Indonesia berpotensi melahirkan banyak inovasi karya ilmiah. Untuk mencapai itu, Indonesia membutuhkan para peneliti dan kaum intelektual yang produktif.
Saat ini, jumlah dosen di Indonesia kurang lebih 265.817 dosen. 5.200 di antaranya profesor, dan ada 31.000 seorang lektor kepala. Sedangkan, professor yang aktif bekerja sekitar 3.200 orang. Sisanya, dosen/professor yang ditugaskan untuk instansi pemerintah dan swasta.
Indonesia memiliki potensial melahirkan peneliti hebat. Sayangnya, potensi tersebut belum termaksimalkan. Ternyata, banyak kiprah dosen kurang optimal menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Tri Dharma tersebut adalah transformasi ilmu, mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan.
Salah satu kegiatan untuk mewujudkan Tri Dharma Perguruan Tinggi adalah mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan lewat karya ilmiah. Menstransformasikan ilmu pengetahuan tidak selalu dalam bentuk proses belajar mengajar di kelas, tetapi juga dalam bentuk penelitian.
Belum lama ini, terbit aturan baru terkait publikasi karya ilmiah yang menjadi kontroversi dari banyak pihak. Baik itu yang pro maupun kontra. Baca juga Kontroversi Aturan Penghentian Tunjangan Dosen.
Karya ilmiah berupa jurnal merupakan alat untuk menyaring substansi riset. Di mana, riset yang dilakukan akan lebih terarah. Tujuan lain, meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia dengan melakukan temuan baru yang memberikan solusi atas permasalahan yang saat ini terjadi.
Kesadaran Membuat Karya Ilmiah Indonesia di Kawasan ASEAN
Indonesia sebagai negara kepulauan dan bersuku-suku. Sebagai salah satu negara yang memiliki kompleksitas permasalahan, baik ekonomi, sosial dan pendidikan. Semakin kultural suatu wilayah, semakin kompleks.
Kompleksitas permasalahan yang muncul inilah yang sebenarnya menjadi tantangan bagi para peneliti, profesor, dan dosen untuk mencari formula, jalan keluar lewat hasil penelitian mereka.
Peluang menjadi seorang peneliti di Indonesia masih sangat terbuka lebar. Sayangnya, minimnya kesadaran untuk meneliti masih perlu ditingkatkan. Di Kawasan ASEAN, Indonesia salah satu anggota yang minim publisitas karya ilmiah.
Jika dibandingkan, Malaysia, Thailand, dan Singapura grade-nya lebih baik. Wajar, jika Singapura misalnya, sebagai negara yang berpenduduk sedikit, perekonomian, dan kawasan industri jauh lebih maju dan modern.Dengan adanya fakta tersebut, bisa dipahami mengapa pemerintah memotivasi kaum intelektual dalam negeri untuk menerbitkan karya ilmiah ke jurnal nasional maupun internasional.
Dengan kata lain, peraturan yang dikeluarkan oleh permenristekdikti No. 20 tahun 2017 salah satu upaya menggerakan semangat. Meskipun yang terjadi di lapangan, aturan itu dipandang menyulitkan dosen.
Adapun inti dari peraturan baru tersebut mensyaratkan dosen wajib mempublikasikan karya ilmiah ke jurnal nasional dan Internasional. Jangka panjang, diharapkan mampu membudayakan meneliti.
Budaya menghasilkan karya ilmiah akan mendukung ekosistem pembangungan bangsa. Budaya ini juga memberikan kesempatan, memaksimalkan, potensi dosen, sekaligus mengejar ketertinggalan, dan menyetarai negara maju.
Indonesia Dulu vs Indonesia Sekarang
Dulu, Indonesia memiliki tenaga pengajar yang luar biasa. Dulu memang karya ilmiah belum begitu dikenal. Sehingga, metode transformasi ilmu salah satunya dengan mengajar. Banyak tenaga pendidik atau dosen yang mampu menarik banyak mahasiswa dari negara tetangga. Salah satunya Malaysia.
Seiring berjalannya waktu, perubahan berbalik terbalik. Indonesia yang dulu dikenal sebagai soko guru perlahan mulai luntur. Malaysia yang dulu berguru di Indonesia, justru memiliki tenaga dosen yang lebih produktif daripada Indonesia. Indeks karya ilmiah Malaysia berada di ranking ke-37, dengan jumlah publikasi karya ilmiah sebanyak 125.084 karya. Sedangkan Indonesia, berada di rangking ke-61 dengan jumlah publikasi sebanyak 25.481 karya.
