Jakarta – Sebanyak 55 ilmuwan diaspora akan diundang pulang ke Tanah Air untuk mengikuti Simposium Cendekia Kelas Dunia (SCKD) 2019. Acara tersebut diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Sumber Daya Iptek dan Dikti (Kemenristekdikti).
Rangkaian acara yang dihelat selama sepekan, yakni dari 18-24 Agustus di Jakarta ini mendapat respons positif dari masyarakat luas. Lebih dari 2.500 peserta pun mendaftar untuk bertemu dengan para anak bangsa yang telah sukses meniti karier sebagai akademisi di luar negeri tersebut.
Kehadiran ilmuwan luar negeri sendiri memang selalu menjadi daya tarik bagi para akademisi Tanah Air, terutama dalam menjajaki kolaborasi riset. Tahun ini, Kemenristekdikti juga membuka peluang bagi perguruan tinggi negeri dan swasta, bahkan perguruan tinggi di bawah koordinasi kementerian lain untuk ikut serta dalam memberdayakan talenta yang dimiliki ilmuwan diaspora. Tercatat, sebanyak 65 perguruan tinggi di berbagai daerah mengusulkan diri untuk didatangi ilmuwan diaspora.
”Antusiasme masyarakat terhadap penyelenggaraan SCKD 2019 ini memang meningkat tajam dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini karena momentum acara bertepatan dengan tahun pembangunan sumber daya manusia yang kini sedang diprioritaskan oleh Pemerintah,” ujar Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek dan Dikti, Ali Ghufron Mukti, dalam siaran persnya, Minggu (11/8/2019).
Dirjen Ghufron menyebut, target peserta sebelumnya hanya sekira 500 orang. Namun setelah dibuka pendaftaran secara online melalui laman diaspora.ristekdikti.go.id dalam kurun waktu kurang dari seminggu pendaftar telah mencapai 2.500 orang lebih. Tak sedikit pendaftar yang berprofesi di luar akademisi. Bahkan, para millennial pun tertarik mengikuti kegiatan yang bersifat ilmiah ini. Tekait hal tersebut, nantinya para pendaftar akan diseleksi dengan mempertimbangkan ketertarikan bidang keilmuannya.
Di sisi lain, Dirjen Ghufron menyampaikan bahwa beberapa ilmuwan diaspora yang diundang adalah mahasiswa Post Doctoral yang masih muda, tetapi sudah memiliki berbagai pengalaman di bidang keahliannya. Terdapat pula ilmuwan diaspora yang usianya di bawah 40 tahun, namun telah memiliki jenjang karier yang menjanjikan di institusi tempatnya bekerja. Berkat kegiatan ini pula, mereka mampu menjadi jembatan untuk menjalin kerja sama dalam bentuk nota kesepahaman (MoU) hingga mobilisasi dosen atau mahasiswa Indonesia ke institusi luar negeri ternama.
”Ilmuwan diaspora yang muda ini kami berikan kesempatan untuk menularkan ketertarikan terhadap sains kepada generasi millennial. Maka dari itu, pada rangkaian acara tanggal 20 Agustus nanti akan ada sesi khusus talk show yang dikemas menarik dan interaktif untuk membicarakan sains. Para peserta juga bisa memanfaatkan acara ini untuk bertemu dan bertanya langsung mengenai pengalaman hingga tips dan trik belajar di perguruan tinggi luar negeri,” tutur Dirjen Ghufron.
Tak hanya itu, untuk lebih mendekatkan ilmuwan diaspora kepada generasi muda, Kemenristekdikti juga mengajak mahasiswa dari seluruh negeri untuk mendampingi para ilmuwan diaspora selama mengunjungi institusi di berbagai daerah. Para mahasiswa cukup mengunggah ulang (re-post) poster SCKD 2019 melalui akun instagram pribadinya, kemudian menuliskan caption menarik mengenai makna ilmuwan diaspora. Alhasil, cara ini pun mendapat cukup perhatian dari para netizen.
”Para mahasiswa tentu sangat tertarik, bisa jalan-jalan mengunjungi daerah yang mungkin belum pernah mereka datangi, ditambah dapat melihat langsung aktivitas para ilmuwan diaspora, ini adalah pengalaman yang langka. Para ilmuwan diaspora akan bertindak sebagai role model, terlebih bagi mahasiswa yang memiliki minat besar untuk melanjutkan studi,” kata Dirjen Ghufron.
Sementara bagi dosen muda, SCKD 2019 mampu menjadi sarana untuk memperluas jaringan dengan akademisi luar negeri. Dirjen Ghufron menambahkan, ilmuwan diaspora harus mampu mengafirmasi perguruan tinggi yang selama ini masih kesulitan untuk meningkatkan penelitian dan publikasinya. Peran dan keterlibatan inilah yang kemudian menjadi sarana untuk terus merajut nasionalisme dan kebangsaan ilmuwan diaspora yang kerap menjadi sorotan lantaran memilih bekerja di luar negeri.
”Inilah yang kami sebut ‘Membangun Indonesia dari Dunia’. Para ilmuwan diaspora adalah anak bangsa yang perlu untuk dirangkul dalam membangun Indonesia. Saya harap acara ini dapat bermanfaat bagi pengembangan pendidikan tinggi kita ke depan,” tandas Dirjen Ghufron.
Redaksi
Pada saat melakukan penelitian, maka biasanya akan menyusun proposal penelitian terlebih dahulu. Salah satu bagian…
Dosen yang sudah berstatus sebagai dosen tetap, maka memiliki homebase. Jika hendak pindah homebase dosen,…
Pada saat memilih jurnal untuk keperluan publikasi ilmiah, tentunya perlu memperhatikan scope jurnal tersebut. Kemudian…
Memahami cara melihat DOI jurnal pada riwayat publikasi ilmiah yang dilakukan tentu penting. Terutama bagi…
Dosen di Indonesia diketahui memiliki kewajiban untuk melakukan publikasi ilmiah, termasuk publikasi di jurnal nasional…
Pada saat memulai kegiatan perkuliahan, mahasiswa biasanya menerima dokumen bertajuk kontrak perkuliahan. Dokumen ini disusun…