fbpx

Terbitkan buku lebih cepat HANYA 1 BULAN? Dapatkan fasilitas VIP ini secara GRATIS! Klik di sini

48 Dosen Gagas Pameran Art Within and Beyond Bureaucracy: Ajang Pengajar Seni Menunjukkan Identitas Seniman

Pameran seni bertajuk Art Within and Beyond Bureaucracy digelar di Taman Ismail Marzuki. Pameran ini digagas oleh dosen Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Diselenggarakan pada tanggal 22-28 Juni 2019. (dok. kompas.com)

Jakarta – Pameran seni bertajuk Art Within and Beyond Bureaucracy (Seni di dalam seni dan Seni di dalam Birokrasi) digelar di Taman Ismail Marzuki. Pameran ini digagas oleh dosen Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Terdapat 48 dosen yang ikut serta dan berasal dari beragam latar belakang seperti Seni Murni, Seni Kriya Desain Mode, Desain Interior, dan Desain Komunikasi Visual.

“Seniman jangan alergi pada apapun. Ya politik, ekonomi, birokrasi, dagang, agama. Jangan Alergi. Jadi imej seniman yang bebas merdeka itu sudah lewat. Kesenian merupakan bidang kerja yang sama seriusnya dengan bidang lain, termasuk birokrasi,” jelas Seno Gumira Ajidarma selaku Rektor Institut Kesenian Jakarta, dikutip dari edukasi.kompas.com.

Ia melanjutkan, pameran yang dilaksanakan 22-28 Juni tersebut adalah ajang pembuktian dosen IKJ tidak hanya sebagai pengajar. Namun juga seniman yang mampu menghasilkan karya.

“Kira-kira pernyataannya; kami masih seniman loh,” ujarnya.

Menurutnya, orang sering membedakan antara seni dan birokrasi. Padahal keduanya sama-sama penting dan harusnya menjadi inspirasi. Dalam salah satu karya instalasi, terdapat karya yang menggunakan formulir birokrasi.

“Bukan hanya dari segi birokrasi tapi juga kemampuan yang penting. Ya, seni itu. Buat apa (pengajar) doktor tapi tidak bisa gambar,” tegas Seno yang dikenal sebagai sastrawan dan penulis buku `Sepotong Senja untuk Pacarku`.

Salah satu karya yang dipamerkan. Karya dari Tantio Adjie berjudul Pertahanan Punakawan pada pembukaan pameran Galeri Cipta 2, TIM, Jakarta, Sabtu (22/6/2019). (dok. antaranews.com)

Sama halnya dengan pendapat Iwan Gunawan. “Di sini kita dipaksa melihat masalah sosial dan berkarya. Karya bagus kalau tidak terdistribusikan tidak ada gunanya. Birokrasi ini menjadi salah satu cara si seniman ini paham peta masalah. Dia punya karya, karyanya mau diapakan. Jadi sedikit banyak (seniman) harus tahu (birokrasi),” ujar dosen Pascasarjana IKJ itu.

Di sisi lain menurut dosen Desain Komunikasi Visual bernama Ehwan, pameran ini adalah kesempatan ke luar dari runititas akademis sebagai pengajar. Ia bersama rekan-rekan yang lain mencoba berimajinasi dan berkarya tanpa tuntutan sehingga menimbulkan motivasi, perspektif dan inovasi baru.

Ehwan mengharapkan melalui pameran ini baik dosen dan mahasiswa dapat saling memotivasi dalam menghasilkan karya secara optimal. ”Dosen harus memberi contoh supaya mahasiswa tahu kapasitas dosen sebagai pengajar dan juga bisa memotivasi mahasiswa,” ujarnya.

Beng Rahadian pun sepakat. Ia berpikir pameran ini bisa menjadi ruang untuk pengajar berkarya. “Ketika di galeri (pameran), batas antara dosen dan mahasiswa sudah hilang. Tidak ada batas akademis. Mereka (mahasiswa) melihat kita (dosen) sebagai seniman yang berkarya,” ungkapnya. Selain memberikan ruang untuk berkarya, pameran ini juga dimanfaatkan sebagai ajang hiburan bagi dosen-dosen.

Dalam rangka memasuki era digital yang didominasi generasi milenial pameran ini juga membuktikan IKJ juga melakukan transformasi dan beradaptasi terhadap perubahan. Dekan Fakultas Seni Rupa IKJ Indah Tjahjawulan menyampaikan dulu seni rupa murni hanya patung atau lukis saja. Sekarang semua harus dipelajari dan sekarang belajar digital. Banyak juga yang belajar video art.

Indah menyampaikan para dosen juga turut mengikuti perkembangan yang ada. “Kalau ada pelatihan-pelatihan, seperti 3D, kita mengirim dosen untuk mengikuti perkembangan teknologi yang ada,” pungkasnya.

 

Redaksi