Indeks publikasi internasional, di kawasan ASEAN yang terindeks Scopus tahun 2015, Malaysia berada di posisi 25.350 (terbaik), kemudian disusul negara Singapura, dengan indeks 17.000, dan ketiga dari Thailand, terindeks 12.000.
Kunci keberhasilan Malaysia di dunia pendidikan karena memiliki jumlah dosen yang lebih banyak. Di mana, para dosen di Malaysia Singapura lebih produktif. Sebaliknya, Indonesia dari total 265.817 dosen, ternyata jumlah tersebut masih tergolong masih sedikit. Beberapa Perguruan Tinggi Swasta (PTS) banyak yang kekurangan dosen berkompeten.
Meskipun Indonesia di bawah dua negara tetangga. Bukan berarti Indonesia berhenti sampai disitu. Indonesia optimis, mampu mengejar peringkat tersebut. Alasannya sederhana, karena di tahun 2016, jumlah lektor kepala di Indonesia yang tercatat ada sekitar 31.000 orang, dan memiliki jumlah guru besar sebanyak 5.200 orang.
Jika jumlah lektor kepala dan guru besar mampu membuat karya ilmiah per satu orang tiga judul atau topik, maka, dalam satu bulan sudah berapa ribu hasil penelitian yang keluar. Di tahun 2016, jumlah publikasi Internasional mengalami kenaikan 9.989, sebelumnya hanya 5.499 karya.
Dari segi kuantitas, karya ilmiah yang di publikasikan meningkat. Pengamat Pendidikan Tinggi dari Universitas Trilogi, Asep Saefuddin mengingatkan bahwah peningkatan jumlah karya ilmiah di upayakan bukan karena mengejar tunjangan.
Melainkan karena munculnya kebudayaan riset dan meneliti di Perguruan Tinggi (PT). Ia juga menyinggung perihal peran aktif pemerintah, juga peduli Perguruan Tinggi kecil, karena dianggap lebih sulit menumbuhkan budaya meneliti bagi mereka.
Melahirkan Peneliti Karya Ilmiah di Masa Depan
Bercermin dengan negara maju. Peneliti, dosen, asisten dosen atau lector di Negara Maju diberi fasilitas yang memadai. Mulai dari fasilitas biaya hidup, tunjangan sampai biaya selama melakukan penelitian. Tidak dengan Indonesia. Biaya tunjangan dan biaya penelitian sering tidak imbang.
Salah satu upaya melahirkan peneliti karya ilmiah di masa depan dengan memberikan wadah bagi mereka. Wadah dalam banyak sisi, mulai masalah lobi, laboratorium, pendanaan dan beberapa yang lainnya. Sehingga, ketika para dosen, professor hendak mentransformasikan ke pada mahasiswa, mereka pun termotivasi.
Ketika mentransformasikan dan menumbuhkan rasa kecintaan terhadap dunia riset, ada yang perlu diperhatikan. Yaitu, perihal karakteristik dan identitas lokal. Menurut Asep Saefuddin, hal terpenting adalah membangun ekosistem masyarakat ilmiah di kampus dalam memanfaatkan sumber ilmu. Memupuk kepada calon intelektual muda bahwa mempublikasikan jurnal karya ilmiah bukanlah sebagai tujuan, melainkan sebagai alat.
Tugas yang tidak kalah penting ketika mentransformasikan kepada calon intelektual muda. Memupuk sejak awal perihal jiwa nasionalisme. Karena, banyak intelektual dan peneliti berbakat di berikan kesempatan ke beberapa negara Maju, dengan tujuan dapat mentransfer ilmu yang diperoleh dan mengabdikan diri untuk kemajuan negeri.
Akhirnya, banyak dari mereka yang memutuskan untuk menetap ke negara maju, dengan alasan lebih terfasilitasi, lebih bebas untuk mengeksplorasi kemampuannya. Hal semacam ini yang diantisipatif, karena akan berdampak pada brain drain.
Inilah ulasan dalam upaya menumbuhkan minat riset dengan mengenalkan jurnal karya ilmiah ke mahasiswa. Semoga ulasan ini juga memotivasi pembaca untuk sadar meneliti. Karna meneliti dan menulis karya ilmiah salah satu kunci mewujudkan negara yang lebih maju.
Negara yang maju adalah negara yang sedikit permasalahan yang dialami masyarakat. Salah satu cara meminimalisir permasalahan tersebut dengan memberikan solusi, lewat riset dan penelitian. Semangat berkarya.
Referensi: