjadi peneliti. Namun, seiring berjalannya waktu, Espede menyadari bahwa profesi dosen, peneliti, maupun wartawan sekalipun memiliki satu nafas yang sama. Yaitu terus belajar dan bermanfaat. ”Semuanya membutuhkan tradisi banyak baca buku,” jelas penulis buku Masa Depan Indonesia, Bangkit atau Bangkrut terbit pada November 2018 tersebut.
Menjadi Dosen, Pengalaman Menarik dan Tantangannya
Kini, Espede sebagai dosen tetap di program studi (prodi) Ilmu Komunikasi, Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Yogyakarta sejak 2014. Ia juga termasuk panitia dalam proses perubahan bentuk dari Akademi Komunikasi Indonesia (AKINDO) YPK tersebut ke STIKOM.
”Prosesnya cukup panjang, yaitu dimulai tahun 2014 sampai tahun ini. AKINDO YPK resmi berubah nama menjadi STIKOM Yogyakarta pada 2 Februari 2018 lalu,” jelas Espede yang juga menjadi Anggota Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Yogyakarta pada 2014 sampai 2017.
Selama menjadi dosen, Espede mangaku memiliki banyak pengalaman berkesan bersama mahasiswanya. Meski begitu, ada satu pengalaman berkesan yang membuatnya enggan melepas profesinya tersebut. ”Saya sangat puas saat melihat mahasiswa berhasil dan merasa sakit saat mahasiswa gagal. Kedua, kepuasan intelektual ketika kita menerbitkan sesuatu entah itu ke surat kabar, jurnal, buku, atau prosiding. Itu tidak ternilai,” ujar Espede.
Meski profesi dosen tak bisa diandalkan untuk mencari uang sebanyak-banyaknya, Espede mengaku senang melakoni pekerjaannya tersebut. Namun, Espede menyebut apresiasi pemerintah terhadap dosen dirasa masih kurang. ”Di Indonesia, dosen kurang diapresiasi jika dibandingkan di luar negeri. Itu kelemahannya. Apalagi dosen yang bekerja di kampus kecil. Jumlah mahasiswanya tidak banyak dan persaingannya sangat ketat, apalagi di Yogyakarta,” jelas dosen yang saat ini menjabat sebagai Kepala prodi Ilmu Komunikasi STIKOM Yogyakarta tersebut.
Espede melanjutkan, pemerintah kadang tidak adil kepada perguruan tinggi swasta (PTS) dilihat dari sisi kebijakan. ”PTN (perguruan tinggi negeri) kalau terlambat akreditasi tidak masalah, jika PTS kecil akan jadi masalah besar. Di masyarakat, PTS juga masih dipandang sebelah mata. Pemerintah harus mengubah paradigma PTS, karena PTS juga turut membangun negeri. Swasta perlu diberikan perlakuan yang adil. Kualitas dosen perlu ditingkatkan. Bagaimana pemerintah harus bisa menyiapkan insfrastrukur untuk peningkatan kualitas dosen dan perguruan tinggi,” kritiknya terhadap pemerintah.
Cara Dosen Hadapi Revolusi Industri 4.0
Espede menyebut dalam memasuki era digital, dosen perlu membuka diri. Dosen harus menyesuaikan diri agar tidak tertinggal. ”Kata kunci revolusi 4.0 itu teknologi. Dosen harus menguasai teknologi. Dosen harus membuka ruang dan waktu sebesar-besarnya, tidak terkungkung satu pengetahuan dan keahlian saja. Dosen harus membuka diri untuk belajar. Jika masih berpikir lama dan tidak mengikuti, ya akan tertinggal,” katanya.
Espede melanjutkan, zaman apapun, substansinya adalah konten. ”Yang penting itu isinya. Dosen harus baca buku, produktif. Masih banyak lho dosen yang malas baca buku,” ujarnya.
Menurutnya, tak hanya mahasiswa, dosen juga membutuhkan pertukaran ilmu dengan dosen luar negeri. ”Exchange juga diperlukan. Dosen luar negeri menjadi dosen tamu di Indonesia dan sebaliknya. Jadi ada hubungan yang mutualis,” lanjut suami dari Imro Atun Fatimah tersebut.
Perguruan Tinggi Harus Relevan dengan Birokrasi dan Korporasi
Dalam proses pengajarannya, Espede selalu berusaha untuk membuat mahasiswanya merasa nyaman terlebih dahulu. Menurutnya, dosen harus menyesuaikan diri dengan kebutuhan mahasiswa. ”Mahasiswa sekarang berbeda dengan mahasiswa dulu. Kita harus memahami perubahan karakter mahasiswa zaman saya dulu sama sekarang kan berbeda. Saya harus menyesuaikan. Belajar yang efektif itu yang membahagiakan,” jelasnya.
Menurutnya, ketika mahasiswa sudah merasa tidak suka dengan materi atau dosen yang mengampu, maka pembelajaran tidak akan efektif. ”Dosennya harus menyenangkan juga. Jika kesan pertama sudah tidak menyenangkan, maka saat belajar juga tidak akan efektif. Agar senang, mahasiswa harus tahu manfaat dari sebuah ilmu tersebut. Dosen harus memberi tahu,” lanjut penghoby jogging tersebut.
Espede menganggap, substansi dari pendidikan adalah mengoptimalkan potensi SDM yang dimiliki seseorang. ”Misalnya, jika saya tidak kuliah, capaian hidup saya hanya 7. Tapi karena saya kuliah, saya punya poin 10. Namun, akses pendidikan kan masih susah bagi yang tidak punya uang. Itu tantangannya,” ujarnya tegas.
Selain itu, Espede juga menyebut tantangan real perguruan tinggi itu harus nyambung ke dua hal yaitu birokrasi dan korporasi. “Saya pernah menulis sebuah jurnal pada 2013 berjudul Segitiga Besi Ekonomi Politik Bisnis; Perguruan Tinggi, Birokrasi, dan Korporasi. Ketiganya harus nyambung. Korporasi tidak terbatas pada scope nasional, namun juga internasional. Birokrasi juga tidak hanya lokal namun juga nasional. Hasil riset di perguruan tinggi juga harus dihubungkan dengan kebutuhan korporasi dan birokrasi,” papar Espede.
Ingat Wejangan Orang Tua dalam Mengarungi Hidup
Sebagai dosen, Espede sangat kagum dengan sosok M.H. Ainun Najib atau yang biasa disapa Cak Nun. Bagi Espede, sosok Cak Nun sangat berpengaruh bagi pemikirannya sampai saat ini, terutama terkait karirnya sebagai dosen. ”Saat saya kuliah, buku-buku Cak Nun adalah buku yang sering saya baca,” ujarnya.
Meski begitu, orang tua masih memegang peran untuk menjadikannya seperti saat ini. Inspirasi juga datang dari kedua orang tuanya. Meski tidak lulus SD, tapi kedua orang tua Epsede memiliki petuah filosofis yang sampai sekarang masih ia ingat.
”Hiduplah prihatin, ojo seneng urip gebyar-gebyar ning sedelok. Luwih apik urip prihatin, mengko kowe nemu panene nang mburi (Jangan suka hidup bermewahan namun sebentar. Lebih baik hidup prihatin namun nanti pasti akan memanen kebaikannya di masa depan),” kata putra ke 7 dari 7 bersaudara pasangan Alm. Suwadi Utomo dan Dalikem tersebut.
Bagi Espede, orang tua adalah inspirasi yang sebenarnya. Meski tidak mengenyam bangku pendidikan tinggi, namun mereka bisa memberi wejangan hebat semacam itu yang tidak bisa didapatkan di kampus. Petuah itu lahir dari pengalaman hidup mereka.
Saat ini, Espede sudah menulis 11 judul buku, ratusan artikel di surat kabar, dan 22 jurnal dan prosiding. Namun, itu semua tak lantas membuatnya puas. Sebagai dosen, Espede merasa wajib untuk menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
”Tri Dharma itu tidak hanya mengajar, mengabdi, dan meneliti, namun juga mempublikasikan. Meneliti itu mudah, tapi mempublikasikan itu yang susah. Saya ingin lebih banyak melakukan publikasi. Selain itu, saat menjadi dosen yang ingin dicapai ya jadi profesor dan Guru Besar. Saat ini berencana melanjutkan S3 dan menulis jurnal internasional,” pungkas Espede. (duniadosen.com/az)